Menko Polhukam Djoko Suyanto telah menurunkan tulisan yang sarat
makna sehubungan Hari Pers Nasional yang diperingati setiap 9 Februari.
Judulnya: ”Pers, Indonesia dan
Kemanusiaan Kita” (Kompas, 13/2).
Pada awal tulisan terdapat kerancuan pengertian tentang ”berita, informasi, media, dan pers”.
Dalam rangka percakapan Hari Pers, kita batasi dulu perkembangan sekitar
media dan pers dalam bentuk yang sudah didefinisikan seperti dimaksud
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Berita dan informasi,
termasuk gosip, dapat disiarkan oleh media sosial. Dan, informasi resmi disebarluaskan
oleh lembaga-lembaga pemerintah yang bersangkutan.
Pemilahan demikian penting. Sebab, pada ujung tulisan Djoko Suyanto
dikemukakan soal tanggung jawab, di mana sebutan yang berat itu timbul
sampai 10 kali! Terkesan seolah-olah hanya media dan perslah yang memikul
tanggung jawab melayani kemanusiaan dan nurani.
Terus Berbenah
Mari kita lihat permasalahannya secara beruntun. Apa sebenarnya yang
terjadi sehingga kita tiba pada situasi ini?
Pada 1998, ketika Presiden BJ Habibie mengambil alih pimpinan
nasional, Menteri Penerangan Junus Yosfia menghapus persyaratan yang
membatasi kemerdekaan pers: perizinan dan sensor dihapuskan. Prosedur
mendirikan pemancar radio dan pemancar televisi disederhanakan.
Bermunculanlah koran dan tabloid, kemudian disusul pemancar-pemancar radio
dan televisi daerah. Diberlakukannya UU Otonomi Daerah, yang disusul
kelancaran arus dana ke daerah, diperkirakan mendorong berkembangnya
kegiatan pers dan media di daerah.
Suburnya industri media dan pers yang meningkatkan demokratisasi di
Indonesia telah dilembagakan dengan disahkannya UU No 40/1999 itu. Di awal
reformasi itu, beberapa rekan telah bekerja keras merampungkan UU itu
sehingga agak terburu-buru dan dengan sendirinya tak sempurna. Sudah
disepakati akan dilakukan penyempurnaan, yang nantinya masih sempat
disahkan DPR saat ini.
Apa konsekuensi dari pemekaran pesat industri media yang difasilitasi
merekahnya kebebasan pers di awal Reformasi? Sebagai anggota yang diangkat
dari MPR Reformasi, 1999-2004 (Fraksi Utusan Golongan/utusan Persatuan
Inteligensia Kristen Indonesia), saya saksikan proses reformasi yang deras
ini. Proses tersebut lebih meningkat ketika Abdurrahman Wahid jadi Presiden
menjelang akhir 1999.
Sejarah modern Indonesia akan mencatat, MPR Reformasi telah mengganti
dua presiden secara berturut-turut tanpa timbul anarki yang memecah negara
dan bangsa. Urutan peristiwa serba intens itu telah diliput secara maksimal
oleh media yang menikmati kebebasan meskipun tak selalu berkualitas.
Namun, industri media yang sedang mekar ini menghadapi masalah amat
sulit. Karena sumber daya jurnalistik yang pas-pasan selama tahun-tahun
akhir, Orde Baru tiba-tiba diserbu oleh permintaan yang mendesak.
Tersebarnya tenaga-tenaga jurnalistik yang kompeten ke mana-mana sehingga
menipis dan masuknya wartawan dan tenaga redaksional baru, kadang tanpa
pendidikan ataupun pengalaman, berakibat pada penurunan kualitas
jurnalisme. Timbul keluhan dari masyarakat bahwa pers Indonesia tidak dapat
diandalkan lagi.
Apa yang wajib dilakukan, khususnya oleh organisasi profesional
seperti Persatuan Wartawan Indonesia? Keluhan masyarakat itu telah
dibicarakan pada Hari Pers di Palembang, 9 Februari 2010. Diputuskan: PWI
bersama pemerintah daerah/ provinsi menyelenggarakan sekolah jurnalisme.
Rencana ini menyangkut suatu program peningkatan pengetahuan serta
keterampilan bagi wartawan muda yang telah bertugas sekitar lima tahun
pengalaman.
Sekolah jurnalisme diselenggarakan di ibu kota provinsi dengan tim
pengajar dari PWI (Jakarta). Sekolah jurnalisme ini sudah berlangsung tiga
tahun dan pernah diselenggarakan di Palembang, Semarang, Bandung, Makassar,
Samarinda, Banjarmasin, Pekanbaru, dan Bandar Lampung. Sebagai anggota tim
pengajar (tentang ”Hubungan Media dan Pemerintah”), pengalaman ini sungguh memperluas
pemahaman saya tentang tantangan yang dihadapi media. Juga tanggung jawab
yang dibebankan di atas bahu seorang wartawan.
Dapat ditambahkan juga, kegiatan Lembaga Pers Dr Soetomo,
program-program pendidikan intern yang dilakukan sejumlah penerbitan dan
pemancar radio/TV masih belum mencukupi. Alokasi investasi untuk
meningkatkan pendidikan wartawan harus juga dilakukan oleh lembaga-lembaga
pemerintahan dan perusahaan-perusahaan besar.
Cenderung Mengkhotbahi
Akan tetapi, peningkatan pengetahuan dan kompetensi untuk memperdalam
rasa tanggung jawab profesional tidak hanya harus dilakukan di bidang
industri media dan pers. Kalau kualitas penghidupan bernegara dan berbangsa
di Indonesia ingin ditingkatkan, maka, terutama bidang kekuasaan negara,
mendesak supaya dikoreksi. Malahan, ada bagian yang perlu mengalami
amputasi.
Di sinilah cacat utama tulisan Djoko Suyanto. Ia fokuskan perhatian
hanya pada perlunya koreksi di bidang industri media dan pers. Ia melihat
”paradoks” (mungkin bukan istilah yang tepat) antara independensi wartawan
dan intervensi pemilik perusahaan pers. Namun, katanya, pesimismenya
terhapus setelah membaca Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 tentang kewajiban
wartawan bersikap independen.
Sebaliknya, saya bersikap makin pesimistis melihat budaya kekuasaan
yang masih dominan di sementara aparat keamanan negara, karena seakan-akan
sudah lupa Sumpah Jabatan dan Sapta Marga. Kejadian di Pekanbaru, Riau,
pertengahan Oktober tahun lalu, yakni penganiayaan oleh perwira menengah
AURI terhadap para wartawan, khususnya wartawan/fotografer Didik, bukanlah
suatu insiden yang mencuat secara lepas.
Tindakan Letkol Robert Simanjuntak itu adalah cerminan betapa masih
tipisnya kesadaran di kalangan aparat negara supaya mematuhi kebebasan pers
dan hak seorang wartawan melakukan tugasnya. Suatu kesadaran yang harus
ditanam sejak si calon perwira memasuki akademi militer, kemudian di
sekolah staf dan selanjutnya, karena kesadaran itu adalah bagian integral
dari kewajiban melindungi UUD RI.
Kalau ekses kekuasaan demikian terjadi ulang pada diri seorang
wartawan yang sedang bertugas, rekan-rekan telah sepakat bahwa sekali ini
kasusnya akan dibawa ke sidang pengadilan. Era saling memaafkan sudah lewat
karena tampaknya kesadaran menaati hukum itu masih juga belum mantap di
kalangan aparat sekuriti negara.
Kelemahan tulisan Djoko Suyanto itu, yang cenderung mengkhotbahi kami
yang bertugas di bidang industri media dan pers dan berusaha sekuat tenaga
membenahi diri, adalah dia tak melihat persoalan secara keseluruhan.
Ketimpangan-ketimpangan di birokrasi dan aparat negara dengan rentetan
korupsi yang semakin parah, sikap dan tabiat para politisi—di pusat dan
daerah—yang aneh-aneh sehingga cenderung menjadi bahan infotainment (itu rupanya yang dimaksud penulis sebagai gejala
membentuk ”pahlawan dan idolanya
sendiri”) mempersulit tugas pers yang serius untuk meliput peristiwa
sosial-politik secara akurat, berimbang tanpa tergoda oleh sikap
menghakimi. Pers, Indonesia dan
Kekuasaan, itulah aspek permasalahannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar