Jumat, 22 Februari 2013

Patologi “Manem” dalam Kekuasaan


Patologi “Manem” dalam Kekuasaan
Asmadji As Muchtar  Dosen Pascasarjana UII Jogjakarta
JAWA POS, 22 Februari 2013


DALAM sejarah dan kebudayaan Jawa, akronim malima (maling, main, madon, madat, mabuk) sangat populer sejak berabad-abad silam. Konon, Wali Sanga juga membuat proyek besar pemberantasan patologi atau penyakit sosial malima yang saat itu sedang merajalela. 

Padahal, jika dicermati, malima itu mestinya enam,yakni maenem alias  manem. Yakni, maling, main, madon, madat, mabuk, dan mateni. Yang disebut terakhir, mateni atau membunuh memang perbuatan paling buruk jika dibandingkan dengan yang lain. Sejak Ken Arok hingga zaman sekarang, fenomena mateni selalu mewarnai perkembangan politik kekuasaan. 

Lebih jelasnya, Ken Arok merebut kekuasaan dengan mateni. Lantas, mateni  menjadi proyek balas dendam yang berulang-ulang terkait dengan perebutan atau peralihan kekuasaan. Dan setiap proyek balas dendam dikerjakan, yang mateni dan yang dipateni bukan hanya seorang, melainkan banyak orang. 

Menilik data empiris, pada masa Amangkurat I abad ke-17, manem juga sangat populer karena banyak pembantaian dilakukan Amangkurat terhadap siapa saja yang dianggap melawan kekuasaannya. Puncaknya adalah pembantaian besar-besaran di paseban agung dan di alun-alun yang, konon, jumlah korbannya ribuan jiwa. 

Namun, sejarah selalu hanya mencatat seorang pelaku mateni dan yang  dipateni , sama dengan sejarah mencatat Pak Harto menumpas komunis. Karena itulah, ada puisi anonim di Tiongkok sehabis pembangunan Tembok Raksasa: Setelah tembok itu dibangun, ke manakah tukang-tukangnya pergi? 

Begitulah, sejarah selalu tak akurat mencatat. Dan karena itu, banyak petuah sering dilontarkan kepada generasi muda agar tidak mudah memercayai sejarah. Dalam hal ini, yang mudah memercayai sejarah bisa saja nasibnya sama dengan yang tidak mengerti sejarah, yakni sama-sama tergilas oleh sejarah. 

Intervensi Sejarah 

Meski seharusnya lebih populer, manem ternyata kalah populer jika dibandingkan dengan malima. Adapun faktornya adalah intervensi kekuasaan terhadap perilaku sosial politik serta penulisan sejarah. Lebih konkretnya,  manem kalah populer daripada malima karena perbuatan mateni paling buruk jika dibandingkan dengan yang lain. Sedangkan, kasus mateni sering berkaitan dengan kekuasaan. Dengan kata lain, yang mampu mateni biasanya pihak yang paling kuat dan berkuasa. Karena itu, perbuatan mateni cenderung dirahasiakan agar tidak ikut populer bersama malima. 

Namun, ada kalanya yang mampu mateni juga pihak yang sebenarnya relatif lemah. Dalam hal ini, biasanya cara yang dipakai untuk mateni adalah cara-cara yang sangat keji dan culas. Misalnya, cara menusuk dari belakang atau menggunting dalam lipatan. Maka, sejak dulu, jika ada yang mateni dengan cara licik, biasanya terkait dengan urusan politik atau kekuasaan. Yang layak dicermati pula, karena matenidengan cara licik tak mudah terungkap, sering sejarah terlambat mencatatnya dengan akurat. 

Begitulah. Mateni memang selalu terkait dengan kekuasaan sehingga pihak-pihak yang berkuasa sejak dulu sampai sekarang lebih suka memoulerkan  malima meskipun seharusnya manem yang dipopulerkan untuk membangun peradaban dalam arti luas. 

Dengan kata lain, semua penguasa yang pernah mateni lawan-lawan politiknya tidak ingin perbuatan paling buruk tersebut dicatat sejarah. Karena itu, mereka selalu berusaha memopulerkan (mengajak masyarakat untuk mencegah)  malima daripada manem. 

''Mateni'' Karakter 

Pada era modern ini, manem sebenarnya lebih populer jika dibandingkan dengan malima. Sebab, kasus-kasus mateni atau pembunuhan terus berlangsung berkaitan dengan politik dan kekuasaan. Misalnya, kudeta maupun demo-demo yang berujung maut kerapkali terjadi di berbagai negara. 

Bahkan, menjelang era reformasi, mateni dalam arti sebenarnya juga terjadi dengan cara yang sangat rahasia seperti menculik aktivis-aktivis. Bahkan, sampai sekarang, mereka yang diculik tidak jelas nasibnya dan besar kemungkinan telah tewas dibantai oleh tangan-tangan kekuasaan Orde Baru. 

Namun, belakangan mateni dalam arti yang sebenarnya, tampaknya, telah bergeser atau berubah menjadi pembunuhan karakter. Disebut pembunuhan karakter karena korbannya masih hidup, tapi kepribadiannya rusak atau hancur di mata masyarakat. 

Jika dicermati, kasus-kasus pembunuhan karakter selalu berkaitan dengan urusan politik atau kekuasaan. Pelakunya bisa saja cukup dengan memfitnah atau menceritakan kabar bohong atas korbannya. Misalnya, korbannya difitnah sebagai pembunuh atau koruptor lantas dipenjara. 

Selain itu, pembunuhan karakter bisa dilakukan dengan cara menjebak korbannya dalam tindak pidana tertentu seperti narkoba. Bahkan, pembunuhan karakter juga bisa saja dengan cara menjebak korbannya dengan memberi suap dan gratifikasi (rumah, mobil, seks). 

Sejak pilkada langsung digelar setiap lima tahun di semua daerah, kasus-kasus pembunuhan karakter selalu meramaikan masa sebelum maupun sesudah pilkada. Adapun pelaku dan korbannya selalu di antara sesama calon pemimpin daerah. Dalam hal ini, pelaku pembunuhan karakter dapat dipastikan memiliki watak kejam. 

Karena itu, seharusnya yang perlu dipopulerkan (untuk diberantas) bukan lagi malima. melainkan manem. Sebab, dunia ini tidak akan aman dan nyaman meskipun malima bisa dilenyapkan, tapi mateni atau pembunuhan karakter terus menerus terjadi di mana-mana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar