Para pimpinan PT Jasa Marga (Persero) Tbk
belakangan harus memeras otak lebih keras. Dua tugas khusus amat mendesak
untuk dicarikan jalan keluar: mengatasi kemacetan di jalan tol dan mengubah
sistem pembayaran di pintu-pintu tol.
Begitu khususnya, sampai-sampai hampir seminggu sekali saya tagih
kemajuannya. Untuk mengatasi kemacetan, memang tidak gampang. Tapi,
setidaknya sudah berhasil diinventarisasikan di titik mana saja kemacetan
itu terjadi dengan parahnya. Ada dua jenis kemacetan. Yang bisa
diselesaikan cepat dengan langkah yang sederhana dan yang harus melalui
jalan yang panjang. Maka, fokus diberikan kepada yang bisa cepat-cepat
dilakukan.
Misalnya, kemacetan di jalan layang Tomang dari arah Kebon Jeruk. Ternyata,
banyak lubang di ketinggian yang sulit dijangkau itu. Aneh juga, di
ketinggian seperti itu bisa banyak lubangnya.
Akibatnya, semua kendaraan melakukan pengereman mendadak. Macet.
Sudah berbulan-bulan lubang-lubang tersebut tidak tertangani karena tidak
adanya laporan. Malam itu juga, Kamis malam lalu, semua lubang tersebut
ditutup.
Tapi, untuk mengatasi kemacetan yang parah dari arah Kebon Jeruk ke Tomang
setiap pagi (dan sebaliknya setiap sore), persoalannya lebih rumit. Memang
adahope,
tapi harus menunggu selesainya jalan tol ruas Ulujami-Kebon Jeruk. Jalan
tol itu sudah selesai dibangun, kecuali yang 2,3 km yang tersendat oleh
urusan tanah.
Saya akan menemui Pak Jokowi untuk minta bantuan beliau. Bukan saya tidak
mau turun tangan, tapi urusannya memang hanya bisa diselesaikan oleh
Pemprov DKI Jakarta. Apalagi, pemilik jalan tol Ulujami-Kebon Jeruk itu
adalah perusahaan daerah DKI (40 persen) dan Jasa Marga (60 persen). Semoga
gubernur baru bisa lebih bikin gol daripada pejabat sebelumnya.
Yang juga parah adalah sumbatan di Halim. Kendaraan yang semula mengalir
deras, empat lajur dari arah Bekasi ke Semanggi, tiba-tiba menyempit
tinggal satu lajur di Halim. Bisa dibayangkan betapa macetnya.
Semula dianggap tidak akan ditemukan jalan keluar untuk persoalan itu.
Tidak mungkin menambah ruas di situ. Tidak ada lahan. Sebelah jalur
tersebut sudah berupa jalan raya arteri yang lalu lintasnya juga padat.
Tidak mungkin jalan arteri itu ditutup untuk perluasan jalan tol.
Tapi, sumbatan di Halim itu benar-benar "t.e.r.l.a.l.u!". Karena
itu, saya minta terus dipikirkan. Sampai-sampai, sejumlah staf Jasa Marga
hanya bertugas duduk di atas bukit kecil di dekat sumbatan itu
berhari-hari. Untuk menemukan inspirasi cara apa yang bisa ditempuh.
Akhirnya ditemukan! Bukit di dekat tempat mencari inspirasi itu dikepras.
Dibikinkan turap agar tidak longsor. Lalu dibuat jalan baru sepanjang 600
meter. Jalan baru itulah yang disiapkan untuk menjadi jalan arteri
pengganti. Sedangkan jalan arteri yang asli ''diminta'' untuk dijadikan
lajur tambahan jalan tol.
Inspirasi itu langsung diwujudkan. Siang-malam pengeprasan bukit dan
pembuatan jalan arteri dikerjakan. Dalam tiga bulan sudah jadi. Saya sangat
menghargai kesigapan Jasa Marga di sini. Juga ide briliannya. Minggu lalu
jalur baru tersebut sudah bisa digunakan.
Kini kendaraan dari empat lajur dari arah Bekasi yang semula menjadi satu lajur
sudah bisa menjadi dua lajur. Agak lega. Sementara. Derasnya pertambahan
kendaraan yang masuk jalan tol akan membuat kelegaan itu tidak akan lama.
Dari arah Cibubur menuju Semanggi juga menyebalkan. Tapi, hanya perubahan
kecil yang bisa dilakukan: pemasangan rubber cone untuk mendisiplinkan kendaraan.
Selama ini lajur kendaraan dari arah Cibubur menuju Semanggi sering
''diserobot'' truk dari arah Cibubur menuju Priok. Dengan pemasangan rubber
cone baru itu
(juga sudah berfungsi seminggu yang lalu), kesesakan menuju Semanggi
berkurang.
Hanya berkurang. Tetap sesak napas tapi sudah berkurang. Sudah berkurang
tapi tetap sesak napas. Bahkan, yang ke arah Priok justru lebih sesak.
Hope untuk jalur dari arah Cibubur itu
baru datang setahun lagi. Menunggu berfungsinya jalan tol dari Kawasan
Berikat Nusantara (KBN) ke Tanjung Priok. Jalan tol baru tersebut sekarang
sedang dikerjakan. Pekerjaan lagi dikebut. Tapi, tetap tidak bisa seperti
sulapan.
Tahun depan, kalau jalan tol KBN-Priok itu selesai, truk-truk dari arah
Cibubur tidak boleh lagi melewati Cawang. Kendaraan-kendaraan besar
tersebut dari arah Cibubur harus belok ke Cikunir menuju jalan tol baru
itu.
Kalau Anda ke Priok dan melihat pekerjaan jalan tol dengan tiang-tiang
penyangga yang amat tinggi, itulah jalan yang saya maksud. ''Ini bisa
mengurangi arus kendaraan dari Cibubur menuju Cawang sampai 30 persen,''
kata Adityawarman, Dirut Jasa Marga.
Titik menyesakkan lain yang juga sulit ditemukan hope-nya
adalah kemacetan dari arah Cawang menuju Kuningan. Saya tagih terus. Kapan
ide brilian di ruas itu bisa ditemukan.
''Sebetulnya ada ide yang cespleng,'' ujar Adityawarman, orang Palembang
yang suka bicara bahasa Jawa tersebut. Apa itu? ''Pintu masuk tol di dekat
Bukopin (dari arah Cawang) itu ditutup,'' ungkapnya.
Jalan tolnya pasti bisa lebih longgar, tapi jalan arterinya akan kian
padat. Persoalannya bukan di situ. Menutup pintu tol harus izin sampai ke
tingkat presiden. Dan lagi, masyarakat sekitar Cawang yang ingin masuk tol
menjadi harus sabar sampai setelah Kuningan.
Saya minta, ide itu jangan dimatikan. Kalau memang tidak ada lagi ide yang
lebih brilian, apa salahnya kalau izin penutupan tersebut diurus. Tapi,
memang harus dipertimbangkan baik-baik. Kalau perlu libatkan masyarakat.
Bahkan, Jasa Marga boleh saja mengadakan lomba terbuka. Siapa pun yang bisa
menyumbangkan ide brilian untuk penyelesaian kemacetan itu akan diberi
hadiah yang besar. Khusus untuk jalan tol. Bukan jalan umum. Jalan umum di
luar wewenang BUMN.
Kita menyadari, tiap titik kemacetan memerlukan ide segar. Satu orang bisa
saja menyumbangkan ide untuk mengatasi kemacetan di beberapa titik
sekaligus. Jasa Marga menyediakan hadiah. Tiap satu ide yang bisa
diterapkan akan mendapat hadiah Rp 100 juta.
Sekali lagi, syaratnya, bisa dilaksanakan. Bukan ide yang tidak bisa
dilaksanakan. Harus sekelas ide di Halim tadi. Tunggu pengumumannya dari
Jasa Marga.
Intinya, sesulit apa pun persoalan kita, kita tidak boleh menyerah.
Termasuk, kesulitan memperbaiki sistem di gerbang tol. Setelah enam bulan
tidak henti-hentinya saya tagih, akhirnya ditemukan sistem perbaikan itu.
Tanggal 6 Maret bulan depan, sistem pass-through yang benar-benar pass-through mulai difungsikan. Di tiga gerbang
tol ke arah Cengkareng dulu. Yang lain-lain menyusul.
Selama ini, pemilik mobil yang sudah memasang alat pass-through pun tetap harus menghentikan
mobilnya di pintu tol. Menunggu bunyi ''tiiiiiit...''. Baru palang pintunya
membuka.
Padahal, di negara-negara lain, yang namanya pass-through,
ya tidak perlu mobilnya berhenti dulu! Ini yang beberapa kali saya nilai
sebagai sistem yang primitif.
Mengatasinya ternyata tidak sederhana. Itu karena menyangkut kontrak antara
dua perusahaan. Untung dua-duanya BUMN: Jasa Marga dan Bank Mandiri. Maka,
saya tugaskan pejabat tinggi Kementerian BUMN, Dr Ir Irnanda Laksanawan,
untuk mengoordinasikan dan mencarikan terobosan.
Irnanda lantas melibatkan BUMN yang lain, PT Telkom dan PT LEN Industri.
Berhasil. Setelah pemasangan di tiga titik tanggal 6 Maret nanti, akan
terus dilakukan langkah yang sama di pintu-pintu tol yang lain. Dengan
demikian, kita tidak malu lagi: masak membuat pintu tol seperti di luar
negeri saja tidak bisa.
Memang masih ada persoalan: harga alat yang harus dipasang di dalam mobil
itu masih terlalu mahal (menurut banyak orang): Rp 650.000. Akibatnya,
masih sedikit kendaraan yang mau memasang peralatan pass-through.
Itulah yang saya minta untuk dicarikan jalan keluarnya. Salah satunya
dengan cara memproduksinya di dalam negeri. PT LEN sudah sanggup
mengerjakannya. Alhamdulillah. Dan saya
tidak perlu lagi melempar kursi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar