Belakangan ini, banyak
petinggi partai politik (parpol) yang terkena predikat tersangka dan akan
masuk ke lebih lanjut, yakni tahap penyidikan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Sayangnya, penggunaan pasal
sangkaan yang dikenakan seringkali menggunakan jerat Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi (UU Tipikor), dan sangat sedikit yang menggunakan UU Tindak
Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Padahal, kedua UU ini saling terkait erat,
bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu dengan
yang
lainnya.
Terungkapnya puluhan rumah
mewah yang kini disita KPK dari Irjen Joko Susilo (mantan Kepala Korlantas
Polri) dalam kasus Simulator SIM, setidaknya memperlihatkan pelajaran
menarik, bahwa KPK sekarang sudah mempergunakan UU TPPU untuk menjerat
tersangka koruptor di negeri ini. Hasil kerja KPK ini patut diapresiasi
kita bersama dan merupakan momentum yang sangat pas untuk memulai
mengaplikasikan UU TPPU untuk menjerat seorang tersangka tindak pidana
korupsi.
Hindari Pelacakan
Maklum, area korupsi
senantiasa dan hampir pasti menyentuh area pencucian uang. Seorang koruptor
bisa dipastikan ingin 'mencuci' uang atau dana hasil kejahatan korupsinya
melalui berbagai cara, agar tidak terlacak oleh aparat penegak hukum. Uang
hasil korupsi yang sebelumnya haram, coba dicuci akan keluar dari sistem
keuangan menjadi uang halal. Itu adalah modus umum yang biasanya dipakai
oleh para koruptor sekaligus para pencuci uang di negeri ini. Pola-pola umumnya,
hampir mirip atau bahkan sama modus operandinya.
Zaman makin canggih, para
koruptor jelas makin pintar memainkan proses pencucian uangnya. Mereka
tidak lagi menggunakan rekening bank, atau kalau ada, coba
diminimalisasikan sekecil mungkin. Untuk mengaburkan jejaknya, mereka
biasanya langsung menggelontorkan uang haramnya dalam berbagai bentuk
investasi yang tidak mudah untuk dedengus aparat penegak hukum. Sebab,
kalau menggunakan rekening bank, sangat mudah untuk dimonitor oleh Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Berbeda halnya apabila tidak
menggunakan rekening di bank, maka keberadaan uang haramnya tidak mudah
terdeteksi aparat. Banyak cara dilakukan, misalnya, dengan cara menbenamkan
uang haramnya dalam bentuk sektor riil (dunia bisnis/usaha), yakni dalam
bentuk kepemilikan saham di beberapa korporasi atau perusahaan. Atau,
langsung menanamkan modal pada beberapa sektor usaha secara bertahap,
sehingga transaksi yang dilakukan tidak terdeteksi, karena tidak akan
keluar dari profil keuangan si koruptor (karena tidak melampaui batas
transaksi wajarnya).
Para koruptor senang
menggunakan dana tunai, tanpa melalui bank, sehingga tidak mudah untuk
terendus transaksi mencurigakannya. Selain itu, banyak pula modus lainnya
seperti pembelian rumah atau tanah.
UU TPPU No. 8 tahun 2010
memang telah mengatur masalah ini. Pihak pelapor dalam hal ini penyedia
barang atau jasa seperti perusahaan properti atau agen properti, dealer
mobil harus melaporkan setiap terjadinya transaksi di atas Rp 500 juta.
Namun, bisa dipastikan sangat sedikit agen properti atau developer yang
rajin dan rutin membuat laporan secara berkala ke pihak PPATK.
Padahal, harga rumah yang
dijual rata-rata mungkin sudah di atas Rp 500 juta. Terlebih, apabila si
pencuci uang membeli asset property
atau tanah bukan dari perusahaan developer, namun langsung dari perorangan
(person to person), maka hampir
dipastikan tidak akan ada data di PPATK. Si pencuci uang ini tidak akan
bisa terdeteksi kejahatan pencucian uangnya. Begitu pula dengan pembelian
mobil mewah atau investasi dalam bentuk sektor riil secara bertahap juga
tidak akan bisa termonitor dengan baik oleh PPATK.
Oleh sebab itu, asset tracing
yang dilakukan oleh PPATK harus komprehensif dan aktif secara cerdas
mencari data di lapangan dari banyak pihak. Bahkan, transaksi yang berkisar
di bawah Rp 500 juta pun harus bisa dideteksi, karena kecenderungan dari
pencucian uang biasanya memecah transaksinya menjadi nominal kecil-kecil,
sehingga tidak mudah terlacak. Bahkan, ada koruptor yang membeli sepeda
sport dengan harga Rp 150 juta (sepeda super mahal), namun jelas tidak
terendus sama sekali kebedaraannya. Padahal, yang dipergunakan untuk
membeli barang tersebut adalah hasil kejahatan korupsi.
Intinya, dengan asset tracing
semacam ini, harta koruptor bisa terlacak dengan baik. Pesan moralnya
jelas, setelah asetnya terdeteksi, kalau itu hasil kejahatan korupsi, harus
dikembalikan ke negara. Jadikan koruptor miskin semiskin-miskinnya,
sehingga ada efek jera bagi para koruptor lainnya untuk melakukan hal yang
sama.
Jangan sampai terjadi, pelaku
korupsi justru makin bersemangat, karena setelah dihukum maksimal beberapa
tahun, mereka akan keluar dengan kekayaan yang masih melimpah dari hasil
kejahatannya. Buatlah bentuk hukuman yang membuat para koruptor kapok
melakukan hal yang sama di kemudian hari. Bagaimanapun juga, keadilan harus
ditegakkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar