"Perlu
mengubah pola militeristik di Papua dengan lebih menitikberatkan pada
pendekatan HAM"
PENEMBAKAN di Papua yang menewaskan 8
prajurit TNI kembali memicu ketegangan antara negara dan gerakan
’’grassroot’’ yang seperti tidak pernah mewujud. Kontras menyatakan selama
ini pemerintah masih menggunakan cara pendekatan militeristik di Bumi
Cendrawasih. Ditambah realitas atas klaim pemerintah sudah menerapkan model
pendekatan kesejahteraan, tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) menyatakan hampir tiap hari ada penembakan dan belum
ada pelaku ditangkap. Bila ada yang mengatakan pelaku adalah anggota
Organisasi Papua Merdeka (OPM), dari mana mengetahui, sementara belum ada
pelaku ditangkap?
Kesimpulan sementara, kekerasan itu sebagai
akibat perlakuan tidak adil yang sudah lama terjadi dan belum
terselesaikan. Pendekatan nonmiliter atau nonkekerasan di Papua bukan
berarti hanya menghindari kekerasan fisik melainkan juga menghindari
kekerasan internal pada rohani manusia. Kita bukan cuma dilarang menembak
manusia melainkan juga dilarang membencinya.
Pernyataan Martin Luther King Jr
(1929-1968) relevan untuk mengaitkan dengan situasi tak kondusif di Papua.
Pasalnya, saat ini aksi kekerasan bersenjata bukannya meredup melainkan
makin menyebar. Situasi labil beberapa waktu lalu juga terjadi di Kepulauan
Yapen, setelah sebelumnya terjadi di kota Jayapura dan Wamena. Tragedi
Yapen memperlihatkan makin menyebarnya lokasi penembakan dalam tiga tahun
terakhir.
Pemetaan
Persoalan
Dewasa ini menurut beberapa media,
kekerasan bersenjata makin kerap terjadi di Jayapura, Timika, dan sejumlah
wilayah pegunungan tengah, seperti Wamena, Mulia, dan Paniai. Banyak pihak
mengkritik kinerja aparat dan BIN cenderung lamban dan masih menggunakan
pendekatan militeristik guna menstabilkan kondisi di provinsi itu.
Padahal sejumlah anggota DPR sudah
mengusulkan mengintensifkan pendekatan dialogis atau nonmiliteristik.
Sebagian lagi mengkritik ketidaktegasan pemerintahan SBY menyelesaikan
persoalan itu. Pasalnya berbagai tragedi penembakan dan kekerasan
bersenjata di Papua bisa menggiring ke arah disintegrasi bangsa.
Mantan Ketua MPR Amien Rais pernah
mengusulkan kepada Presiden SBY supaya lebih serius menyelesaikan persoalan
itu karena isu Papua sudah menjadi perbincangan internasional. Pada Agustus
lalu, sejumlah pengacara internasional mengajukan banding ke Mahkamah
Internasional atas referendum rakyat tahun 1969 yang menggabungkan Papua
dalam NKRI.
Dari sekian anatomi gerakan separatis
(termasuk makar beberapa waktu lalu) di Papua, dipastikan ada aktor
intelektual. Begitu sentral peran aktor intelektual itu karena dapat
menggerakan massa. Karenanya, jika aparat ingin mencegah, lewat BIN misalnya,
semestinya harus mengetahui basis aktor intelektual tersebut.
Pemetaaan terhadap gerakan separatis
berikut aktor, serta persoalan di baliknya perlu dilakukan secara
signifikan. Aparat keamanan harus berusaha supaya isu-isu yang dimainkan
gerakan separatis tidak menjadi pusat perhatian internasional. Cara
militeristik harus diubah dengan lebih menitikberatkan pada
pendekatan HAM mengingat indikasi pelanggaran hak asasi bisa menjadi pintu
masuk internasionalisasi gerakan separatis.
Selain itu, isu keadilan ekonomi dan
politik. Pemerintah perlu belajar dari kasus keterpisahan Timor Timur, dan
salah satu isu yang diinternasionalisasi adalah persoalan ketidakadilan
ekonomi dan politik.
Karena itu, pemerintah semestinya mulai
memberikan rasa keadilan ekonomi dan politik secara konkret dan faktual,
bukan hanya retorika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar