IKLAN politik sudah membanjiri
industri media di Indonesia. Para kandidat, menjelang pemilu kepala daerah,
menjadi saksi bahwa media dijadikan corong politik untuk mendulang suara
yang maksimal. Siapa yang menguasai media, ia akan menjadi rebutan politik.
Hary Tanoesoedibjo menjadi bukti. Pascamundur dari Partai NasDem, ia
menjadi magnet yang diburu partai politik (parpol).
Ketika Hary Tanoe berlabuh ke Hanura,
industri media yang dimilikinya akan dikerahkan secara maksimal untuk
meningkatkan elektabilitas Hanura. Tahun politik 2013 akan menjadi
pertaruhan media di tengah kontestasi politik.
Iklan politik yang hadir di media tertentu menjadi drama politik yang
dimainkan untuk kepentingan sesaat: 2014.
Perkembangan industri media sekarang
mengalami percepatan yang luar biasa. Sorotan media membuktikan bahwa media
menjadi kekuatan politik yang sangat krusial untuk mengundang simpati dan
mendulang citra. Media menjadi jala komunikasi yang siap `menyergap' para
penikmat untuk `tergiur' oleh dunia pencitraan yang digebyarkan.
Sebagai lembaga penyiaran, media berperan
sangat penting dalam membantu penciptaan bangsa yang maju dan beradab.
Dengan mengandalkan tipologi teknologi yang terus melaju, media sering kali
menampilkan fakta kehidupan yang provokatif. Berbeda dengan lainnya, media
hadir lebih lugas dan bisa dinikmati dengan saksama. Akan tetapi, kecepatan
arus informasi media di tengah godaan pragmatisme bisnis dan politik
menjadikan media sering kali terjebak dalam hiperrealitas media.
Jean Baudrillard dalam Simulations (1983)
menjelaskan hiperrealitas media ialah perekayasaan (dalam pengertian
distorsi) makna di dalam media. Hiperrealitas media menciptakan satu
kondisi sedemikian rupa sehingga di dalamnya kesemuan dianggap lebih nyata
daripada kenyataan, kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran, isu
lebih dipercaya ketimbang informasi, rumor dianggap lebih benar ketimbang
kebenaran. Kita tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kepalsuan,
antara isu dan realitas (Yasraf: 2006, 222).
Berkembangnya hiperrealitas media sangat
terlihat dalam gelanggang dunia politik di Indonesia. Pencitraan politik
dalam media hadir dengan penuh serba-serbi, makin menguatnya quick count, dan sajian kampanye yang
serbamanis. Semua menjadi kamuflase yang disebarkan dalam berbagai tayangan
televisi. Publik terjebak dengan penuh takjub melihat adegan politik yang
disajikan kaum elite. Berbagai kepalsuan menjelma menjadi isu yang dikonsumsi
tanpa henti. Kebenaran justru semakin tertutupi karena bisa membuat
malapetaka.
Citra
Palsu
Coba kita lihat kasus-kasus korupsi,
bencana lumpur Lapindo, dan kasus tendertender besar. Semua dicitrakan
penuh kepalsuan. Pengungkapan kebenaran dibatasi dan keberanian membongkar
fakta sebenar nya juga semakin ciut nyalinya. Sementara itu, kepalsuan yang
hadir dari berbagai elite politik ditayangkan sedemikian rupa, simulasi
bisnis berbagai merek tayang penuh sensasi, reality show hanya mengumbar gaya hidup yang absurd. Iring-iringan hiperrealitas
menyebarkan berjuta kepalsuan informasi dan menebarkan berjuta kesemuan
citra. Terjadi lah pemutarbalikan tanda dalam semiotika politik (pseudosign), terjadi
penjungkirbalikan makna semantik politik (pseudo meaning), dan terjadi penciptaan kesadaran semu politik
(false conscious ness).
Objektivitas dan kredibilitas informasi yang
disajikan televisi telah menciptakan disinformasi yang penuh
ketidakpastian. Realitas yang disajikan sudah tidak mempunyai basis
objektivitas karena setting
politik telah menciptakan ruang gerak kepalsuan yang bergerak semaunya.
Data publik, angka statistik, hasil pemilu, angka korupsi, skandal kuasa,
dan sebagainya telah kehilangan kredibilitas karena topeng kepalsuan tidak
menggambarkan realitas sosial yang sesungguhnya.
Disinformasi itu juga mengakibatkan
depolitisasi. Depolitisasi bisa dilihat dari berbagai janji politik yang
disajikan di media hanyalah untuk mendulang suara. Itu bukan sebagai
iktikad baik untuk membangun Indonesia, melainkan jabatan dan kekuasaan
yang ingin direngkuh. Diskusi dan seminar dalam skala nasional hanyalah
menyajikan data kepalsuan dan iktikad yang absurd untuk memperbaiki bangsa.
Kajian kemiskinan hanya menjadi proposal kekuasaan.
Diskusi pengangguran hanya untuk meraih simpati kaum buruh. Depolitisasi
terjadi penuh dengan keganjilan.
Karena kepalsuan informasi diproduksi
berjutajuta tanpa henti, lahirlah banalitas informasi. Di dalam banalitas
informasi, Jean Baudrillard dalam In The Shadow of the Silent Majorities
(1983) menjelaskan apa pun diubah menjadi informasi, menjadi tontonan,
menjadi berita, dan menjadi data. Tak peduli betapa banalnya berita itu, ia
tetap menjadi subjek informasi. Massa publik yang dikepung berjuta-juta
tanda dan citra tidak mampu lagi menginternalisasikan dan m enyubli masikan
makna yang dihasilkannya (Yasraf: 224).
Dromologi
Kecepatan teknologi informasi yang
dimainkan media telah menjadikan fakta baru bernama dromologi politik. Paul
Virilio dalam Lost Dimension
(1991) menjelaskan, dalam dunia yang dikuasai kecepatan, peran politik
ruang (geo-politics) telah
diambil alih oleh semacam politik waktu (chrono politics), yang di dalamnya kecepatan, percepatan, dan
tempo kehidupan yang semakin cepat telah mengharuskan setiap orang untuk
hidup dan bertahan dalam sebuah mesin dunia yang berlari kencang (dromology machine).
Dromologi media dalam gelanggang politik,
bagi Yasraf (2006), pada kenyataannya tidak mampu meningkatkan kualitas dan
nilai-nilai luhur politik, bahkan semakin menghancurkannya. Manusia politik
berubah menjadi homo-animalis atau
homo-criminalis, yang melakukan
berbagai tindak tak manusiawi, kekerasan, dan kejahatan dalam rangka
kekuasaan ekonomi-politik mereka. Dalam titik tersebut, manusia politik
justru telah menghancurkan politik itu sendiri (prinsip, kualitas, nilai,
dan makna).
Mereka gagal mencipta homo-humanis, yakni manusia politik yang di dalam setiap
aktivitasnya mampu meningkatkan kualitas manusia dan kemanusiaannya serta
mampu mengangkat harkat manusia itu sendiri pada posisi yang lebih tinggi. Saatnya
film kembali kepada khitahnya dalam rangka ajang kreativitas kebudayaan dan
sarana pendidikan serta pencerdasan warga. Di sinilah peran menciptakan
homohumanis bisa dijalankan dengan baik.
Apa pun peran politik dan peran bisnis yang
dimainkan, kalau komitmen mencipta homo-humanis
selalu terjaga, peran politik dan peran bisnis serta peran edukatif bisa
menjadi jembatan emas dalam merealisasikan tujuan luhur yang akan dicapai.
Perkembangan informasi yang semakin cepat menuntut penciptaan homo-humanis juga semakin cepat dan
akurat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar