Sebelum dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menegaskan
akan menerapkan konsep integrasi moda seperti MRT, monorel, transjakarta,
dan angkutan umum untuk mengatasi kemacetan lalu lintas Jakarta (Kompas,
15/10/2012).
Hingga saat ini, sebagai Gubernur DKI periode 2012-2017, Jokowi belum
juga merinci bagaimana implementasi kebijakan tersebut. Kita hanya baca di
sejumlah media hal-hal berikut: jumlah bus transjakarta telah ditambah, bus
reguler akan diremajakan dengan pola hibah, dan proyek mass rapid transit
(MRT) masih tarik-ulur dengan pemerintah pusat soal porsi pembiayaan.
Terkait upaya mengatasi kemacetan, Jokowi pernah mengemukakan soal
pembuatan marka jalan yang katanya dapat mengurangi kemacetan hingga 30
persen (entah bagaimana menghitungnya) dan ide kebijakan genap-ganjil pelat
nomor polisi kendaraan.
Gubernur-gubernur DKI sebelum Jokowi menyadari cara mengatasi
kemacetan lalu lintas adalah menurunkan tingkat utilitas kendaraan pribadi.
Karena transportasi merupakan kebutuhan vital, penurunan utilitas kendaraan
pribadi hanya dapat dilakukan jika tersedia sarana transportasi publik yang
nyaman dan andal. Masalahnya, hingga kini, Jakarta belum memiliki ini.
Pembangunan sistem transportasi publik merupakan program setiap
gubernur sebelum Jokowi. Namun, hasilnya, hingga saat ini sistem
transportasi publik Jakarta tetap tak andal, tak nyaman, semrawut, bahkan
kadang berbahaya. Pada beberapa kasus, kendaraan umum jadi arena
pencopetan, perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan. Pembangunan sistem
transportasi publik DKI seolah jadi program yang tak pernah rampung.
Berdiri Sendiri
Untuk menyelesaikan kesemrawutan sistem transportasi publik,
Pemerintah Provinsi DKI sebelum Jokowi menganut paradigma membangun sarana
baru. Mungkin karena tak dapat mengandalkan bus-bus konvensional yang
beroperasi selama ini, Sutiyoso membangun sistem transjakarta. Menuai
banyak kritik di awal pembangunan, transjakarta akhirnya dapat diterima
masyarakat pengguna angkutan umum. Boleh jadi itu sebabnya transjakarta
dilanjutkan gubernur setelahnya. Bahkan Jokowi pernah melontarkan ide
metromini dan kopaja juga ikut masuk jalur transjakarta.
Sayang sekali transjakarta belum berhasil menyelesaikan soal
ketidakandalan sistem transportasi publik, apalagi jadi faktor pengurai
kemacetan lalu lintas. Bahkan, seperti bus konvensional, pelayanannya tidak
semakin bagus. Bus-busnya, terutama di Koridor I, makin tua dan tak segera
diganti. Pintu beberapa bus tak dapat ditutup rapat sehingga udara panas
dari luar menyergap masuk mengalahkan sejuk udara AC bus.
Hal serupa terjadi pada moda transportasi berbasis rel. Jokowi hingga
kini belum memutuskan nasib proyek pembangunan MRT. Seperti halnya bus
konvensional, pemerintah akan membangun sistem baru dengan mendirikan badan
usaha sendiri untuk MRT. Kita tak tahu apakah kelak—jika berhasil dibangun—MRT
akan terintegrasi dengan kereta rel listrik (KRL) yang dikelola anak
perusahaan PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT KAI Commuter Jabodetabek
(KCJ). Kita juga tak tahu, misalnya, apakah stasiun MRT di Dukuh Atas akan
nyambung dengan Stasiun KRL Sudirman.
Idealnya, pembangunan MRT diserahkan kepada PT KAI. Dana
pembangunannya—seperti di negara lain—disiapkan pemerintah, baik Pemprov
DKI maupun pemerintah pusat. Penempatan dana bisa sebagai penyertaan
pemerintah kepada KAI atau dalam bentuk utang. KAI menerbitkan obligasi
berbunga murah yang lalu dibeli pemerintah.
Akibat paradigma ”bangun baru”, beragam moda transportasi publik
Jakarta berjalan sendiri-sendiri. Rute transjakarta tumpang tindih dengan
rute bus konvensional. Rute bus konvensional tidak serta-merta dapat
dihapus karena secara faktual transjakarta belum dapat mengangkut semua
penumpang di rute tersebut. Pemprov DKI lebih memilih membuka koridor baru
dengan jumlah bus seadanya ketimbang menambah bus sesuai kebutuhan optimal
di koridor sebelumnya. Alangkah bagusnya jika kebutuhan bus di suatu
koridor dicukupi sesuai kebutuhan optimal, disusul dengan perubahan rute
sejumlah bus konvensional agar tak tumpang tindih dengan rute transjakarta.
Manajemen Operasi
Entah sengaja atau tidak, bus konvensional yang selama ini melayani
warga Jakarta dan sekitarnya seolah dilupakan Pemprov DKI. Operator
dibiarkan berjalan sendiri-sendiri, tanpa aturan main. Sopir bisa ngetem
seenaknya di halte bahkan di perempatan jalan, merokok sembari mengemudikan
kendaraan, sesukanya menurunkan penumpang di tengah jalan. Tidak hanya
aturan pelayanan yang tidak distandarkan, tetapi juga spesifikasi bus. Tak
ada patokan, misalnya, berapa usia bus—juga moda lainnya—yang boleh
beroperasi di Jakarta. Itu sebabnya, Jokowi kaget ketika menemukan bus
berusia 30 tahun, tanpa speedometer, masih beroperasi. Boleh jadi Gubernur
belum tahu beberapa jalan di Jakarta masih dilayani ”bemo” berusia lebih
dari setengah abad.
Persoalannya, Pemprov DKI selama ini belum pernah menetapkan standar
pelayanan dan spesifikasi bus yang boleh beroperasi di Jakarta. Hal ini
juga terjadi pada transjakarta yang relatif lebih baru dan punya jalur
khusus. Tampaknya, hal terpenting bagi pengelola adalah bus-busnya tetap
wira-wiri di koridornya. Setelah kurang lebih delapan tahun dioperasikan,
jadwal bus masuk halte kian kendur. Contoh lain tak adanya standar
pengoperasian dan pelayanan angkutan publik adalah ketika ada penumpang
yang diperkosa di atas angkutan kota, pemerintah secara reaktif
mengharuskan sopir mengenakan seragam. Ketentuan ini hanya berlangsung
beberapa waktu, setelah itu kembali seperti sebelumnya.
Selain membangun infrastruktur transportasi publik baru—menambah
koridor dan bus transjakarta, membangun MRT dan monorel—tak kalah penting
adalah pemerintah menetapkan spesifikasi bus dan prosedur operasional
standar (SOP) yang jelas dan transparan, dipahami operator dan diketahui
masyarakat pengguna angkutan umum.
Spesifikasi bus dan SOP ini harus memuat aturan secara rinci dan
diimplementasikan secara konsisten. Spesifikasi bus, misalnya, mencakup
aturan tinggi atap dari lantai, jarak antarkursi, kapasitas angkut, dan
sebagainya. Tak cukup hanya lulus kir seperti terjadi selama ini. SOP,
misalnya, tak hanya mengatur bagaimana sopir mengemudikan dan melayani
penumpang, tetapi juga mengatur persyaratan yang harus dipenuhi seseorang
sebelum menjadi sopir angkutan umum.
Tak kalah penting, pelibatan masyarakat dalam pengawasan penegakan
aturan tersebut. Penyakit pemerintah selama ini adalah berhenti pada pembuatan
aturan, seolah-olah peraturan itu akan berjalan dengan sendirinya setelah
ditetapkan. Membangun sikap disiplin masyarakat tak cukup hanya dengan
imbauan. Harus ada penegakan peraturan yang konsisten yang membuat warga
tak berani melanggar aturan karena yakin jika melanggar akan dihukum.
Masyarakat dapat dilibatkan dalam pengawasan dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi komputer dan komunikasi. Masyarakat, misalnya, dapat melaporkan
sopir yang melanggar aturan melalui SMS dan ada jaminan bahwa Pemprov DKI
akan mengambil tindakan dengan segera dan tegas.
Sanksi kepada operator dan sopir harus tegas dan konsisten. Misalnya,
jika ada sopir tertangkap ngetem, sertifikatnya untuk mengemudikan bus di
Jakarta dicabut. Selain itu, busnya ”dikandangkan” selama beberapa waktu.
Dengan cara ini pemilik bus (operator) akan turut mengawasi sopirnya untuk
tidak melanggar aturan.
Sistem setoran harus segera diganti dengan sistem tiket. Pendapatan
sopir seharusnya tak tergantung jumlah penumpang yang dimuat. Kinerja sopir
diukur dari pelayanan, ketepatan waktu, ketaatan pada rambu lalu lintas,
dan semua aturan yang berlaku.
Aturan juga harus menyeluruh, dimulai dari pembuatan standar
kelayakan seorang sopir hingga bagaimana pelayanan dilakukan. Jangan lagi
terjadi, setiap orang yang memiliki SIM B dengan sendirinya dapat
mengemudikan bus angkutan umum. Jika pelayanan sudah bagus dan konsisten,
barulah kita dapat berharap warga mau beralih dari kendaraan pribadi ke
angkutan umum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar