Selasa, 26 Februari 2013

Faktor Nonekonomik Pemenuhan Kebutuhan Daging Sapi


Faktor Nonekonomik
Pemenuhan Kebutuhan Daging Sapi
Subur Budhisantoso  Peneliti pada Pusat Penelitian 
Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Hidup UI
 
SINDO, 26 Februari 2013


Tidak diragukan bahwa pembatasan impor sapi bakalan dan pengaturan impor daging sapi untuk melindungi peternak tradisional dan dunia usaha peternakan telah menimbulkan gejolak harga pasar daging.

Perhitungan ekonomi matematis ternyata tidak selalu sejalan dengan kenyataan sosial. Perhitungan populasi, tingkat reproduksi dan kebutuhan konsumen akan daging secara statistik, ternyata tidak berlaku dalam dunia peternakan dan pola konsumsi yang dinamik. Pembatasan impor sapi bakalan dan pengaturan impor daging sapi untuk melindungi peternak sapi, justru menghancurkan peternak sapi tradisional dan dunia usaha peternakan yang baru digalakan, karena kurangnya perhatian terhadap aspek nonekonomik yang sangat besar pengaruhnya di kalangan masyarakat. 

Budaya Peternak Tradisional 

Sebagaimana diketahui, sebagian besar peternak sapi Indonesia masih hidup dalam komunitas perdesaan yang masih kuat dipengaruhi nilainilai budaya tradisional yang berkembang atas dasar perekonomian subsistensi dalam memelihara ternak. Pada umumnya mereka melakukan kegiatan ekonomi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari dan bukannya untuk mengejar keuntungan materi dan menghimpun modal sebagaimana halnya perekonomian pasar (market oriented economy). 

Kalaupun mereka mendapatkan hasil berlebih (surplus produksi) dalam kegiatannya, kelebihan itu dihimpun sebagai tabungan atau cadangan untuk menghadapi masa paceklik atau memenuhi kebutuhan hidup yang tidak terduga. Himpunan kekayaan dalam bentuk materi, seperti perhiasan dan bangunan rumah (raja brana) dan ternak (raja kaya) itu menjadi simbol keberhasilan usaha yang dapat meningkatkan status sosial di lingkungan masyarakatnya. 

Semakin banyak kekayaan dalam bentuk perhiasan, rumah ataupun ternak itu merupakan kebanggaan yang dapat menjadi ciri yang membedakan dari warga masyarakat di sekitarnya (status symbol). Lambang keberhasilan itu juga diwujudkan dalam besarnya perumahan dan pekarangan lengkap dengan kandang “raja kaya”atau ternak. Di masa lampau, ketika “kerbau Jepang” belum populer, depan atau dinding samping rumah petani yang berhasil dihias dengan bajak dan garu sebagai kelengkapan pertanian yang diperlukan untuk mengolah sawah atau tegalan yang luas. 

Bahkan kadang-kadang salah satu ruang depan rumahnya digunakan sebagai kandang kerbau ataupun sapi, yang mencerminkan luas sawah yang dimiliki. Bangunan rumah dan kandang ternak itu dapat diperbesar sesuai dengan tingkat keberhasilan usahanya,karena memang luas pekarangan rumah di perdesaan memungkinkan. Di beberapa daerah, khususnya di NTT, ternak sapi tidak semata-mata menjadi komoditas, melainkan juga berfungsi sebagai pengikat hubungan pertuanan dan perhambaan (patron client relation). 

Tuan atau majikan memberikan perlindungan dan kesejahteraan berupa ternak sapi yang dipercayakan kepada hamba-hambanya, dan sebagai imbalan para hamba itu menyediakan jasa dan kesetiaan yang dapat memperbesar pengaruh sosial majikan. Demikian pentingnya nilai ternak bagi masyarakat peternak, sering kali sapi menjadi sarana perdamaian dan pembayar ganti rugi dalam pertikaian antarkelompok. Di banyak daerah,sapi juga menjadi salah satu unsur penting dalam peminangan seorang gadis.

Karenanya harga sapi di pasar tidak dapat dipatok, tergantung pada musim perkawinan, musim upacara sosial ataupun keagamaan dan kebutuhan akan uang tunai. Sebagai catatan untuk membekali rumah tangga anak lelaki yang baru menikah, biasanya diwujudkan dalam bentuk ternak. Berbeda dengan bekal bagi anak perempuan dalam bentuk rumah atau tanah pertanian. Kenyataan sosial budaya peternak sapi tradisional yang menguasai stok sapi terbesar inilah yang kurang diperhitungkan sebagai faktor nonekonomik dalam perhitungan matematis pemenuhan kebutuhan akan daging sapi di pasaran.

Terlepas apakah sensus populasi itu benar atau tidak, jumlah ternak sebanyak 14.82 juta ekor itu sebagian besar (13 jutaan) dikuasai peternak sapi tradisional. Tidak banyak peternak yang mengelola sapinya lewat cara bisnis murni. Hitungan mereka tidak sematematis pemikiran para ahli dan pengusaha peternakan, dalam menghitung untung rugi usaha. Keuntungan sosial (social benefit) bagi petani kaya dinilai lebih dari pada keuntungan materi (material benefit). 

Demikian juga dalam menjual ternak, khususnya peternak kecil, sangat dipengaruhi fluktuasi harga pasar karena mereka khawatir akan kesulitan memperoleh sapi bakalan untuk dibesarkan sebagai “deduwen” atau raja-kaya. Di samping itu, perlu juga diperhitungkan jumlah sapi itu tidak semuanya dalam usia dan jenis kelamin yang layak jual secara menyeluruh. Petani tahu kapan mereka melepas ternak mereka secara menguntungkan, kecuali dalam keadaan darurat. 

Karena itu pertimbangan usia dan berat badan sangat berpengaruh terhadap fluktuasi perdagangan ternak sapi di Indonesia.Belum lagi perhitungan reproduksivitas ternak yang sangat rendah (13%), di bawah harapan (15,8%) sesuai dengan perkiraan jumlah konsumsi daging secara nasional. Suntikan sapi bakalan baik untuk di potong maupun untuk penangkaran perlu diperhitungkan untuk mengatasi rendahnya reproduksivitas ternak. Dewasa ini pengusaha peternak menghadapi kesulitan untuk mendapatkan sapi bakalan dari dalam negeri. 

Kebutuhan Daging 

Pengusaha peternakan sapi di Indonesia memiliki populasi sapi sekitar 1,82 juta. Dari jumlah tersebut, 25% dipertahankan sebagai stok penghuni kandang yang menjamin pekerjaan bagi karyawannya. Sementara itu kebutuhan sapi potong setiap tahunnya diperkirakan mencapai 2.541.000 ekor atau sekitar 15,8% jumlah populasi sapi di Indonesia (2012) yang cenderung menurun. Dengan demikian jelaslah bahwa pembatasan jumlah impor sapi bakalan sangat besar pengaruhnya terhadap penyediaan daging sapi di pasar. 

Kalaupun ada pengusaha peternakan yang nekat memotong habis ternak di kandang, selagi harga daging tinggi, berarti harus siap gulung tikar dan mem-PHK karyawan dan menanggung beban penanaman modal yang tidak kecil. Sebagai catatan, kuota impor sapi bakalan mengalami penurunan drastis dari 800.000-an ekor menjadi 267.000 ekor (2013).Belum lagi terhitung penyusutan impor daging dari 90.000 ton menjadi 32.000 ron (2013). 

Dapat dimengerti kalau pembatasan itu mengacaukan perdagangan daging dan usaha peternakan secara modern. Akibat kelangkaan sapi bakalan dan stok daging di pasaran melanda seluruh negeri, pengusaha pun berebut kuota dan kalau perlu bersaing secara tidak sehat sehingga membuka peluang manipulasi. Sementara itu peternak tradisional yang semula segan menjual atau memotong ternaknya karena takut harga beli sapi bakalan terus meningkat,mereka yang perlu uang tunai ikut memotong sapi betina yang nilai kulturalnya lebih rendah dibanding sapi jantan.

Walaupun pemerintah membantah adanya pemotongan 1,2 juta sapi betina sebagaimana diinformasikan oleh pihak BPS, kenyataan kultural memang memungkinkan karena selain kecenderungan peternak mempertahankan sapi jantan sebagai kebanggaan,juga karena alasan usia dan berat badannya. Faktor sosial budaya lain yang perlu diperhitungkan adalah meningkatnya jumlah golongan menengah yang dikatakan sebanyak 20%. 

Meningkatnya jumlah penduduk golongan menengah itu biasanya diikuti dengan meningkatnya kebutuhan hidup biologis dan kemanusiaan. Tercatat kebutuhan akan daging yang terus meningkat 11% per tahunnya karena kesadaran gizi dari golongan menengah. Mengingat tantangan kemajuan dan dinamika masyarakat dalam pembangunan serta keanekaragaman latar belakang kebudayaan yang hidup di kepulauan Nusantara, perlu kiranya diperhitungkan kembali kebutuhan akan daging sapi, stok sapi nasional dan distribusi kepemilikan serta pengelolaannya, pola perawatan dan kapasitas reproduksi serta jaringan distribusi dan perdagangannya dengan memperhitungkan faktor nonekonomik. Tanpa perhitungan yang cermat serta perhatian terhadap faktor sosial budaya masyarakat Indonesia (termasuk petani dan peternaknya), niscaya pemenuhan kebutuhan akan daging sapi akan senantiasa bermasalah dan membuka peluang manipulasi sepanjang masa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar