Navigasi penerbangan adalah salah satu kunci keselamatan dan keamanan
penerbangan udara. Kata keselamatan dan keamanan berbeda dengan kenyamanan.
Sebab, keselamatan dan keamanan merupakan barang publik yang seharusnya
disediakan oleh negara.
Tanpa banyak mendapat sorotan media, Perum Lembaga Penyelenggara
Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Perum LPPNPI > Perum Navigasi)
mulai beroperasi setelah kelengkapannya sebagai perusahaan umum dipenuhi,
16 Januari lalu. Perum Navigasi didirikan melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 77 Tahun 2012 tentang Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara
Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia yang merupakan tindak lanjut dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, yakni Pasal 271.
Sebelum lahir PP No 77/2012 tentang Perusahaan Umum Lembaga
Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia, yang merupakan tindak
lanjut dari UU No 1/2009 tentang Penerbangan, tanggung jawab navigasi
penerbangan ada pada UPT Dirjen Perhubungan Udara dan PT (Persero) Angkasa
Pura I dan II. Pada saat UU No 1/2009 disahkan, Pasal 271 yang merupakan
spin off antara regulator dan operator, diduga layanan navigasi ini diambil
alih langsung Kementerian Perhubungan.
Layanan Navigasi
Layanan navigasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah dinyatakan
pada Pasal 270 UU No 1/2009, terdiri atas (a) pelayanan lalu lintas
penerbangan; (b) pelayanan telekomunikasi penerbangan; (c) pelayanan
informasi aeronautika; (d) pelayanan informasi meteorologi penerbangan; dan
(e) pelayanan informasi pencarian dan pertolongan. Kelima jenis layanan
navigasi tersebut berkesesuaian dengan peranan Air Traffic Services,
sebagaimana disebutkan dalam Annex 11 statuta ICAO.
Dengan kecepatan terbang minimal 300 kilometer per jam, pesawat
terbang perlu dinavigasi jalur udara dan ketinggiannya. Selama dalam area
manuver, aktivitas pesawat harus terlebih dulu mendapat clearance dan
mandat dari Air Traffic Control (ATC) terdekat. Kemudian akan dilakukan
serah terima kontrol navigasi dari satu ATC ke ATC lain. Itulah sebabnya UU
No 1/2009 mendefinisikan navigasi penerbangan sebagai proses mengarahkan
gerak pesawat udara dari satu titik ke titik lain dengan selamat dan lancar
untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan penerbangan.
Sungguh disayangkan, lembaga penyelenggara pelayanan navigasi
penerbangan yang sudah ditunggu-tunggu selama tiga tahun berbentuk
perusahaan umum. Saya duga terjadi salah tafsir terhadap Ayat (3) dan Ayat
(4) Pasal 271 UU Penerbangan.
Kontradiksi
Ayat (1) Pasal 4 PP No 77/2012 merupakan salinan dari Ayat (3) Pasal
271 UU Penerbangan, yakni (a) mengutamakan keselamatan penerbangan, (b)
tidak berorientasi pada keuntungan, (c) secara finansial mandiri, (d) biaya
yang ditarik dari pengguna dikembalikan sebagai biaya investasi dan
peningkatan operasional. Sementara Ayat (4): lembaga tersebut dibentuk dan
bertanggung jawab kepada Menteri.
Bentuk perusahaan umum pada lembaga penyelenggara pelayanan navigasi
penerbangan tak tepat. Sebagaimana didefinisikan pada UU No 19/2003 tentang
BUMN, perusahaan umum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan
tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
Kalimat ”tidak berorientasi pada keuntungan” adalah kalimat bersayap.
Sebab, pada penjelasan UU Penerbangan, ”tidak berorientasi pada keuntungan”
adalah lembaga penyelenggara dalam mengelola pendapatannya dimanfaatkan
untuk biaya investasi, biaya operasional, dan peningkatan kualitas
pelayanan.
Jika demikian halnya, maka Perum LPPNPI tidak akan berbeda dengan PT
Kereta Api Indonesia. Setiap kali akan melakukan investasi baru atau
pergantian peralatan dan peningkatan kualitas layanan akan dibebankan
kepada pengguna layanan. Dalam hal ini, maskapai penerbangan, yang ujungnya
adalah pengguna jasa maskapai penerbangan.
Persoalan terbesar dari bentuk hukum perum ada pada kualitas layanan
sebab layanan Perum LPPNPI adalah layanan keselamatan dan keamanan
penerbangan. Untuk dua kata ini, keselamatan dan keamanan, tidak ada bentuk
superlatifnya. Selamat ya selamat, aman ya aman, tidak ada lebih selamat
juga tidak ada lebih aman.
Dengan bentuk perum yang ”tidak berorientasi pada keuntungan”,
pemerintah telah melepas tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan navigasi
penerbangan. Jika tidak mau disebut lepas tangan, maka bentuk paling pas
adalah badan layanan umum (BLU), sebagaimana diatur pada PP No 23/2005.
Secara organisasi dan manajemen, pengelola BLU hanya memiliki satu
superordinat, yakni kementerian yang dipimpin oleh menteri yang bertanggung
jawab atas bidang tugas yang diemban suatu BLU, dalam hal ini menteri
perhubungan. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja
BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian
Perhubungan
Sementara sebagai perum, Perum Navigasi punya dua superordinat:
menteri BUMN (selaku kuasa pemilik modal negara) dan menteri Perhubungan.
Sebagai perum, harus menyajikan rencana kerja dan anggaran perusahaan serta
rencana jangka panjang perusahaan yang harus disetujui menteri Perhubungan
terlebih dulu dan kemudian dimintakan persetujuannya kepada menteri BUMN.
Korporatisasi layanan umum adalah definisi luas dari privatisasi.
Definisi sempitnya adalah penjualan kepemilikan negara kepada korporat
bentukan negara. Oleh karena itu, pernyataan saya bahwa pendirian Perum
Navigasi adalah korporatisasi layanan umum adalah valid.
Keselamatan dan keamanan tidak untuk dijual! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar