HANYA ada satu kata: lawan! Itulah yang barangkali berkecamuk dalam
benak Anas Urbaningrum ketika memutuskan berhenti dari jabatan Ketua Umum
DPP Partai Demokrat (PD) pada Sabtu (23/2), sehari setelah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan sebagai tersangka korupsi proyek
Hambalang. Ini baru permulaan, kata Anas, dan ia akan membuka lembaran
berikutnya.
Ada dua sasaran perlawanan Anas, yaitu KPK dan Partai Demokrat. Dia
yakin tidak terlibat kasus Hambalang. Untuk melawan komisi antikorupsi itu,
ia menyiapkan tim pengacara tangguh. Anas merasa dijatuhkan elite partai,
termasuk oleh Ketua Majelis Tinggi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelum
KPK menetapkannya sebagai tersangka.
Untuk membalas perlakuan itu, ia akan membuka lembaran-lembaran
berikutnya. Lembaran apakah itu? Bisa jadi lembar yang memuat dugaan
korupsi dan kecurangan lain yang melibatkan elite partainya, termasuk
mengaitkan dengan kasus lain.
Anas tak mau jatuh seorang diri, ia bertekad menyeret elite lain.
Bahkan mungkin mengeluarkan jurus pamungkas: tiji tibeh, mati siji mati
kabeh, mati satu mati semua. Maka ia pun menabuh genderang perang.
Mungkin ia akan mengikuti jejak M Nazaruddin yang begitu ditetapkan KPK
sebagai tersangka korupsi proyek wisma atlet SEA Games XXVI di Palembang
langsung menyeret sejumlah nama, termasuk Angelina Sondakh.
Mantan Bendahara Umum PD itu juga menyeret Andi Alifian Mallarangeng,
saat itu Menpora, kemudian Anas dalam kasus Hambalang. Dalam konteks ini,
kita mendorong Anas untuk buka-bukaan. Bahkan bila perlu, kalau berani
menyebut siapa saja di partainya atau pihak lain yang terlibat kasus
Hambalang atau kasus lain, mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
itu bisa diposisikan sebagai whistle blower dan justice collaborator dengan
kompensasi keringanan sanksi hukum.
Meraih Simpati
Anas bisa jadi membuka dugaan kecurangan dalam Pemilu dan Pilpres
2009 semasa ia menjadi komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bila benar
ada kecurangan dan kemudian kecurangan itu dia bongkar maka tiji tibeh bisa
mewujud. Kita berkeyakinan Anas memegang kartu as, atau bahkan kartu truf
menyangkut elite partainya.
Anas tidak akan main-main. Tak biasa-nya ia menggunakan kalimat
sevulgar itu. Ketika merasa dizalimi oleh beberapa elite partainya pun, ia
tak pernah melakukan perlawanan secara terbuka. Ia hanya memasang status di
Blackberry berupa idiom atau sanepa sebagai bentuk perlawanan, semisal
’’aja kagetan’’, ’’ajak gumunan’’, ’’ aja dumeh’’, dan ’’politik para
Sengkuni’’. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar