Senin, 25 Februari 2013

Melawan Politik Uang


Melawan Politik Uang
Nur Kholis Anwar  Analis Politik pada Center for Study of
Islamic and Politic (CSIP) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 23 Februari 2013


Masyarakat Jawa Barat (Jabar) pada 24 Februari 2013 nanti akan merayakan pesta demokrasi. Mereka akan menggunakan hak pilihnya untuk menentukan siapa yang pantas duduk di kursi gubernur dan wakil gubernur untuk melayani masyarakat Jabar.
Tentunya pemilihan gubernur (pilgub) ini lebih kompetitif dengan adanya lima cagub-cawagub yang maju untuk memperebutkan kursi Gubernur Jabar.

Sudah sebaiknya masyarakat Jabar memilih sesuai dengan hati nurani dan rasionalitasnya. Jangan sampai masyarakat memilih cagub-cawagub hanya karena iming-iming uang.

Hal itu akan melukai rasa keadilan dan berdampak buruk bagi kepemimpinan Gubernur Jabar lima tahun ke depan. Seharusnya praktik politik uang (money politics) untuk membeli suara rakyat dalam pilgub ini harus dicegah untuk kebaikan bersama.

Salah satu sebab praktik politik uang semakin marak di lingkungan masyarakat adalah para calon telah terbiasa membagi-bagikan uang kepada masyarakat sebagai bentuk shodaqoh politik.

Hal itu dilakukan mulai dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan presiden. Istilah serangan fajar digunakan calon untuk memastikan kemenangannya dengan memberikan tambahan uang kepada masyarakat.

Dalam sistem demokrasi, satu orang mempunyai satu suara (one man one vote) untuk menentukan pilihannya. Gagasan demokrasi langsung dalam setiap pemilu sejatinya dilatarbelakangi keinginan untuk menghindari jual beli suara.

Tujuannya untuk meningkatkan akuntabilitas publik calon terpilih. Akan tetapi, dalam praktiknya terjadi penetrasi demokrasi yang mengakibatkan hilangnya nurani publik dalam pemilu. Nurani dibeli dengan sedikit uang maka demokrasi semakin kehilangan makna.

Bahkan, dalam demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi selama ini, praktik politik uang semakin tak dapat dikendalikan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang melarang praktik haram ini seolah dibuat hanya untuk dilanggar.

Praktik politik uang dalam setiap pesta demokrasi itulah yang kemudian menyebabkan masyarakat tidak bisa membedakan antara penyelenggaraan mekanisme politik dengan politik uang. Ini karena politik uang dalam sebuah pemilihan umum seakan menjadi keharusan.

Nurani politik mati lantaran kalah dengan iming-iming kekuasaan dan uang. Tidak ada yang bisa kita harapkan dari putaran politik uang dalam setiap pemilu, sebab politik uang hanya akan merugikan masyarakat sendiri.

Saatnya Melawan

Pemilu di mana saja membutuhkan dana yang tidak sedikit. Di tengah suburnya politik uang dan mayoritas pemilih irasional, bisa jadi demokrasi langsung akan menguntungkan cagub-cawagub yang kaya atau yang didampingi kelompok bisnis tertentu.

Kita teringat dengan ungkapan Vedi Hadiz, sosiolog di National University of Singapore yang malah menduga ke depan kelompok bisnis bakal tergoda menguasai langsung institusi negara guna melindungi kepentingan bisnis mereka, tidak sekadar berpengaruh dalam struktur politik dan ekonomi. Konspirasi ini sangat kuat terjadi ketika pemilu sedang berlangsung.

Namun, kita semakin membuka lebar peluang pebisnis untuk menguasai negara dengan menerima politik uang yang dilancarkannya. Imbasnya, pebisnis yang akan mengendalikan jalannya pemerintahan.

Pemerintah hanya manut dan patuh atas apa yang diperintahkan pebisnis tersebut. Inilah kekeliruan nalar pikiran kita dengan menerima politik uang tersebut. Kepentingan jangka pendek diprioritaskan dengan tidak memperhatikan kelangsungan dan efek jangka panjangnya.

Kita tentu mengenal teori “pemburu rente” yang sering kali bersinggungan dengan politik dan ekonomi. Teori ini menjelaskan hubungan antara pengusaha dan birokrasi atau pemerintah.

Pengusaha selalu mencari privilege dari pemerintah dalam bentuk lisensi, kemudahan, proteksi, dan sebagainya, untuk kepentingannya. Praktik ini menimbulkan biaya sosial dan ekonomi publik yang besar karena masyarakat luas diabaikan kepentingannya.
Teori pemburu rente inilah yang sering kali mencampuri proses demokratisasi. Banyak sekali pengusaha yang andil dalam pesta demokrasi untuk melindungi usahanya. Bahkan, berapa pun uang akan dikeluarkan untuk melancarkan misinya tersebut. Imbasnya, politik uang merebak di mana-mana dan semakin terbuka, tanpa ada kendali aturan dan hukum yang kuat untuk mencegahnya.

Publik merasakan denyut politik yang semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita pembangunan sistem yang lebih baik. Tujuan mulia politik untuk kesejahteraan rakyat telah dikorbankan sedemikian rupa untuk memuaskan nafsu pragmatisme para elite yang kini sedang berburu harta dan kekuasaan. Jika sudah demikian, korupsi menjadi kewajaran yang akan dilakukan ketika sudah menjadi pejabat publik.

Praktik-praktik semacam inilah yang tidak kita inginkan dalam pesta demokrasi di Jabar ini. Sebagai rakyat yang cinta akan keadilan dan kesejahteraan, kita seharusnya menolak praktik politik uang yang bisa mencederai demokratisasi.

Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox pupuli, vox dei) yang tidak bisa dibeli dengan apa 
pun dan berapa pun. Biarlah nurani yang berbicara untuk menentukan siapa yang berhak menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar.

Merayakan demokrasi bukan berarti memberikan politik uang atau menerima uang dari para calon dengan tangan terbuka. Akan tetapi, merayakan demokrasi adalah bagaimana kita sebagai bangsa mampu memaknai demokrasi dengan nurani dan akal sehat.

Politik uang sangatlah mencederai demokrasi. Dengan kita menerima politik uang dari para calon, sama halnya kita telah melukai saudara-saudara kita yang rindu akan keadilan dan kesejahteraan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar