RANCANGAN Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUUJPH) merupakan
usulan DPR (komisi VIII) melalui hak inisiatif. Salah satu pasal yang
menjadi perdebatan adalah hak sertifikasi halal ada di bawah Badan Nasional
Penjamin Produk Halal (BNP2H) pada Bab II Penyelenggaraan JPH-RUUJPH. Selama
ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai kewenangan otonom untuk
mengeluarkan sertifikat halal melalui Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik (LPPOM) MUI.
Peran MUI dalam kebijakan pengawasan dan pengkajian produk terlepas dari
sistem koordinasi pemerintahan. Pembentukan LPPOM hanya berlandas surat
keputusan internal MUI setelah ditemukan banyak makanan yang mengandung
lemak babi pada masa Pak Harto. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas
penduduk muslim menyarankan MUI mendirikan lembaga pengkajian pangan
(jadilah LPPOM MUI) sebagai wujud sikap tegas pemerintah.
Model Malaysia dan AS
Lembaga sertifikasi halal lebih dulu didirikan pemerintah Malaysia,
Singapura, Amerika Serikat, dan Australia. Bedanya, lembaga sertifikasi di
negara tersebut ada di bawah koordinasi kementerian terkait. Sertifikasi
halal di Malaysia berada di bawah Jabatan (kementerian) Kemajuan Agama
Islam (Jakim) pada unit Bahagian Hal Ehwal Islam (Baheis) sejak 1972.
Singapura membentuk Majlis
Ugama Islam Singapura (MUIS)
pada 1972 di bawah Kementerian Pembangunan Masyarakat. MUIS bekerja sama
dengan Singapore Institute of Standards and Industrial Research (SISIR) di
bawah Kementerian Perdagangan dan Industri.
Meski penduduknya mayoritas non-Islam, Australia memiliki Australian
Federation of Islamic Councils (AFIC) dan Halal Certification Services Ltd
yang berdiri sejak 1964. AS juga mempunyai lembaga pengkajian kehalalan,
yakni Islamic Food and Nutrition
Council of America (IFANCA) yang didirikan pada 1990.
Di mana seharusnya peran dan sikap MUI sebagai koordinator ormas Islam dan
pemerintah (Kemenag) sebagai patron? Selama 24 tahun MUI menjadi lembaga
yang berwenang mengeluarkan izin sertifikasi halal. Sedangkan RUUJPH
mereformasi dan mengembalikan wewenang itu kepada pemerintah meski
menggunakan sistem standardisasi MUI.
RUUJPH telah mengatur "kavling" MUI, yang semula sebagai lembaga
otonom sertifikasi halal, ke sistem koordinasi lembaga perseorangan atau
lembaga swasta di bawah pertanggungjawaban Kemenag (pasal 15). Secara tidak
langsung, kavling MUI beralih menjadi kewenangan Kemenag dan LPPOM MUI
mengalami pergeseran kewenangan sebagai outsourcing sertifikasi halal.
Dalam wacana internasional, semua lembaga yang berwenang mengkaji dan
meneliti hasil produksi ada di bawah kewenangan pemerintah. Hal itu
dilakukan untuk menghindari konflik kepentingan antara regulator, operator,
dan evaluator. Pemisahan kewenangan diharapkan akan menjadikan sertifikasi
halal di Indonesia lebih baik dan profesional. Bukan menjadi
"ajang" politik, "jegal-menjegal" antarlembaga.
Hal itu diharapkan dapat membuka kompetisi lembaga sertifikasi halal yang
bisa menghasilkan layanan yang lebih baik. Misalnya, NU mendirikan lembaga
sertifikasi halal Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU) atau bahkan
perseorangan yang mempunyai kemampuan sesuai dengan ketetapan yang diatur
dalam RUUJPH mendirikannya.
Halal Pertimbangan Belanja
Tarik ulur MUI dengan pemerintah dalam pembahasan RUUJPH harus disudahi.
Perdebatan pada pasal untuk menentukan kewenangan sertifikasi halal menjadi
"potret" untuk "siapa" dan "apa" lembaga
sertifikasi itu didirikan. Tujuan asasi didirikannya lembaga sertifikasi
halal adalah untuk kepentingan masyarakat, khususnya muslim.
Kewenangan pemerintah harus tetap menjadi regulator. Dengan banyaknya
lembaga sertifikasi halal sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam
RUUJPH, para pelaku usaha akan lebih mudah mendaftarkan hasil produksinya
secara cepat dan tepat.
Pada 2012 lembaga pengkaji dan pengawas hasil produksi nasional melansir
hasil penelitian tentang pengaruh stempel halal pada hasil produksi dengan
tingkat penjualan. Survei tersebut menunjukkan bahwa 80,9 persen responden
menjadikan kehalalan sebagai pertimbangan pertama dalam berbelanja. Dengan
meningkatnya penjualan produk halal, pertumbuhan ekonomi dalam negeri akan
terdorong.
Dalam pengesahan RUUJPH, terdapat tiga pilar dasar pada penyelenggaraan-nya.
Pertama, sistem JPH harus mampu memberikan jaminan dan perlindungan kepada
seluruh masyarakat, bukan hanya kepentingan umat Islam, untuk memperoleh
dan mengonsumsi produk-produk halal serta sehat. Kedua, JPH harus menjamin
bahwa proses dan prosedur audit serta sertifikasi yang terkait dengan
proses halal dilakukan secara sederhana dan mudah untuk memberikan kemudahan
bagi produsen dan dunia usaha serta menghindarkan "rekayasa"
kebijakan.
Ketiga, JPH harus memberikan jaminan hasil audit yang akuntabel dengan
biaya murah dan proporsional. Sistem JPH jangan terlalu membebani produsen,
tetapi justru memberikan nilai tambah bagi produk mereka. Khusus bagi usaha
kecil dan mikro, segala biaya sebaiknya ditanggung pemerintah.
Dengan sistem JPH yang baik, masyarakat maupun produsen makanan, minuman,
obat dan kosmetik, produk kimia, produk biologi, serta produk rekayasa genetika
akan terlindungi oleh suatu undang-undang. JPH pun akan menjadi jelas dan
mempunyai kekuatan hukum yang pasti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar