TANPA kamera, selebriti akan berpakaian sama seperti Anda:
tanpa make-up, rambut
palsu, pakaian ciri ''khas'', dan tentu tanpa gaya bicara mereka yang biasa
Anda lihat di layar kaca. Saat Barack Obama berkunjung ke Indonesia,
sejumlah orang membandingkan bahasa Indonesia yang dia ucapkan dengan
bahasa Indonesia selebriti remaja Cinta Laura. Di situs berita inilah.com (10 November 2010) saya menemukan komentar yang dikutip
dari pengguna Twitter:
"Mendengar Obama bisa bahasa Indonesia membuat saya makin benci sama
Cinta Laura," tulis akun Twitter Syzdasyz. Yang lain membuat
lelucon jika Cinta Laura menjadi Obama. Mungkin Cinta Laura akan bilang
'Bhineyka Cunggal Ikya', tulis Nurri. "Bahasa Indonesia Obama tidak
berlebihan, tetapi kok Cinta Laura berlebihan sekali
ya?" tanya Eliazer.
Namun, benarkah Cinta Laura tidak mampu mengucapkan kata-kata dalam lafal
bahasa Indonesia yang baik? Cara bicaranya yang unik ini bahkan menjadi
pembahasan di salah satu blog. Yaitu: http://jerryhadiprojo.wordpress.com/2008/02/21/analisis-perilaku-dan-perkataan-cinta-laura/.
Dalam film layar lebar ternyata Cinta Laura bisa berbicara dalam bahasa
Indonesia yang normal. Coba buka potongan film pada link di situs Youtube.com berikut ini (Cinderella Rp 156, Part 4/6), September
30, 2007: http://www.youtube.com/watchv=8S7RRYRbDac&feature=youtube_gdata_player. Seorang kamerawen televisi melaporkan, dalam percakapan
biasa Cinta Laura ternyata berbicara dalam lafal bahasa biasa,
normal-normal saja. Dia baru berubah saat kamerainfotainment menyalakan lampu-lampu sorot dan
bertanya kepadanya.
Saat mendiskusikan topik camera
branding, seorang follower saya (@Rhenald_Kasali) di Twitter, menulis begini:
"Prof @Rhenald_Kasali saya pernah mkn, meja samping saya CinLau w/ her
fam. Bicaranya biasa kok,
wlo sskli ngmg Jerman ke bpknya & English."
Hidden Camera
Demikianlah akting manusia dalam peradaban kamera. Saya yakin akting bukan
hanya ada di kalangan artis. Tanpa kehadiran kamera di ruang parlemen, saya
kira anggota-anggota perlemen yang terhormat tidak akan ber-''akting''
seperti layaknya pemain sinetron. Mereka tidak akan saling menunjuk jari,
mengepalkan tangan, menggebrak-gebrak meja, atau menuding-nuding tidak
santun. Buktinya, selesai sidang mereka bisa dengan mudah berangkulan dan
menyatakan, ''Kami tak ada masalah kok!''
Dan, saat tertangkap tangan oleh KPK, publik terkejut: mereka yang
berseteru di layar kaca saat sidang berlangsung ternyata bersahabat dalam
menggarap proyek-proyek tertentu.
Demikian pula saya yakin Hotman Paris dan Ruhut Sitompul tak akan berbicara
seperti tengah berkelahi. Sama seperti Anda. Ketika berfoto Anda yang
jarang tersenyum bisa menjadi semringah dan anak-anak alay menjadi tampak gembira bergaya.
Sedangkan direksi yang tengah difoto untuk company profile menegakkan dagunya agar tampak
berwibawa.
Inilah dunia yang serbasalah. Tak ada kamera, orang bisa memeras tanpa alat
bukti, uang negara dikuras koruptor, dan kejahatan sulit diungkap. Tapi,
bila ada kamera manusia langsung berakting. Maka, tak heran kalau manusia
umumnya lebih percaya pada hidden
camera.
Sosiolog Erving Goffman mencatat kehidupan ini tak ubahnya "a never-ending play" yang menjadikan semua orang pemain
sandiwara dengan berbagai peran. Dia membedakan panggung depan dengan
panggung belakang. Namun, manusia modern senang menghabiskan waktu
sehari-hari di panggung depan, menampilkan kemampuan dan peran secara
terbuka: Perayaan perkawinan, memberikan penjelasan, memimpin, mengajar,
mengemudi, melayani, dan seterusnya. Tetapi, siapa yang tidak letih
terus-menerus berada di panggung depan? Goffman menyarankan agar pemain
panggung sedia keluar secara berkala, kembali ke belakang panggung
menjalani kehidupan normal.
"In these private areas, we don't have to act. We can be our real
selves. We can also practice and prepare for our return to the front
stage" - Erving
Goffman.
Bila ini diteruskan, manusia yang berakting terus-menerus dapat menjadi
aktor yang manipulatif, memanipulasi orang lain untuk kepentingan pibadi.
Inilah yang disebutnya sebagai impression
management. Coba buka
video rekaman Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat
memimpin rapat resmi dengan kepala Dinas PU Pemprov DKI. Di situ dia
terkesan marah-marah saat menuntut agar biaya pembangunan infrastruktur
dipangkas 30 persen.
Namun, di lain kesempatan, juga di Youtube.com kita membaca bahwa dirinya tidak benar-benar
marah ketika itu. Menganalisis kedua video yang berbeda kesan ini mungkin
Anda akan bingung. Tetapi, inilah peradaban kamera dan peradaban advanced dramaturgy. Semua
pemimpin hanyalah ber-acting saat
berada di panggung depan. Dalam studi tentang camera branding yang saya lakukan, kami menemukan
bahwa kamera telah banyak digunakan untuk membentuk personaldan corporate brand. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar