Jika
patokannya adalah hasil survei beberapa lembaga survei ternama, hasil
pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jawa Barat pada Minggu, 24 Februari
adalah sebuah kejutan. Paling tidak empat lembaga survei sebelum hari H
memprediksi pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana akan memenangi Pilkada Jabar
dalam satu putaran.
Lingkaran
Survei Indonesia (LSI) merilis hasil surveinya pada 5 Februari lalu, bahwa
jika pemilihan dilaksanakan pada saat itu, Dede-Lex akan menjadi pemenang
dengan satu putaran (35,3 persen), selanjutnya Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar
di urutan kedua (27,4 persen), dan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki di
urutan selanjutnya (13,2 persen).
Namun,
hasil hitung cepat (quick count) menunjukkan fakta sebaliknya. Pasangan
Aher-Deddy Mizwar dinyatakan sebagai pemenang oleh delapan lembaga survei
dan perhitungan riil Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jabar.
Hasil
quick count Indo Barometer menyatakan pemenangnya berturut-turut adalah
pasangan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar (32,38 persen), Rieke Diah
Pitaloka-Teten Masduki (27,18 persen), Dede Yusuf-Lex Laksamana (26,09 %),
Irianto MS Saifuddin (Yance)-Tatang Farharu Hakim (12,32 persen), dan Didik
Mulyana Arief Mansur-Cecep Nana Suryana Toyib (2,03 persen).
Hasil
Pusat Kajian dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) juga memiliki angka yang
tidak berbeda. Pasangan Aher-Deddy menjadi pemenang (32,71 persen),
selanjutnya Rieke-Teten (28,15 persen), Dede-Lex (24,87 persen),
Yance-Tatang (12,54 persen), dan Didik-Cecep (1,86 persen). Demikian pula
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menempatkan Aher-Deddy (32,38
persen) sebagai terunggul, Rieke-Teten menempel ketat di urutan kedua
(29,07 persen), dan Dede-Lex pada urutan ketiga (24, 71 persen).
Pancaroba Politik
Beberapa
pelajaran penting kita dapat dari Pilkada Jawa Barat. Pertama, untuk
kesekian kalinya prediksi lembaga survei tidak dapat memberikan ketepatan
hasil, karena politik selalu bersumbu kepada persepsi, dan persepsi selalu
berubah bersama dengan perubahan waktu dan detail-detail kecil yang mungkin
tidak diperhitungkan.
“Kesalahan”
beberapa lembaga survei memprediksi kemenangan Dede-Lex adalah karena hal
itu. Lembaga survei cenderung melihat indeks persepsi masyarakat atas
petahana (incumbent) yang buruk, dan itu hanya melulu melihat pada
simbolisme kepemimpinan Aher.
Secara
umum Aher dianggap gagal membangun perekonomian Jawa Barat, meskipun secara
statistik angka pertumbuhan ekonomi negeri Parahiyangan ini di atas
nasional (6,4 persen). Namun, statistik juga menunjukkan angka tidak
mengembirakan lainnya.
Misalnya,
Aher dianggap gagal menekan jumlah penduduk miskin (9,89 persen per
September 2012 atau 4.421.484 jiwa), yang jumlahnya hampir sama dengan
seluruh penduduk Aceh atau 50 persen penduduk Sumatera Utara. Dari hasil
debat kandidat gubernur, pasangan Rieke-Teten menyentil kegagalan Aher
dalam menekan angka kematian ibu dan anak, sehingga angka kematian di Jawa
Barat masih terbesar se-Indonesia.
Namun,
pihak surveyor lupa melihat pasangan Dede-Lex juga merupakan petahana
(wakil gubernur dan sekda). Bahkan kadar petahana Aher hanya 50 persen
dibandingkan Dede-Lex. Kegagalan Aher harus dilihat sebagai kegagalan Dede
dan Lex juga. Ini seperti “longsoran salju” yang juga mengenai siapa saja
yang dianggap sebagai “orang yang bersalah pada masa lalu”.
Bahkan,
sebenarnya ada problem lain, independensi ketika lembaga survei dibayar
salah satu pasangan yang ikut bertanding, sehingga memberikan pandangan
“intersubjektif” yang terlalu tinggi dibandingkan jika lembaga survei itu
tidak digaji para petanding. Meskipun saya tak mau berprasangka, hal-hal
detail seperti di atas mungkin sengaja dilupakan jika lembaga survei yang
dibayar. Itu misalnya dapat terlihat dari prediksi Pilkada Aceh dan Jakarta
yang keliru.
Kedua,
Pilkada Jawa Barat ini menunjukkan berlakunya teori permainan dengan jumlah
nol (zero sum game theory). Ini terbukti bahwa perubahan politik negatif
kepada salah satu kubu akan menjadi tabungan positif pada kubu lainnya, dan
tentu saja tak dapat dilepaskan dengan relasi dengan geo-politik di tingkat
nasional.
Jika
tak terjadi “Jumat kelabu 22 Februari” kepada Anas Ubaningrum sebagai ketua
umum Partai Demokrat (PD), atau dua hari sebelum pencoblosan, bisa jadi
pasangan yang diusung PD yaitu Dede-Lex tidak akan mendapatkan bencana
separah ini. Bahkan efek bencana itu cukup tinggi, dan menjadi berkah bagi
Aher-Deddy dan bahkan Rieke-Teten yang dianggap pasangan “kuda hitam”, baik
dari segi logistik kekuatan politik dan juga jam terbang sebagai birokrat.
Ketiga,
efek lain politik zero sum game adalah pada bangunan politik partai-partai
pesaing dalam Pilkada Jawa Barat di tingkat nasional. Kemenangan Aher-Deddy
memberikan nafas baru bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk kembali
menyehatkan politiknya yang telah megap-megap pascapenangkapan Presiden PKS
pada kasus suap impor daging sapi.
Partai
ini bahkan lebih mantap melakukan langkah konsolidasi baru untuk
mempersiapkan kemenangan selanjutnya dalam Pilkada Sumatera Utara
mendatang. Di sisi lain, kekalahan PD dalam Pilkada Jawa Barat jelas
memberikan pukulan telak, meskipun mereka berhasil menang di Pilkada Papua.
Yang
paling sial tentu saja Partai Golkar yang terus dirundung kekalahan.
Bahkan, masuk tiga besar pun tidak. Ini menunjukkan suara Golkar di
provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak ini akan semakin suram.
Keberhasilan mereka memenangi Pilkada Sulawesi Selatan tidaklah memberi
kesan mendalam, karena seperti pandangan makro politik, menguasai politik
nasional adalah menguasai pulau Jawa.
Politik Atas Kertas
Namun,
sebenarnya praktik politik demokrasi lokal seperti yang terlihat dalam
realitas terbaru di Jawa Barat ini pun belum memberikan harapan bagi
politik daerah. Sebagai petahana dengan catatan politik yang banyak, Aher
tentu harus merealisasikan lebih banyak bukti kepada masyarakat Pasundan
terkait apa yang bisa diberikan untuk mengembangkan demokrasi subtantif
atau demokrasi kesejahteraan.
Dengan
pelbagai temuan praktik politik uang, penggunaan fasilitas negara, dan
sikap tidak fair dalam bertanding yang terbaca dari realitas Pilkada Jawa
Barat menunjukkan politik masih dipraktikkan sebagai bisnis kebiasaan (business
as usual). Tak dapat disalahkan juga karena ini cermin politik nasional
yang masih memberhalakan kekuasaan dan kemenangan, bukan mengupayakan
kebagiaan (pursuit of happiness)
dan kesantunan bagi masyarakat
Politik
harus bisa dijadikan panduan untuk memperbaiki situasi sempit dan sumpek
masyarakat, memberlakukan keadilan dan kesejaheraan, serta menisbikan
kenikmatan atau keegoan berkuasa. Jika itu terjadi, sama dengan
menghidupkan mesin oligarki baru. Semoga Aher-Deddy dapat membuktikan
sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar