PERNYATAAN mundur Anas
Urbaningrum dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat dan tanggapan partainya
telah memunculkan berbagai analisis. Hal itu karena bahasa lebih halus dan
bersayap jika dibandingkan dengan kondisi sebenarnya dikenal dengan
eufemisme dipakai. Kata-kata yang digunakan bisa mengundang sejumlah
interpretasi atau penafsiran. Satu kata bisa memiliki lebih dari satu
makna. Tujuannya tak lain ingin mempertahankan bahwa dirinya sendiri benar
dan pihak lainlah yang salah.
Pada pendekatan bahasa dalam politik, hal
itu wajar. Bahasa dalam politik adalah salah satu alat untuk mempertahankan
kekuasaan, sedangkan fenomena sosial tidak independen dan sarat akan
interpretasi. Hal itulah yang dengan sadar digunakan oleh para pengguna
pelembut an bahasa.
Begitulah Anas dalam menyampaikan keterangan
resmi kepada wartawan di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Sabtu (23/2).
Mantan anggota KPU itu menyatakan mengundurkan diri sebagai Ketua Umum
Partai Demokrat sehari setelah menyandang status tersangka dalam kasus
dugaan korupsi proyek Hamba lang dengan eufemisme.
Ada sejumlah penggalan bahasa berupa kata,
istilah, atau potongan kalimat yang bisa dipilih termasuk dalam konteks
eufemisme dipakai dalam pernyataan Anas. Diawali pernyataan ‘lewat proses
hukum yang adil dan objektif dan transparan, kebenaran dan keadilan bisa
saya dapatkan’. Makna yang dapat ditangkap pada kalimat keenam itu ingin
menyatakan bahwa proses hukum telah diintervensi. KPK menetapkan Anas
sebagai tersangka secara tidak adil dan tidak transparan. Proses
penetapannya tendensius, penuh dengan misteri dan tidak murni untuk
menegakkan keadilan. Ungkapan itu merupakan awal bahwa penetapannya sebagai
tersangka oleh KPK berdasarkan proses hukum yang tidak independen.
Pernyataan itu dilanjutkan dengan kalimat
yang lebih menjelaskan penyataan di atas. Eufe misme pada bagian tersebut
dapat ditangkap dengan dihilangkannya subjek (pelaku) dari perlakuan yang
dirasakan Anas. ‘Kebenaran dan
keadilan akan muncul mengalahkan fitnah dan rekayasa, sekuat apa pun
dibangun, sehebat apa pun itu dibangun, serapi apa pun itu dijalankan’.
‘Saya
baru mulai berpikir saya akan punya status hukum di KPK ketika ada semacam
desakan agar KPK segera memperjelas status hukum saya. Kalau benar, katakan
benar; kalau salah, katakan salah’.
Pelembutan bahasa diterapkan dalam bagian itu dengan mengutip kalimat yang
sebelumnya pernah dikemukakan kepada publik oleh pihak lain. Masyarakat
tentu masih sangat ingat dengan pernyataan itu, yang dilakukan oleh siapa
dan dalam konteks seperti apa.
Alasan
Sikap
Asal
muasal posisi Anas dirasakan tidak berasal dari sumber yang seharusnya.
Status tersangka seharusnya berasal dari proses hukum yang dijalankan oleh
KPK. Akan tetapi, ia ingin mengatakan kepada publik bahwa yang terjadi tidaklah
demikian. Cara itu dilakukan dengan memilih
kalimat `ketika ada desakan seperti
itu, saya baru mulai berpikir janganjangan, saya menjadi yakin, saya
menjadi tersangka setelah saya dipersilakan untuk lebih fokus
berkonsentrasi menghadapi masalah hukum di KPK'.
Itu satu rangkaian peristiwa yang utuh.
Sama sekali terkait dengan sangat erat. Itulah faktanya, itulah rangkaian
kejadiannya. Penegasan tersebut dilakukan Anas untuk meyakinkan kepada
khalayak pendengarnya secara halus, tetapi ingin menegaskannya.
Rangkaian
logis didesakkan seolah sebuah kebenaran dengan tanpa embel-embel bahwa itu
pemahaman pribadi. Seakan meminta persetujuan pada audiens merupakan
kebenaran yang mudah untuk dirunut.
Seolah ingin membuka tabir yang selama ini
bergelayut, mantan anggota KPU itu pun berupaya mengurai runutan sejarah ke
beradaannya di Demokrat. Kalimatnya bertutur, ‘tetapi inti dari kongres itu
ibarat bayi yang lahir, Anas adalah bayi yang lahir tidak diharapkan’.
Asal muasal beliau disikapi seperti
sekarang merupakan proses yang panjang dan sebab yang mendalam. Bukan lagi
berasal dari tingkah lakunya sesudah terpilih sebagai ketua umum. Sikap
diperoleh lebih kepada kesalahan sedari awal. Bukan dari dalam dirinya,
melainkan situasi dan kondisi luar diri yang melingkupinya.
Sikap dan keyakinan diri yang kuat ingin
ditonjolkan oleh sosok yang satu ini. ‘Meskipun saya yakin posisi tersangka
itu lebih karena faktor nonhukum, saya punya standar etik pribadi’. Itulah
prinsip yang akan dipesankan secara kuat kepada publik. Ia mundur bukan takut
oleh desakan dan ancaman, melainkan lebih pada etika pribadinya, meski
konsistensi dan konsekuensi sikap seperti itu harus dibuktikan lebih
lanjut.
Standar itu mengatakan, ‘kalau saya punya status hukum sebagai
tersangka, saya akan berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat’. ‘Ini bukan soal jabatan atau posisi, ini
soal standar etik’. Begitu kalimat sambungan yang mempertegas alasan
kemundurannya. Harapannya tentu sejarah akan mencatat pernah ada ketua umum
partai yang secara kesatria mundur karena alasan etika dirinya.
Sikap
Balasan
Bagaimana balasan yang akan diberikan Anas
atas perlakuan yang ia dapatkan? Hal itu dapat diinterpretasikan dari
sejumlah pernyataan Anas ke depan. Diawali dengan ungkapan `ketika melepas, tentu tidak punya
kewenangan organisatoris karena saya sudah lepas. Tetapi saya menjaminkan
satu hal, yaitu ketulusan persahabatan dan persaudaraan'. Untuk meredam
agar tidak ada reaksi yang ekstrem dari partainya, Anas berupaya untuk
menetralisasinya. Ia menawarkan resolusi yang lunak. Tindakan balasan yang
lebih keras bahkan kasar coba dihindari.
Namun, ada peringatan kehati-hatian yang
disampaikan dengan bersayap. `Hari-hari
ini dan ke depan, akan diuji pula bagaimana etika Partai Demokrat. Partai
yang etikanya yang etikanya bersih, cerdas, dan santun'. Hal itu seolah
ingin menguji kebenaran perlakuan terhadap sang mantan ketua umum itu.
Atau, bahkan ada semacam tantangan kebenaran etika berhadapan dengan
sekadar upaya menyingkirkan seorang Anas. Bisa juga itu menunjukkan bahwa
ia pun bisa mengungkap kelemahan dan kesalahan yang terjadi di tubuh partai
berlambang Mercy tersebut.
Lagi-lagi tonjokan itu diredam dengan
melemahkan urat permusuhan dengan kalimat lanjutannya. `Tetapi yang paling penting saya garis bawahi, bahwa tidak ada
kemarahan dan kebencian. Kemarahan dan kebencian itu jauh dari rumus
politik yang saya anut, dan mudah-mudahan juga dianut siapa pun kader-kader
Partai Demokrat'. Ajakan itu ingin mengusap pukulan pernyataan yang
baru saja dilontarkan.
Akan tetapi, isyarat lontaran kartu truf
kembali dilemparkan. `Di atas
segalanya, saya ingin menyatakan barangkali ada yang berpikir bahwa ini
adalah akhir dari segalanya. Barangkali ada yang meramalkan dan
menyimpulkan ini adalah akhir dari segala nya. Hari ini, saya nyatakan ini
baru permulaan. Hari ini saya nyatakan ini baru sebuah awal langkah langkah
besar. Hari ini saya nyatakan ini baru halaman pertama'. Banyak
lontaran yang bersifat multitafsir dikemukakan ke publik. Kemudian diredam
lagi dengan alasan penutup `tentu
untuk kebaikan kita bersama'.
`Saya
akan melepas jaket biru kebesaran dan saya akan menjadi manusia yang bebas
dan merdeka. Selamat berjuang kader-kader Demokrat di seluruh Indonesia,
berjuang sesuai pilihan yang merdeka'.
Eufemisme ditutup dengan ajakan kepada para
simpatisannya keluar dan memilih secara bebas sikap politiknya dengan
kalimat di atas. Bahasa memang sangat penting dalam berpolitik dan
bermanuver. Mulutmu memang harimaumu!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar