Praktik
kartel pangan di negeri ini semakin nyata dan menggurita. Korbannya bukan
lagi rakyat jelata, melainkan sudah menyentuh kalangan elite politik.
Sesuai dengan tabiatnya, kartel pangan ini selalu menggunakan segala cara
untuk mencapai tujuan.
Membelit
lingkaran kekuasaan merupakan jurus wajib yang harus dilakukan agar dapat
menancapkan kuku-kuku pengaruh dan mempermudah segala urusan. Terkuaknya
kasus dugaan suap terkait rekomendasi alokasi impor daging sapi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu mengamini keberadaannya.
Para pelaku
kartel (kartelis) selalu memainkan jurusjurus busuk, kongkalikong,
patgulipat, dan hanky panky untuk
memainkan harga berbagai kebutuhan pangan. Mulai dari beras,daging
sapi,gula, minyak goreng, kedelai, dan berbagai kebutuhan pangan lain.
Beberapa waktu lalu Kamar Dagang dan Industri Indonesia memperkirakan
potensi kartel pangan di Indonesia mencapai Rp11,3 triliun per tahun dari
total impor pangan sebesar Rp90 triliun.
Praktik kartel
menciptakan kegiatan ekonomi yang distortif, struktur pasar timpang,
monopolistik, serta oligopolistik. Kartelis-kartelis inilah yang seringkali
membuat bahan kebutuhan pokok langka dan harganya bergejolak tanpa penyebab
yang jelas. Mekanisme pasar sering lumpuh, hukum penawaran dan permintaan (supply and demand) tak berfungsi
dengan baik. Gonjang-ganjing harga gula dan daging sapi merupakan dua
contoh ulah para kartelis.
Saat musim
giling tahun lalu, ketika stok gula dalam negeri melimpah, harga gula
meroket melampaui batas psikologis masyarakat. Kasus yang sama juga terjadi
pada daging sapi. Menurut hitunghitungan di atas kertas, ketersediaan
daging sapi yang berasal dari produksi dalam negeri dan dari impor sangat
mencukupi kebutuhan masyarakat. Kenyataannya, harga daging sapi melonjak
tak terkendali sampai detik ini.
Kondisi seperti
ini jelasjelas merujuk pada praktik kartel. Boleh jadi kondisi ini sengaja
diciptakan sebagai bentuk pukulan balik (kick back) dari para kartelis terhadap kebijakan Kementerian
Pertanian mengurangi kuota impor daging sapi yang nyatanyata memangkas
pendapatan mereka. Para kartelis tak peduli jeritan rakyat, hati nurani tak
jadi ukuran, ukurannya adalah jumlah fulusyang dapat mereka keruk dari aktivitas
ini.
Tender Terbuka
Penulis yakin
praktik kartel di negeri ini bisa dilawan dan diberantas melalui mekanisme
dan koridor hukum yang ada. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara jernih
menegaskan “antarpelaku usaha
dilarang membuat perjanjian untuk memengaruhi harga dengan mengatur
produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadi praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat”.
Untuk menegakkan
undang- undang tersebut telah lama dibentuk Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU). Tugas kita bersama adalah mendorong agar lembaga ini lebih
serius mencurahkan energi dalam menegakkan aturan larangan praktik monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat secara tegas, konsisten, serta tidak
tebang pilih.
Bagaimanapun
praktik kartel pangan ini sangat potensial meruntuhkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu pemerintah harus membuat
regulasi yang mengatur jumlah importir produk pangan utama agar tidak
terkonsentrasi hanya pada beberapa gelintir pengusaha. Mekanismenya harus
melalui tender terbuka.Kalaupun melalui pembagian kuota, harus dilakukan
secara transparan sehingga sangat akuntabel.
Caracara
seperti ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Praktik kartel dapat dilawan jika negara
mempunyai lembaga otoritas pangan yang kuat, profesional, dan independen.
Sungguh merupakan ide yang cerdas mengembalikan peran dan fungsi Bulog
sebagai stabilisator harga kebutuhan pangan strategis seperti sebelum
lembaga ini dikebiri Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998.
Selain beras,
Bulog juga harus diberi kewenangan mengatur kebutuhan pangan strategis lain
di antaranya daging sapi, gula, minyak goreng, dan kedelai. Undang-Undang
Pangan Nomor 18 Tahun 2012 yang merupakan revisi Undang- Undang Nomor 7
Tahun 1996 telah mengamanatkan perlunya dibentuk Badan Otoritas Pangan
(BOP) yang langsung berada di bawah presiden. Ditinjau dari berbagai segi,
sepertinya saat ini tidak ada lembaga yang lebih pantas untuk menerima
mandat sebagai BOP itu selain Perum Bulog.
Lembaga ini
telah berpengalaman dan memiliki sarana prasarana serta jaringan luas dalam
pengadaan, penyimpanan, dan distribusi pangan. Jurus-jurus para kartelis
pangan dapat dengan mudah dilumpuhkan jika Bulog ditetapkan menjadi BOP.
Melalui penguatan jaringan dengan para pelaku usaha mikro,
kecil,menengah,dan koperasi, bangsa ini akan mampu melawan belenggu kartel.
Kita tak bisa memungkiri bahwa Bulog pada masa lalu punya banyak noda.
Mengingat track
record yang kurang menggembirakan itu,ke depan prinsip good corporate
governance harus ditanamkan betul pada manajemen Bulog. Jika hal itu yang
dilakukan, keberadaan Bulog akan lebih efisien, efektif, transparan, dan
akuntabel. Untuk tujuan tersebut, Bulog harus menjadi lembaga independen,
dijauhkan dari intervensi partai politik yang akan menjadikannya sebagai
mesin uang.
Agar Bulog
mampu memerankan diri sebagai lembaga stabilisator harga yang kuat,
dukungan politik dari legislatif dan eksekutif sangat dibutuhkan. Lembaga
ini perlu diberi hak-hak istimewa seperti hak untuk mengimpor komoditas
pangan dengan persentase yang lebih besar dibanding pelaku pasar lainnya.
Dengan hak istimewa ini, Bulog akan mampu melawan dominasi para “naga” dan
“samurai” yang telah menguasai mata rantai perdagangan pangan dari sentra
produksi hingga pasar ritel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar