Tidak diragukan bahwa pembatasan impor sapi bakalan dan pengaturan
impor daging sapi untuk melindungi peternak tradisional dan dunia usaha
peternakan telah menimbulkan gejolak harga pasar daging.
Perhitungan ekonomi matematis ternyata tidak selalu sejalan dengan
kenyataan sosial. Perhitungan populasi, tingkat reproduksi dan kebutuhan
konsumen akan daging secara statistik, ternyata tidak berlaku dalam dunia
peternakan dan pola konsumsi yang dinamik. Pembatasan impor sapi bakalan
dan pengaturan impor daging sapi untuk melindungi peternak sapi, justru
menghancurkan peternak sapi tradisional dan dunia usaha peternakan yang
baru digalakan, karena kurangnya perhatian terhadap aspek nonekonomik yang
sangat besar pengaruhnya di kalangan masyarakat.
Budaya Peternak Tradisional
Sebagaimana diketahui, sebagian besar peternak sapi Indonesia masih hidup
dalam komunitas perdesaan yang masih kuat dipengaruhi nilainilai budaya
tradisional yang berkembang atas dasar perekonomian subsistensi dalam
memelihara ternak. Pada umumnya mereka melakukan kegiatan ekonomi dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari dan bukannya
untuk mengejar keuntungan materi dan menghimpun modal sebagaimana halnya
perekonomian pasar (market oriented
economy).
Kalaupun mereka mendapatkan hasil berlebih (surplus produksi) dalam
kegiatannya, kelebihan itu dihimpun sebagai tabungan atau cadangan untuk
menghadapi masa paceklik atau memenuhi kebutuhan hidup yang tidak terduga.
Himpunan kekayaan dalam bentuk materi, seperti perhiasan dan bangunan rumah
(raja brana) dan ternak (raja kaya) itu menjadi simbol keberhasilan usaha
yang dapat meningkatkan status sosial di lingkungan masyarakatnya.
Semakin banyak kekayaan dalam bentuk perhiasan, rumah ataupun ternak itu
merupakan kebanggaan yang dapat menjadi ciri yang membedakan dari warga
masyarakat di sekitarnya (status
symbol). Lambang keberhasilan itu juga diwujudkan dalam besarnya
perumahan dan pekarangan lengkap dengan kandang “raja kaya”atau ternak. Di
masa lampau, ketika “kerbau Jepang” belum populer, depan atau dinding
samping rumah petani yang berhasil dihias dengan bajak dan garu sebagai
kelengkapan pertanian yang diperlukan untuk mengolah sawah atau tegalan
yang luas.
Bahkan kadang-kadang salah satu ruang depan rumahnya digunakan sebagai
kandang kerbau ataupun sapi, yang mencerminkan luas sawah yang dimiliki.
Bangunan rumah dan kandang ternak itu dapat diperbesar sesuai dengan
tingkat keberhasilan usahanya,karena memang luas pekarangan rumah di
perdesaan memungkinkan. Di beberapa daerah, khususnya di NTT, ternak sapi
tidak semata-mata menjadi komoditas, melainkan juga berfungsi sebagai
pengikat hubungan pertuanan dan perhambaan (patron client relation).
Tuan atau majikan memberikan perlindungan dan kesejahteraan berupa ternak
sapi yang dipercayakan kepada hamba-hambanya, dan sebagai imbalan para
hamba itu menyediakan jasa dan kesetiaan yang dapat memperbesar pengaruh
sosial majikan. Demikian pentingnya nilai ternak bagi masyarakat peternak,
sering kali sapi menjadi sarana perdamaian dan pembayar ganti rugi dalam
pertikaian antarkelompok. Di banyak daerah,sapi juga menjadi salah satu
unsur penting dalam peminangan seorang gadis.
Karenanya harga sapi di pasar tidak dapat dipatok, tergantung pada musim
perkawinan, musim upacara sosial ataupun keagamaan dan kebutuhan akan uang
tunai. Sebagai catatan untuk membekali rumah tangga anak lelaki yang baru
menikah, biasanya diwujudkan dalam bentuk ternak. Berbeda dengan bekal bagi
anak perempuan dalam bentuk rumah atau tanah pertanian. Kenyataan sosial
budaya peternak sapi tradisional yang menguasai stok sapi terbesar inilah
yang kurang diperhitungkan sebagai faktor nonekonomik dalam perhitungan
matematis pemenuhan kebutuhan akan daging sapi di pasaran.
Terlepas apakah sensus populasi itu benar atau tidak, jumlah ternak
sebanyak 14.82 juta ekor itu sebagian besar (13 jutaan) dikuasai peternak
sapi tradisional. Tidak banyak peternak yang mengelola sapinya lewat cara
bisnis murni. Hitungan mereka tidak sematematis pemikiran para ahli dan
pengusaha peternakan, dalam menghitung untung rugi usaha. Keuntungan sosial
(social benefit) bagi petani kaya
dinilai lebih dari pada keuntungan materi (material benefit).
Demikian juga dalam menjual ternak, khususnya peternak kecil, sangat
dipengaruhi fluktuasi harga pasar karena mereka khawatir akan kesulitan
memperoleh sapi bakalan untuk dibesarkan sebagai “deduwen” atau raja-kaya.
Di samping itu, perlu juga diperhitungkan jumlah sapi itu tidak semuanya
dalam usia dan jenis kelamin yang layak jual secara menyeluruh. Petani tahu
kapan mereka melepas ternak mereka secara menguntungkan, kecuali dalam
keadaan darurat.
Karena itu pertimbangan usia dan berat badan sangat berpengaruh terhadap
fluktuasi perdagangan ternak sapi di Indonesia.Belum lagi perhitungan reproduksivitas
ternak yang sangat rendah (13%), di bawah harapan (15,8%) sesuai dengan
perkiraan jumlah konsumsi daging secara nasional. Suntikan sapi bakalan
baik untuk di potong maupun untuk penangkaran perlu diperhitungkan untuk
mengatasi rendahnya reproduksivitas ternak. Dewasa ini pengusaha peternak
menghadapi kesulitan untuk mendapatkan sapi bakalan dari dalam negeri.
Kebutuhan Daging
Pengusaha peternakan sapi di Indonesia memiliki populasi sapi sekitar 1,82
juta. Dari jumlah tersebut, 25% dipertahankan sebagai stok penghuni kandang
yang menjamin pekerjaan bagi karyawannya. Sementara itu kebutuhan sapi
potong setiap tahunnya diperkirakan mencapai 2.541.000 ekor atau sekitar
15,8% jumlah populasi sapi di Indonesia (2012) yang cenderung menurun.
Dengan demikian jelaslah bahwa pembatasan jumlah impor sapi bakalan sangat
besar pengaruhnya terhadap penyediaan daging sapi di pasar.
Kalaupun ada pengusaha peternakan yang nekat memotong habis ternak di
kandang, selagi harga daging tinggi, berarti harus siap gulung tikar dan
mem-PHK karyawan dan menanggung beban penanaman modal yang tidak kecil.
Sebagai catatan, kuota impor sapi bakalan mengalami penurunan drastis dari
800.000-an ekor menjadi 267.000 ekor (2013).Belum lagi terhitung penyusutan
impor daging dari 90.000 ton menjadi 32.000 ron (2013).
Dapat dimengerti kalau pembatasan itu mengacaukan perdagangan daging dan
usaha peternakan secara modern. Akibat kelangkaan sapi bakalan dan stok
daging di pasaran melanda seluruh negeri, pengusaha pun berebut kuota dan
kalau perlu bersaing secara tidak sehat sehingga membuka peluang
manipulasi. Sementara itu peternak tradisional yang semula segan menjual
atau memotong ternaknya karena takut harga beli sapi bakalan terus
meningkat,mereka yang perlu uang tunai ikut memotong sapi betina yang nilai
kulturalnya lebih rendah dibanding sapi jantan.
Walaupun pemerintah membantah adanya pemotongan 1,2 juta sapi betina
sebagaimana diinformasikan oleh pihak BPS, kenyataan kultural memang
memungkinkan karena selain kecenderungan peternak mempertahankan sapi
jantan sebagai kebanggaan,juga karena alasan usia dan berat badannya.
Faktor sosial budaya lain yang perlu diperhitungkan adalah meningkatnya
jumlah golongan menengah yang dikatakan sebanyak 20%.
Meningkatnya jumlah penduduk golongan menengah itu biasanya diikuti dengan
meningkatnya kebutuhan hidup biologis dan kemanusiaan. Tercatat kebutuhan
akan daging yang terus meningkat 11% per tahunnya karena kesadaran gizi
dari golongan menengah. Mengingat tantangan kemajuan dan dinamika
masyarakat dalam pembangunan serta keanekaragaman latar belakang kebudayaan
yang hidup di kepulauan Nusantara, perlu
kiranya diperhitungkan kembali kebutuhan akan daging sapi, stok sapi
nasional dan distribusi kepemilikan serta pengelolaannya, pola perawatan
dan kapasitas reproduksi serta jaringan distribusi dan perdagangannya
dengan memperhitungkan faktor nonekonomik. Tanpa perhitungan yang cermat
serta perhatian terhadap faktor sosial budaya masyarakat Indonesia
(termasuk petani dan peternaknya), niscaya pemenuhan kebutuhan akan daging
sapi akan senantiasa bermasalah dan membuka peluang manipulasi sepanjang
masa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar