Setelah hampir dua tahun proses investigasi
berlarut-larut, mengambang, dan tanpa kejelasan, akhirnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil sikap tegas dengan menetapkan Ketua
Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka dalam dugaan
kasus korupsi Hambalang.
Dalam pidato pengunduran dirinya sebagai nakhoda partai penguasa tersebut
(23/2/2013), Anas menyampaikan bahwa penetapan status hukumnya itu
merupakan akibat dari kuatnya intervensi kekuasaan terhadap proses hukum
yang ditangani KPK. Dugaan Anas itu disinyalir berawal dari adanya
rangkaian manuver politik yang sistematis dan dijalankan oleh para elite
Demokrat di lingkaran Majelis Tinggi, mulai tuntutan terbuka terhadap
kejelasan status hukumnya di KPK, penetapan
pakta integritas sebagai mekanisme konstitusional partai untuk
“melancarkan” proses pergantian kepemimpinan tanpa konflik dan perpecahan,
hingga terkuaknya kebocoran surat perintah penyidikan (sprindik) yang
diduga melibatkan oknum dari petinggi KPK serta pihak di lingkaran istana
kepresidenan. Fenomena ini memberikan pelajaran berharga betapa lembaga KPK
sejatinya tidak imun dari intervensi kekuasaan.
Jika benar pembocoran sprindik terjadi akibat tindakan kolusif antara
pimpinan KPK dan kubu Istana, maka pasal penyalahgunaan kekuasaan dapat
diberlakukan. Istana sebagai simbol kekuasaan eksekutif seharusnya bersikap
profesional dengan tidak mencampuradukkan antara domain privat dan domain
publik yang kebetulan menempel pada satu figur yang sama, yakni presiden
yang sekaligus juga majelis tinggi partai.
Berawal dari akses informasi rahasia dan sakral milik KPK inilah,
disinyalir langkah-langkah taktis penyelamatan partai dirumuskan oleh para
petinggi Demokrat yang kebetulan juga berasal dari kalangan elite di
struktur pemerintahan. Tindakan itu tak hanya melanggar prinsip etika dalam
berpolitik, tetapi juga menabrak tatanan baku penegakan hukum yang
jelas-jelas mengharamkan adanya perselingkuhan antara eksekutif dengan
yudikatif.
Kubu Anas juga mencium kuatnya aroma intervensi itu dari panjangnya proses
investigasi KPK yang bertele-tele sehingga memunculkan dampak instabilitas
politik yang tidak produktif serta menciptakan beragam spekulasi politik
yang mengacaukan konsentrasi kerja pemerintahan yang ada. Uniknya, silang
sengkarut investigasi itu seolah bisa diselesaikan secara cepat, ringkas,
dan praktis, berkat “orderan” Ketua Majelis Tinggi partai yang notabene
juga berstatus sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sikap KPK ini
dapat diinterpretasikan sebagai bentuk perlakuan istimewa (privilege) dari
lembaga penegak hukum terhadap kalangan penguasa dalam proses hukum yang
seharusnya berlaku prinsip dasar equality
before the law.
Investigasi dan Intervensi
Maju-mundurnya sikap KPK itu menguatkan indikasi bahwa pemberantasan
korupsi di Indonesia memang belum sepenuhnya independen. Langkah- langkah
investigasi, penuntutan, dan penjatuhan vonis tampak masih berkorelasi kuat
dengan peta konstelasi politik dan warna kekuasaan yang berjalan. Siapa
yang mampu memenangkan pertarungan politik akan bisa memengaruhi atau
bahkan mengendalikan arah kebijakan pemberantasan korupsi.
Fenomena semacam ini tak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga lazim
terjadi dalam proses pemberantasan korupsi di berbagai negara berkembang
laiknya negara-negara Amerika Latin, Afrika Utara, dan sebagian di
Asia-Pasifik. Dalam negara di mana korupsi telah berjalan secara sistemis,
masif, dan terstruktur, lembaga-lembaga antikorupsi yang dikenal relatif
independen terbukti tidak sepenuhnya kuat menghadapi intervensi kekuasaan.
Bahkan, banyak juga lembaga antikorupsi yang telah berubah menjadi
instrumen politik yang dipakai para penguasa untuk mengamankan kepentingan
partainya, mendisiplinkan aliansi politiknya, menjaga loyalitas pengikut,
menjatuhkan rival, mengonsolidasikan kekuatan, serta mencegah setiap
potensi ancaman dari pihak lawan dan kompetitor politik yang ada (Gillespie
dan Okruhlik, 1991).
Kepentingan penguasalah yang akan menentukan siapa yang akan menjadi target
dan tidak menjadi target dalam agenda pemberantasan korupsi. Walhasil, pemberantasan
korupsi menjadi lahan yang sangat rentan terhadap manipulasi, intervensi,
dan tekanan kekuasaan. Alhasil kinerja lembaga antikorupsi cenderung enggan
mengusut praktik korupsi kelas kakap (the
big fishes) yang dijalankan para elite dengan alasan klasik demi
menjaga stabilitas perpolitikan nasional (Tangri & Mwenda,2006).
Kini, sikap itulah yang tengah ditunjukkan KPK yang selama ini cenderung
terkesan setengah hati, bimbang, dan tidak yakin dalam menyikapi berbagai
kasus tokoh-tokoh kunci dalam tata politik dan pemerintahan. Kepemilikan
bukti kuat dan dalil-dalil hukum yang telah lama diperoleh, seolah sengaja
diendapkan seiring dengan fluktuasi pertarungan politik yang naik turun,
sembari menunggu ke mana arah kemenangan akan berlabuh.
Sandera Penguasa
Independensi lembaga antikorupsi merupakan salah satu faktor kunci
keberhasilan sebuah agenda pemberantasan korupsi. Namun, independensi itu
tidak akan berjalan efektif tatkala pemimpin tertinggi pemerintahannya
sendiri tidak mampu menjaga komitmen moral politiknya untuk tidak
mengintervensi. Komitmen moral pemimpin itulah yang akan menjadi salah satu
perisai bagi lembaga antikorupsi untuk berlindung dari gempuran
kelompok-kelompok kepentingan yang hendak mengintervensi kerja-kerja
pemberantasan korupsi.
Jika perisai itu sirna, kinerja pemberantasan korupsi tak ubahnya semacam
“pelayan” yang siap menerima pesanan dari para majikan guna menetapkan para
figur atau kelompok sebagai target-target operasi yang notabene tidak
sesuai dengan agenda dan kepentingan yang bersangkutan. Belajar dari kasus
Anas Urbaningrum ini, KPK harus kembali berani mengevaluasi total soliditas
internal di lembaganya.
Jebolnya barikade KPK ini menunjukkan betapa lembaga ini belum kuat dalam
memagari dirinya hingga kepentingan eksternal bisa bebas masuk untuk
mengacak-acak arah dan strategi kebijakannya. Pembuktian Dewan Etik KPK
yang tengah menelusuri persoalan bocornya sprindik ke tangan istana, akan
menjadi petunjuk selanjutnya bagaimana pola dan proses intervensi kekuasaan
itu dijalankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar