Masyarakat
Jawa Barat (Jabar) pada 24 Februari 2013 nanti akan merayakan pesta
demokrasi. Mereka akan menggunakan hak pilihnya untuk menentukan siapa yang
pantas duduk di kursi gubernur dan wakil gubernur untuk melayani masyarakat
Jabar.
Tentunya
pemilihan gubernur (pilgub) ini lebih kompetitif dengan adanya lima
cagub-cawagub yang maju untuk memperebutkan kursi Gubernur Jabar.
Sudah
sebaiknya masyarakat Jabar memilih sesuai dengan hati nurani dan
rasionalitasnya. Jangan sampai masyarakat memilih cagub-cawagub hanya karena
iming-iming uang.
Hal
itu akan melukai rasa keadilan dan berdampak buruk bagi kepemimpinan
Gubernur Jabar lima tahun ke depan. Seharusnya praktik politik uang (money
politics) untuk membeli suara rakyat dalam pilgub ini harus dicegah untuk
kebaikan bersama.
Salah
satu sebab praktik politik uang semakin marak di lingkungan masyarakat
adalah para calon telah terbiasa membagi-bagikan uang kepada masyarakat
sebagai bentuk shodaqoh politik.
Hal
itu dilakukan mulai dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan presiden.
Istilah serangan fajar digunakan calon untuk memastikan kemenangannya
dengan memberikan tambahan uang kepada masyarakat.
Dalam
sistem demokrasi, satu orang mempunyai satu suara (one man one vote) untuk
menentukan pilihannya. Gagasan demokrasi langsung dalam setiap pemilu
sejatinya dilatarbelakangi keinginan untuk menghindari jual beli suara.
Tujuannya
untuk meningkatkan akuntabilitas publik calon terpilih. Akan tetapi, dalam
praktiknya terjadi penetrasi demokrasi yang mengakibatkan hilangnya nurani
publik dalam pemilu. Nurani dibeli dengan sedikit uang maka demokrasi
semakin kehilangan makna.
Bahkan,
dalam demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi selama ini, praktik
politik uang semakin tak dapat dikendalikan. Berbagai peraturan
perundang-undangan yang melarang praktik haram ini seolah dibuat hanya
untuk dilanggar.
Praktik
politik uang dalam setiap pesta demokrasi itulah yang kemudian menyebabkan
masyarakat tidak bisa membedakan antara penyelenggaraan mekanisme politik
dengan politik uang. Ini karena politik uang dalam sebuah pemilihan umum
seakan menjadi keharusan.
Nurani
politik mati lantaran kalah dengan iming-iming kekuasaan dan uang. Tidak
ada yang bisa kita harapkan dari putaran politik uang dalam setiap pemilu,
sebab politik uang hanya akan merugikan masyarakat sendiri.
Saatnya Melawan
Pemilu
di mana saja membutuhkan dana yang tidak sedikit. Di tengah suburnya
politik uang dan mayoritas pemilih irasional, bisa jadi demokrasi langsung
akan menguntungkan cagub-cawagub yang kaya atau yang didampingi kelompok
bisnis tertentu.
Kita
teringat dengan ungkapan Vedi Hadiz, sosiolog di National University of
Singapore yang malah menduga ke depan kelompok bisnis bakal tergoda
menguasai langsung institusi negara guna melindungi kepentingan bisnis
mereka, tidak sekadar berpengaruh dalam struktur politik dan ekonomi.
Konspirasi ini sangat kuat terjadi ketika pemilu sedang berlangsung.
Namun,
kita semakin membuka lebar peluang pebisnis untuk menguasai negara dengan
menerima politik uang yang dilancarkannya. Imbasnya, pebisnis yang akan
mengendalikan jalannya pemerintahan.
Pemerintah
hanya manut dan patuh atas apa yang diperintahkan pebisnis tersebut. Inilah
kekeliruan nalar pikiran kita dengan menerima politik uang tersebut.
Kepentingan jangka pendek diprioritaskan dengan tidak memperhatikan
kelangsungan dan efek jangka panjangnya.
Kita
tentu mengenal teori “pemburu rente” yang sering kali bersinggungan dengan
politik dan ekonomi. Teori ini menjelaskan hubungan antara pengusaha dan
birokrasi atau pemerintah.
Pengusaha
selalu mencari privilege dari pemerintah dalam bentuk lisensi, kemudahan,
proteksi, dan sebagainya, untuk kepentingannya. Praktik ini menimbulkan
biaya sosial dan ekonomi publik yang besar karena masyarakat luas diabaikan
kepentingannya.
Teori
pemburu rente inilah yang sering kali mencampuri proses demokratisasi.
Banyak sekali pengusaha yang andil dalam pesta demokrasi untuk melindungi
usahanya. Bahkan, berapa pun uang akan dikeluarkan untuk melancarkan
misinya tersebut. Imbasnya, politik uang merebak di mana-mana dan semakin
terbuka, tanpa ada kendali aturan dan hukum yang kuat untuk mencegahnya.
Publik
merasakan denyut politik yang semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita
pembangunan sistem yang lebih baik. Tujuan mulia politik untuk kesejahteraan
rakyat telah dikorbankan sedemikian rupa untuk memuaskan nafsu pragmatisme
para elite yang kini sedang berburu harta dan kekuasaan. Jika sudah
demikian, korupsi menjadi kewajaran yang akan dilakukan ketika sudah
menjadi pejabat publik.
Praktik-praktik
semacam inilah yang tidak kita inginkan dalam pesta demokrasi di Jabar ini.
Sebagai rakyat yang cinta akan keadilan dan kesejahteraan, kita seharusnya
menolak praktik politik uang yang bisa mencederai demokratisasi.
Suara
rakyat adalah suara Tuhan (vox pupuli,
vox dei) yang tidak bisa dibeli dengan apa
pun dan berapa pun. Biarlah
nurani yang berbicara untuk menentukan siapa yang berhak menjadi Gubernur
dan Wakil Gubernur Jabar.
Merayakan
demokrasi bukan berarti memberikan politik uang atau menerima uang dari
para calon dengan tangan terbuka. Akan tetapi, merayakan demokrasi adalah
bagaimana kita sebagai bangsa mampu memaknai demokrasi dengan nurani dan
akal sehat.
Politik
uang sangatlah mencederai demokrasi. Dengan kita menerima politik uang dari
para calon, sama halnya kita telah melukai saudara-saudara kita yang rindu
akan keadilan dan kesejahteraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar