DALAM sejarah dan kebudayaan Jawa, akronim
malima (maling, main, madon, madat, mabuk) sangat populer sejak
berabad-abad silam. Konon, Wali Sanga juga membuat proyek besar
pemberantasan patologi
atau penyakit sosial malima yang saat itu sedang merajalela.
Padahal, jika dicermati, malima itu mestinya enam,yakni maenem alias manem. Yakni, maling, main, madon, madat,
mabuk, dan mateni. Yang disebut
terakhir, mateni atau membunuh memang perbuatan
paling buruk jika dibandingkan dengan yang lain. Sejak Ken Arok hingga
zaman sekarang, fenomena mateni selalu mewarnai perkembangan
politik kekuasaan.
Lebih jelasnya, Ken Arok merebut kekuasaan dengan mateni. Lantas, mateni menjadi proyek balas dendam yang
berulang-ulang terkait dengan perebutan atau peralihan kekuasaan. Dan
setiap proyek balas dendam dikerjakan, yang mateni dan yang dipateni bukan hanya seorang, melainkan
banyak orang.
Menilik data empiris, pada masa Amangkurat I abad ke-17, manem juga sangat populer karena banyak
pembantaian dilakukan Amangkurat terhadap siapa saja yang dianggap melawan
kekuasaannya. Puncaknya adalah pembantaian besar-besaran di paseban agung
dan di alun-alun yang, konon, jumlah korbannya ribuan jiwa.
Namun, sejarah selalu hanya mencatat seorang pelaku mateni dan yang dipateni , sama dengan
sejarah mencatat Pak Harto menumpas komunis. Karena itulah, ada puisi
anonim di Tiongkok sehabis pembangunan Tembok Raksasa: Setelah tembok itu
dibangun, ke manakah tukang-tukangnya pergi?
Begitulah, sejarah selalu tak akurat mencatat. Dan karena itu, banyak
petuah sering dilontarkan kepada generasi muda agar tidak mudah memercayai
sejarah. Dalam hal ini, yang mudah memercayai sejarah bisa saja nasibnya
sama dengan yang tidak mengerti sejarah, yakni sama-sama tergilas oleh
sejarah.
Intervensi Sejarah
Meski seharusnya lebih populer, manem ternyata kalah populer jika
dibandingkan dengan malima.
Adapun faktornya adalah intervensi kekuasaan terhadap perilaku sosial
politik serta penulisan sejarah. Lebih konkretnya, manem kalah populer daripada malima karena perbuatan mateni paling buruk jika dibandingkan
dengan yang lain. Sedangkan, kasus mateni sering berkaitan dengan
kekuasaan. Dengan kata lain, yang mampu mateni biasanya pihak yang paling kuat
dan berkuasa. Karena itu, perbuatan mateni cenderung dirahasiakan agar tidak
ikut populer bersama malima.
Namun, ada kalanya yang mampu mateni juga pihak yang sebenarnya
relatif lemah. Dalam hal ini, biasanya cara yang dipakai untuk mateni adalah cara-cara yang sangat keji dan culas.
Misalnya, cara menusuk dari belakang atau menggunting dalam lipatan. Maka,
sejak dulu, jika ada yang mateni dengan cara licik, biasanya
terkait dengan urusan politik atau kekuasaan. Yang layak dicermati pula, karena matenidengan cara
licik tak mudah terungkap, sering sejarah terlambat mencatatnya dengan
akurat.
Begitulah. Mateni memang selalu terkait dengan
kekuasaan sehingga pihak-pihak yang berkuasa sejak dulu sampai sekarang
lebih suka memoulerkan malima meskipun seharusnya manem yang dipopulerkan untuk membangun
peradaban dalam arti luas.
Dengan kata lain, semua penguasa yang pernah mateni lawan-lawan politiknya tidak ingin
perbuatan paling buruk tersebut dicatat sejarah. Karena itu, mereka selalu
berusaha memopulerkan (mengajak masyarakat untuk mencegah) malima daripada manem.
''Mateni'' Karakter
Pada era modern ini, manem sebenarnya lebih populer jika
dibandingkan dengan malima. Sebab, kasus-kasus mateni atau pembunuhan terus
berlangsung berkaitan dengan politik dan kekuasaan. Misalnya, kudeta maupun
demo-demo yang berujung maut kerapkali terjadi di berbagai negara.
Bahkan, menjelang era reformasi, mateni dalam arti sebenarnya juga terjadi
dengan cara yang sangat rahasia seperti menculik aktivis-aktivis. Bahkan,
sampai sekarang, mereka yang diculik tidak jelas nasibnya dan besar
kemungkinan telah tewas dibantai oleh tangan-tangan kekuasaan Orde Baru.
Namun, belakangan mateni dalam arti yang sebenarnya,
tampaknya, telah bergeser atau berubah menjadi pembunuhan karakter. Disebut
pembunuhan karakter karena korbannya masih hidup, tapi kepribadiannya rusak
atau hancur di mata masyarakat.
Jika dicermati, kasus-kasus pembunuhan karakter selalu berkaitan
dengan urusan politik atau kekuasaan. Pelakunya bisa saja cukup dengan
memfitnah atau menceritakan kabar bohong atas korbannya. Misalnya,
korbannya difitnah sebagai pembunuh atau koruptor lantas dipenjara.
Selain itu, pembunuhan karakter bisa dilakukan dengan cara menjebak
korbannya dalam tindak pidana tertentu seperti narkoba. Bahkan, pembunuhan
karakter juga bisa saja dengan cara menjebak korbannya dengan memberi suap
dan gratifikasi (rumah, mobil, seks).
Sejak pilkada langsung digelar setiap lima tahun di semua daerah,
kasus-kasus pembunuhan karakter selalu meramaikan masa sebelum maupun
sesudah pilkada. Adapun pelaku dan korbannya selalu di antara sesama calon
pemimpin daerah. Dalam hal ini, pelaku pembunuhan karakter dapat dipastikan
memiliki watak kejam.
Karena itu, seharusnya yang perlu dipopulerkan (untuk diberantas)
bukan lagi malima. melainkan manem. Sebab, dunia ini
tidak akan aman dan nyaman meskipun malima bisa dilenyapkan, tapi mateni atau pembunuhan karakter terus
menerus terjadi di mana-mana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar