Usia reformasi yang sudah
menginjak 14 tahun lebih belum memberilandasan bagi pencapaian
kesejahteraan terhadap rakyat secara merata seperti yang diimdankan.
Kelihatannya baru kesejahteraan itu baru bisa dirasakan oleh segelintir
orang di kalangan atas saja. Demokrasi yang digadang-dagang sebagai sistem
paling ideal bagi bangsa ini untuk mencapai kesejahteraan pun tersandera
oleh kepentingan elite politik. Alih-alih menciptakan ketentraman,
demokrasi malah mendatangkan kegaduhan.
Demokrasi kini bahkan menjadi
anomali. Anomali demokrasi - seperti diungkapkan Azyumardi Azra - terlihat
ketika bentrokan antarkelompok di Tanah Air terus merebak. Anomali
demokrasi juga terlihat ketika kasus korupsi semakin marak. Jika dulu kasus
korupsi hanya terjadi di kalangan eksekutif, kini sudah menjalar ke segenap
lini pemerintahan seperti legislatif, yudikatif, bahkan oleh para pegawai
negeri sipil (PNS) gologongan terendah sekalipun.
Kini bangsa kita semakin penuh
kepalsuan. Pemilu hanya menjadi ornamen demokrasi untuk memilih - meminjam
istilah Benny Susetyo (2013) - para politisi busuk. Partai politik (parpol)
tak ubahnya "mesin pendulang" uang rakyat karena sudah tidak
mampu lagi menjalankan fungsi esensialnya, menciptakan kader-kader terbaik
untuk bangsa.
Di sisi lain, pemimpin
tertinggi di negeri ini hanya sibuk menumpuk gelar dan penghargaan.
Presiden SBY bahkan sangat getol membanggakan demokrasi kita di forum-forum
internasional. Padahal kalau mau jujur, demokrasi kita terlihat semarak
karena politik yang gaduh. Kita saat ini dihadapkan pada politik
transaksional yang sangat akut. Janji-janji elite politik begitu manis saat
kampanye, tetapi terasa pahit ketika mereka duduk di pucuk kekuasaan.
Dalam demokrasi, rakyat hanya
dijadikan objek pemerasan oleh segelitir elite politik. Demokrasi pun
menjadi berbalik kalau tidak mau dikatakan konyol. Demokrasi tidak lagi
"dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat", tetapi telah diubah
menjadi "dari saya, oleh saya, untuk saya". Demokrasi semakin
melebarkan kesenjangan karena hanya menjadi "mainan" kaum
beruang.
Dalam demokrasi kita sekarang,
kekuasaan begitu mudah dibeli. Siapapun, entah pengusaha, artis, ataupun
penyanyi dangdut, semua bisa dengan mudah melenggang ke Senayan asalkan
punya uang dan popularitas. Ideologi dan integritas adalah
"jualan" ke nomor sekian dalam demokrasi. Inilah kenapa demokrasi
kita - seperti disinyalir Daoed Joesoef (2012) - telah mengidap neurosis.
Harus diakui, untuk
menciptakan kesejahteraan melalui jalan demokrasi, tidaklah mudah. Jack
Snyder dalam, From Voting to Violence (2000) pernah mengatakan, untuk
menuju kepada kesejahteraan, demokrasi membutuhkan prasyarat-prasyarat
penting. Di antaranya adalah supremasi hukum yang kuat, ekonomi yang pro
rakyat, aktor politik yang jujur, serta perlindungan terhadap hak asasi
manusia.
Menciptakan demokrasi bukan
hanya sekadar menggulingkan rezim otoriter. Demokrasi harus dijalankan
dengan penuh rasa tanggung jawab. Seperti kata Bung Hatta, "Demokrasi
tidak akan berjalan baik apabila tidak ada rasa tanggung jawab".
Rasa tanggung jawab demokrasi
di sini terletak pada, apakah sistem demokrasi mampu mendatangkan
kesetaraan/keadilan atau tidak? Karena perlu dingat, demokrasi sendiri
berasal dari bahasa Yunani, yakni demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan)
yang memiliki arti "kendali rakyat atas urusan publik dalam kesetaraan
politik" (Beetham, 1999). Ini artinya, kesetaraan antar warga negara
menjadi poin penting dalam penyelanggaraan demokrasi.
Sebab, dibandingkan dengan
negara lain, demokrasi Indonesia terbilang sangat unik. Tidak seperti di
negara-negara Uni Eropa dan Jepang yang memiliki karakter homogen.
Indonesia justru memiliki karakter sangat heterogen karena terdiri dari
beragam suku bangsa, bahasa, budaya, dan agama.
Untuk itu, merawat demokrasi
di Indonesia jauh lebih sulit. Demokrasi Indonesia harus "diikat"
dengan nilai-nilai multikultural. Demokrasi Indonesia tidak bisa berdiri
sendiri, mengekor pada Barat, apalagi tidak akulturatif dan adaptif dengan
keragaman yang ada. Tanpa "diikat" dengan multikulturalis me,
demokrasi Indonesia hanya akan mendatangkan euphoria dan gegap gempita.
Demokrasi yang sejak awal diproyeksikan sebagai konsep "persamaan hak
bagi rakyat" justru akan berubah menjadi "kebijakan sepihak oleh
pemerintah terahdap rakyat".
Sebab, multikulturalisme,
seperti diungkapkan Daniel Sparringa dan Ignas Kleden dalam Konsepsi
Demokrasi (2011: 20), adalah sebuah kepercayaan yang mengatakan bahwa
kelompok-kelompok etnik atau budaya dapat hidup berdampingan secara damai
dalam prinsip co-existence yang
ditandai oleh kesediaan menghormati budaya lain.
Multikulturalisme berbeda
dengan pluralisme. Meski keduanya mensyaratkan hadirnya toleransi, tidak
semua elemen dasar dari keduanya sama. Pluralisme menekankan pada perbedaan
ide, sementara multikulturalisme berkenaan dengan kebedaan yang bersumber
terutama pada identitas etnik dan agama (Sparringa dan Kleden, 2011: 18).
Dengan kata lain, untuk menuju
sebuah kesejahteraan, demokrasi Indonesia harus ramah dengan kondisi
kemajemukan yang ada. Konsep demokrasi harus mampu melahirkan
"keguyuban" dan keadilan yang menyeluruh, bukan keadilan pada
kelompok mayoritas saja. Ini penting! Sebab jika tidak, mengutip ungkapan
Bung Hatta di atas, demokrasi kita berarti belum bisa dipertangungjawabkan.
Dengan
demokrasi seperti itu, alih-alih mendatangkan kesejahteraan, demokrasi kita
justru akan mendatangkan "malapetaka". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar