KECELAKAAN di Cianjur, Jawa Barat,
karena rem blong truk tronton yang kemudian menyasak kendaraan lain serta
rumah akhirnya menewaskan 16 orang (Jawa Pos, kemarin). Peristiwa itu semakin
menegaskan betapa berbahayanya truk-truk tronton raksasa yang merajai
jalanan. Barang yang beratnya berton-ton itu semestinya bisa lebih aman
diangkut dengan kereta api.
Lihat saja sepanjang jalanan Surabaya-Jakarta lewat jalur pantai
utara, truk-truk raksasa tersebut berjalan bagai siput. Pelan dan
menyusahkan pengguna jalan lain karena harus antre. Jangankan mereka
celaka, baru patah as atau kempis ban di tengah jalan saja sudah
menimbulkan kemacetan panjang yang merugikan banyak pengguna jalan lainnya.
Alangkah tidak adilnya. Si pengusaha yang barangnya diangkut lewat truk
menikmati keuntungan berlipat, namun ribuan orang lain sengsara karena
jalannya terganggu. Apalagi jika truk tronton tersebut melalui jalan sempit
dan berkelok. Dipastikan terjadi ular-ularan kendaraan.
Berat truk tronton raksasa tersebut jelas merusak jalan. Bahayanya, ketika
di jalanan menurun, jika rem blong, kecepatan truk akan meningkat. Jika
menyasak kendaraan lain, truk jadi monster yang siap menerkam siapa saja.
Selama pemerintah belum mampu menyediakan sarana jalan yang lebar dan kuat
serta regulasi perizinan yang ketat bagi mereka, ratusan nyawa bakal
menjadi korban. Di negara-negara maju, rata-rata truk tronton berkondisi
prima karena dikawal regulasi ketat serta didukung sarana jalan yang lebar,
sehingga tidak mengganggu dan mengancam pengguna jalan lainnya.
Jika barang yang berton-ton tersebut diangkut kereta api, jalanan akan aman
dan tidak rawan macet. Kalaupun ada tempat tujuan yang tidak dilalui jalur
KA, barang dapat dioper di setiap stasiun terdekat. Memang akan menambah
tahap bongkar muat. Tapi, ini demi keselamatan dan kelancaran bersama.
Selain menambah kapasitas gerbong barang, pembangunan rel ganda (double
track) KA Pulau Jawa diharapkan mengurangi beban angkutan barang di
jalan raya.
Tentu saja ada beberapa hal yang pantas dipikirkan. Yakni, kemungkinan
pengangguran para sopir, kernet, pemilik warung-warung di pinggir jalan,
jasa tambal ban, dan seterusnya. Kalau hal tersebut menjadi pertimbangan,
harus konsekuen, yakni membangun jalan yang kuat dan lebar. Apalagi,
ekonomi terus tumbuh pesat.
Penyebab kecelakaan juga banyak. Mulai sempit dan buruknya jalanan,
buruknya kualitas kendaraan, pengemudi yang ugal-ugalan, sampai buruknya
birokrasi di bidang transportasi. Sudah bukan rahasia, jalan-jalan penting
di negeri ini -apalagi di luar Jawa- luar biasa sempitnya dan di sisi lain
sangat buruk pula kualitas konstruksinya.
Korupsi Mel-melan
Kecelakaan tragis tersebut sering hanya menyalahkan si sopir belaka.
Padahal, kalau dirunut, berbagai kecelakaan boleh jadi merupakan akibat
jeleknya birokrasi di negeri ini. Budaya korupsi berupa ''ngemel''
alias pungli, misalnya, menjadikan kendaraan berat sebatas objek pemerasan.
Artinya, silakan rem blong, silakan melebih tonase, silakan membahayakan
orang lain, asalkan bayar kami, Anda boleh jalan!
Demikian pula soal uji kir kendaraan. Setali tiga uang. Kalau benar budaya
''mel'' kendaraan atau di setiap uji kir kendaraan masih ada, silakan oknum
pegawai yang melakukannya berkunjung kepada 16 keluarga korban yang tewas
itu. Silakan mereka ''uji nyali'', meneteskan air mata atau tidak. Syukur
mau membayangkan jika itu terjadi pada dirinya dan keluarganya.
Budaya ''mel'' merupakan salah satu cikal bakal kecelakaan karena melawan
kodrat. Pabrik kendaraan pasti sudah berhitung kekuatan tonase kendaraan,
kapan rem harus diganti, kapan mesin harus di-tune up. Jika itu
lalai, pasti maut akan mengintai. Jalanan pun akan menambah orang miskin
baru dari anak yatim dan janda. Sebab, kebanyakan yang mengalami
kecelakaan adalah usia produktif.
Kalau menyangkut nyawa manusia, tidak ada toleransi sedikit pun terhadap
mutu kendaraan dan jalan. Birokrasi juga mesti ketat dalam membangun serta
menguji mutu jalan, pelabuhan, kelaikan jalan angkutan darat dan laut,
kelaikan terbang, penurunan mutu bandara, serta perkembangan bangunan dan
gangguan di sekitar bandara.
Selain birokrasi yang jujur dan kredibel, budaya masyarakat harus dibangun.
Di negara-negara yang sarana transportasinya maju, pejalan kaki,
penyeberang jalan, pengguna sepeda, dan ''orang kecil'' lain di jalan
sangat dihormati. Nyawa manusia semestinya bukan sekadar angka statistik
yang dikomentari ringan layaknya berita artis saja. Karena itu, uji
kelaikan jalan angkutan umum masal sudah saatnya diperketat jika tidak
ingin nyawa manusia terus melayang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar