Baru-baru ini, publik di Tanah
Air dikejutkan dengan dua peristiwa menghebohkan terkait bisnis online,
yaitu perdagangan bayi dan perdagangan anak baru gede (ABG). Situs
jual-beli online tokobagus.com yang selama ini banyak dikunjungi orang yang
hendak menjual atau membeli barang secara online, tiba-tiba gempar dengan
munculnya iklan penjualan bayi di situs tersebut.
Tak ragu, Farkhan, salah
seorang member tokobagus.com di Kalbar, akhir Desember 2012 lalu memasang
iklan kontroversi tersebut. Dalam iklan tersebut, Farkhan mempromosikan dua
bayi mungil berumur 18 bulan dengan banderol harga Rp 10 juta lengkap
dengan nomor telepon seluler yang bisa dihubungi untuk transaksi lebih
lanjut.
Belum reda heboh kasus
tersebut, pada awal 2013 publik kembali dikejutkan dengan terkuaknya
praktik prostitusi online. Diawali di Bandung, praktik-praktik haram ini
pun berhasil dibongkar di beberapa kota, di antaranya di Bogor. Praktik
penjualan anak di bawah umur untuk kepentingan seksual ini memanfaatkan
blog internet. Banderol yang dipasang untuk seorang ABG sekitar Rp 1,5
juta. Ironisnya, pelakunya adalah kalangan intelektual, mahasiswa.
Dua peristiwa ini
membentangkan benang merah untuk ditarik analisis bahwa di negeri ini
praktik-praktik kejahatan telah diumbar secara terang-terangan. Demi meraup
keuntungan materi, pelaku bisnis (yang dalam hal ini adalah pelaku
kejahatan) tanpa merasa berdosa menjalankan roda bisnis dengan mengabaikan
halal-haram, benar-salah, etis-amoral.
Dalam kedua kasus ini, jelas
bahwa pelaku bisnis ini telah berbuat kriminal berupa kejahatan terhadap
kemanusiaan. Betapa tidak, seorang anak manusia diperlakukan seperti barang
yang ditawarkan, diberi label harga dan diperjualbelikan kepada siapa pun
yang berminat dan mampu membayar harganya. Praktik perdagangan semacam ini
telah menjatuhkan martabat manusia sebagai makhluk mulia yang diciptakan
Sang Maha Pencipta.
Suburnya praktik-praktik
bisnis semacam ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang kapitalistik di
mana segalanya diukur dengan hukum supply
and demand. Selama ada permintaan maka akan ada pihak lain yang
menyediakan, tidak peduli apakah itu barang haram seperti narkoba, jasa
maksiat seperti pelacur atau bahkan sosok suci bayi yang tak berdosa
dijadikan sebagai komoditas. Nilai benar-salah tidak berlaku dalam sistem
ini.
Dari sisi korban pun jika dianalisis,
hal itu terkait dengan jeratan kapitalisme yang telah membutakan mata dan
hati. Para ABG yang rela melepaskan kehormatannya dengan banderol Rp 1,5
juta pun bukti bahwa bagi mereka uang lebih berharga dibanding kehormatan
mereka. Gaya hidup hedonis, suka berburu barang-barang mewah (baju,
handphone, jam tangan, tas, sepatu, kuliner, dan sebagainya) mendorong
anak-anak baru gede ini nyemplung ke dunia prostitusi untuk meraup rupiah
agar bisa memenuhi tuntutan gaya hidup 'wah' tersebut. Nilai-nilai agama
jelas mereka tanggalkan, asas-asas kepantasan jelas mereka labrak, bahkan
untuk berpikir bahwa praktik itu sesungguhnya merugikan diri mereka sendiri
sudah tidak sanggup mereka lakukan.
Sementara dalam kasus
penjualan bayi, analisis Iwan Yanuar (2013) menyatakan bahwa dalam
operasinya sindikat perdagangan bayi setidaknya ada tiga cara. Pertama,
melakukan penculikan nesjuoyb cara ini telah berkurang karena berisiko
tinggi.
Kedua, mendatangi panti-panti
asuhan dan menawarkan orangtua asuh bagi bayi yang mereka anggap cocok.
Dengan cara ini pihak panti tidak akan melaporkan kehilangan anak karena
mereka diyakinkan bahwa bayi-bayi itu akan diberikan kepada orang tua asuh.
Padahal kenyataannya bayi-bayi itu mereka jual kepada pasangan yang
membutuhkannya.
Ketiga, membeli dari keluarga
yang tidak mampu. Anggota sindikat berkeliling kampung, puskesmas dan rumah
bersalin mencari keluarga miskin yang akan memiliki anak. Mereka bahkan
berani memberi down payment (DP) kepada bayi yang masih dalam kandungan
bila ibunya menyetujui. Dalam beberapa kejadian sindikat ini bekerja sama
dengan bidan setempat. Dalam kasus ini keluarga miskin rawan menjadi
incaran sindikat perdagangan bayi.
Keluarga miskin harus
menanggung biaya kesehatan yang berat bagi mereka. Mulai dari fase
kehamilan yang membutuhkan kontrol kesehatan, asupan gizi yang sulit untuk
dipenuhi oleh pasangan miskin. Saat melahirkan biaya persalinan pun menjadi
persoalan apalagi bila si ibu mengalami gangguan semisal harus menjalani
bedah cesar, maka biaya kian membengkak.
Pasca melahirkan pun biaya
perawatan bayi menjadi persoalan. Apalagi bila keluarga tersebut harus
menanggung juga anak-anak yang lain. Kondisi terjepit seperti inilah yang
membuat banyak keluarga miskin merelakan menjual anaknya, baik dengan alasan
komersil ataupun dengan harapan agar anaknya mendapatkan orang tua yang
lebih layak mengurusnya.
Maka, mengentaskan kejahatan
perdagangan bayi tidak bisa dilepaskan dari jerat ekonomi kapitalisme yang
dirasakan oleh banyak keluarga di Tanah Air. Minimnya jaminan sosial dan
kesehatan menjadi beban hidup tersendiri. Sementara untuk kebutuhan hidup
sehari-hari saja sudah dirasakan kian berat.
Pemerintah memang sudah
mengeluarkan Program Jampersal (Jaminan Persalinan). Anggaran yang berasal
dari APBN, bukan APBD, ini sangat besar. Untuk tahun 2013 saja sudah
dianggarkan sebesar Rp 7 triliun. Setiap ibu melahirkan akan mendapat
bantuan sebesar 600 ribu rupiah. Tetapi, di lapangan program ini macet.
Sejumlah bidan dan rumah sakit belakangan mengeluhkan sulitnya mencairkan
Jampersal selain juga terjadi pemotongan dana Jampersal yang mereka terima.
Akibatnya, terjadi penolakan pelayanan Jampersal bagi warga miskin di
sejumlah daerah. Ditengarai ada beberapa pemda justru mengendapkan dana
Jampersal, selain juga terjadi salah peruntukan bukan bagi warga miskin.
Himpitan ini yang mendorong sejumlah ibu miskin tega menjual anaknya ke
sindikat perdagangan bayi.
Kriminalitas perdagangan bayi
adalah bagian dari lingkaran setan, kejahatan yang disebabkan oleh
kemiskinan. Penegakkan hukum semata tidak cukup menghentikan laju kejahatan
ini. Harus ada perombakan sistem ekonomi yang menciptakan distribusi
kekayaan yang berkeadilan, dan itu yang tidak akan pernah bisa diberikan
oleh kapitalisme. Kapitalisme-liberalisme lebih memilih mencabut subsidi
bagi rakyat, meminimalisir jaminan sosial, menciptakan konsentrasi kekayaan
pada sebagian orang.
Dengan demikian jelas bahwa
untuk menghentikan prostitusi ABG maupun perdagangan bayi harus dimulai
dengan perombakan sistem perekonomian kapitalisme agar tercipta
perlindungan menyeluruh bagi masyarakat secara baik secara ekonomi maupun
sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar