Minggu, 24 Februari 2013

Kejahatan Bisnis Online


Kejahatan Bisnis Online
Siti Nuryati Alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB
SUARA KARYA, 23 Februari 2013


Baru-baru ini, publik di Tanah Air dikejutkan dengan dua peristiwa menghebohkan terkait bisnis online, yaitu perdagangan bayi dan perdagangan anak baru gede (ABG). Situs jual-beli online tokobagus.com yang selama ini banyak dikunjungi orang yang hendak menjual atau membeli barang secara online, tiba-tiba gempar dengan munculnya iklan penjualan bayi di situs tersebut.

Tak ragu, Farkhan, salah seorang member tokobagus.com di Kalbar, akhir Desember 2012 lalu memasang iklan kontroversi tersebut. Dalam iklan tersebut, Farkhan mempromosikan dua bayi mungil berumur 18 bulan dengan banderol harga Rp 10 juta lengkap dengan nomor telepon seluler yang bisa dihubungi untuk transaksi lebih lanjut.

Belum reda heboh kasus tersebut, pada awal 2013 publik kembali dikejutkan dengan terkuaknya praktik prostitusi online. Diawali di Bandung, praktik-praktik haram ini pun berhasil dibongkar di beberapa kota, di antaranya di Bogor. Praktik penjualan anak di bawah umur untuk kepentingan seksual ini memanfaatkan blog internet. Banderol yang dipasang untuk seorang ABG sekitar Rp 1,5 juta. Ironisnya, pelakunya adalah kalangan intelektual, mahasiswa.

Dua peristiwa ini membentangkan benang merah untuk ditarik analisis bahwa di negeri ini praktik-praktik kejahatan telah diumbar secara terang-terangan. Demi meraup keuntungan materi, pelaku bisnis (yang dalam hal ini adalah pelaku kejahatan) tanpa merasa berdosa menjalankan roda bisnis dengan mengabaikan halal-haram, benar-salah, etis-amoral.

Dalam kedua kasus ini, jelas bahwa pelaku bisnis ini telah berbuat kriminal berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Betapa tidak, seorang anak manusia diperlakukan seperti barang yang ditawarkan, diberi label harga dan diperjualbelikan kepada siapa pun yang berminat dan mampu membayar harganya. Praktik perdagangan semacam ini telah menjatuhkan martabat manusia sebagai makhluk mulia yang diciptakan Sang Maha Pencipta.

Suburnya praktik-praktik bisnis semacam ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang kapitalistik di mana segalanya diukur dengan hukum supply and demand. Selama ada permintaan maka akan ada pihak lain yang menyediakan, tidak peduli apakah itu barang haram seperti narkoba, jasa maksiat seperti pelacur atau bahkan sosok suci bayi yang tak berdosa dijadikan sebagai komoditas. Nilai benar-salah tidak berlaku dalam sistem ini.

Dari sisi korban pun jika dianalisis, hal itu terkait dengan jeratan kapitalisme yang telah membutakan mata dan hati. Para ABG yang rela melepaskan kehormatannya dengan banderol Rp 1,5 juta pun bukti bahwa bagi mereka uang lebih berharga dibanding kehormatan mereka. Gaya hidup hedonis, suka berburu barang-barang mewah (baju, handphone, jam tangan, tas, sepatu, kuliner, dan sebagainya) mendorong anak-anak baru gede ini nyemplung ke dunia prostitusi untuk meraup rupiah agar bisa memenuhi tuntutan gaya hidup 'wah' tersebut. Nilai-nilai agama jelas mereka tanggalkan, asas-asas kepantasan jelas mereka labrak, bahkan untuk berpikir bahwa praktik itu sesungguhnya merugikan diri mereka sendiri sudah tidak sanggup mereka lakukan.

Sementara dalam kasus penjualan bayi, analisis Iwan Yanuar (2013) menyatakan bahwa dalam operasinya sindikat perdagangan bayi setidaknya ada tiga cara. Pertama, melakukan penculikan nesjuoyb cara ini telah berkurang karena berisiko tinggi.

Kedua, mendatangi panti-panti asuhan dan menawarkan orangtua asuh bagi bayi yang mereka anggap cocok. Dengan cara ini pihak panti tidak akan melaporkan kehilangan anak karena mereka diyakinkan bahwa bayi-bayi itu akan diberikan kepada orang tua asuh. Padahal kenyataannya bayi-bayi itu mereka jual kepada pasangan yang membutuhkannya.

Ketiga, membeli dari keluarga yang tidak mampu. Anggota sindikat berkeliling kampung, puskesmas dan rumah bersalin mencari keluarga miskin yang akan memiliki anak. Mereka bahkan berani memberi down payment (DP) kepada bayi yang masih dalam kandungan bila ibunya menyetujui. Dalam beberapa kejadian sindikat ini bekerja sama dengan bidan setempat. Dalam kasus ini keluarga miskin rawan menjadi incaran sindikat perdagangan bayi.

Keluarga miskin harus menanggung biaya kesehatan yang berat bagi mereka. Mulai dari fase kehamilan yang membutuhkan kontrol kesehatan, asupan gizi yang sulit untuk dipenuhi oleh pasangan miskin. Saat melahirkan biaya persalinan pun menjadi persoalan apalagi bila si ibu mengalami gangguan semisal harus menjalani bedah cesar, maka biaya kian membengkak.

Pasca melahirkan pun biaya perawatan bayi menjadi persoalan. Apalagi bila keluarga tersebut harus menanggung juga anak-anak yang lain. Kondisi terjepit seperti inilah yang membuat banyak keluarga miskin merelakan menjual anaknya, baik dengan alasan komersil ataupun dengan harapan agar anaknya mendapatkan orang tua yang lebih layak mengurusnya.

Maka, mengentaskan kejahatan perdagangan bayi tidak bisa dilepaskan dari jerat ekonomi kapitalisme yang dirasakan oleh banyak keluarga di Tanah Air. Minimnya jaminan sosial dan kesehatan menjadi beban hidup tersendiri. Sementara untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah dirasakan kian berat.

Pemerintah memang sudah mengeluarkan Program Jampersal (Jaminan Persalinan). Anggaran yang berasal dari APBN, bukan APBD, ini sangat besar. Untuk tahun 2013 saja sudah dianggarkan sebesar Rp 7 triliun. Setiap ibu melahirkan akan mendapat bantuan sebesar 600 ribu rupiah. Tetapi, di lapangan program ini macet. Sejumlah bidan dan rumah sakit belakangan mengeluhkan sulitnya mencairkan Jampersal selain juga terjadi pemotongan dana Jampersal yang mereka terima. Akibatnya, terjadi penolakan pelayanan Jampersal bagi warga miskin di sejumlah daerah. Ditengarai ada beberapa pemda justru mengendapkan dana Jampersal, selain juga terjadi salah peruntukan bukan bagi warga miskin. Himpitan ini yang mendorong sejumlah ibu miskin tega menjual anaknya ke sindikat perdagangan bayi.

Kriminalitas perdagangan bayi adalah bagian dari lingkaran setan, kejahatan yang disebabkan oleh kemiskinan. Penegakkan hukum semata tidak cukup menghentikan laju kejahatan ini. Harus ada perombakan sistem ekonomi yang menciptakan distribusi kekayaan yang berkeadilan, dan itu yang tidak akan pernah bisa diberikan oleh kapitalisme. Kapitalisme-liberalisme lebih memilih mencabut subsidi bagi rakyat, meminimalisir jaminan sosial, menciptakan konsentrasi kekayaan pada sebagian orang.

Dengan demikian jelas bahwa untuk menghentikan prostitusi ABG maupun perdagangan bayi harus dimulai dengan perombakan sistem perekonomian kapitalisme agar tercipta perlindungan menyeluruh bagi masyarakat secara baik secara ekonomi maupun sosial. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar