Sejak 1945, banyak ormas Islam tergabung dalam Partai Masyumi. Pada
1952, Nahdlatul Ulama beralih dari ormas Islam menjadi partai Islam.
Partai Syarikat Islam Indonesia melanjutkan kiprah politik Syarikat
Islam yang didirikan HOS Tjokroaminoto. Pada Pemilu 1955, kekuatan politik
partai Islam berkisar pada angka 43 persen. Masyumi menjadi partai terbesar
kedua, sedangkan Partai NU menjadi partai ketiga.
Pada Pemilu 1971, kekuatan politik partai Islam menurun. Hanya Partai
NU yang lumayan suaranya. Golkar mendapat sekitar 62 persen suara. Pada
1973, partai-partai Islam didorong bergabung ke Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Partai-partai non-Islam didorong bergabung ke Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Pemenang pemilu 1977-1997 adalah Golkar karena
didukung pemerintah dengan berbagai cara. Pemenang kedua, PPP, jauh dari
perolehan suara Golkar.
Pemilu 1999 adalah pemilu kedua terbaik sepanjang sejarah Indonesia.
Dari 48 peserta pemilu, terdapat belasan partai Islam atau berbasis massa
Islam. Yang menjadi pemenang adalah PDI-P (sekitar 34 persen). Kedua,
Partai Golkar (sekitar 21 persen). Ketiga, PKB (sekitar 12 persen).
Keempat, PPP (sekitar 10 persen). Kelima, PAN (sekitar 7 persen).
PKB didirikan oleh tokoh-tokoh utama NU. Struktur NU di banyak tempat
mendukung PKB. Namun, sejumlah tokoh NU, terutama di daerah, bergabung
dengan PPP, Golkar, dan partai kecil yang didirikan tokoh-tokoh NU. Jelas,
dukungan struktur NU itu mendongkrak perolehan suara PKB. PAN didirikan
Amien Rais, Ketua Umum PP Muhammadiyah yang baru saja mengundurkan diri.
Banyak tokoh Muhammadiyah yang aktif di PAN. Saat itu, PAN identik
Muhammadiyah.
Pemenang Pemilu 2004 adalah Golkar. Perolehan suara PDI-P menurun
belasan persen. Perolehan PKS meningkat secara mencolok. Sementara
perolehan PKB, PPP, dan PAN sedikit turun. Muncul pendatang baru yang tiba-tiba
melejit, Partai Demokrat, yang mengandalkan ketokohan SBY.
Pasca-2004, sebagian tokoh PKB mendirikan Partai Kebangkitan Nasional
Ulama dan sebagian tokoh PAN mendirikan Partai Matahari Bangsa. Kedua
partai itu tak memperoleh kursi di DPR. PKB terbelah menjadi kubu Muhaimin
dan kubu Gus Dur. Maka, perolehan suara PKB pada 2009 anjlok sekitar 50
persen dibanding 2004. Suara PPP juga anjlok. PKS tetap bertahan. Partai
Demokrat meroket menjadi pemenang pertama. Golkar dan PDI-P menjadi
pemenang kedua dan ketiga. Muncul partai baru yang bukan partai Islam,
yaitu Partai Gerindra dan Partai Hanura. Belakangan sejumlah survei
menunjukkan partai Islam dan berbasis massa Islam mengalami penurunan. PKS
mengalami pukulan akibat ditangkapnya Presiden PKS dengan tuduhan suap
terkait impor daging sapi. Tentu ada pertanyaan, mengapa partai Islam atau
berbasis massa Islam makin menurun perolehan suaranya? Menurut Komaruddin
Hidayat, partai Islam akan menerima sanksi lebih berat dibanding bukan
partai Islam jika tokohnya korupsi.
Jaringan Ormas Islam
Kita perlu melakukan pendekatan berbeda, yaitu melalui aspek
keterkaitan ormas Islam/tokohnya terhadap parpol Islam atau berbasis massa
Islam. Juga pendekatan melalui aspek mencairnya politik aliran sejak 1973
hingga kini.
Pada Pemilu 1955, semua ormas Islam mendukung partai-partai Islam.
Muhammadiyah dan semua organisasi afiliasinya mendukung Partai Masyumi. HMI
dan PII juga begitu. Karena ormas NU menjadi parpol, semua organisasi
afiliasinya mendukung Partai NU. Pada Pemilu 1971, sudah ada ormas Islam
yang mendukung Golkar, yaitu GUPPI. Setelah itu, sejumlah tokoh pesantren
di Jawa Timur bergabung dengan Golkar. Kemudian tokoh-tokoh HMI, PII,
Muhammadiyah banyak yang menjadi aktivis Golkar termasuk di daerah.
Pada Muktamar 1984, NU menerima asas Pancasila dan menyatakan akan
menjaga jarak yang sama terhadap semua parpol yang ada. Maka, banyak tokoh
NU yang menjadi aktivis Golkar. Bahkan, Gus Dur juga menjadi anggota MPR
dari FKP. Tokoh-tokoh ormas Islam yang dulu aktif di Golkar hampir semua
tetap berkiprah di Partai Golkar. Perubahan sikap NU yang dulu
memperjuangkan negara berdasar Islam dan kini menerima asas Pancasila,
membawa perubahan mendasar dalam diri anak-anak muda NU. Perubahan yang
sama mungkin juga terjadi di dalam Muhammadiyah dan ormas Islam lain.
Ketika Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, terlihat
peran tokoh HMI dalam DPP Partai Golkar mulai menurun, tetapi di tingkat
daerah jaringan mereka masih cukup kuat. Anas Urbaningrum mampu meraih posisi
Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Itu bisa dicapai berkat kemampuan jaringan
alumni HMI menyusun kekuatan di dalam struktur Partai Demokrat. Badai
politik yang menerjang Anas tidak mengurangi kekuatan jaringan HMI di dalam
Demokrat. Alumni PMII juga ada di Golkar dan Partai Demokrat, tetapi tidak
sekuat alumni HMI.
Kekuatan jaringan tokoh ormas Islam di Partai Golkar, Partai
Demokrat, dan Partai Hanura merupakan daya tarik bagi pemilih dari kalangan
Islam. Kini, sudah cukup banyak alumni HMI dan PMII dan aktivis NU yang
masuk ke dalam PDI-P melalui Baitul Muslimin Indonesia.
Aliran Islam
Saat pembahasan RUU Perkawinan (1973) terjadi penolakan kuat terhadap
sejumlah pasal dalam RUU itu. Visi kenegarawanan Pak Harto membuat Golkar
dan ABRI menerima usul perubahan dari PPP, yang membuat UU Perkawinan jadi
UU pertama yang menerima ketentuan syariat Islam yang partikular. Hanya PDI
yang menolak. Peristiwa yang sama terulang saat DPR menerima UU Peradilan
Agama. Golkar, ABRI, dan PPP menerima UU itu, sedangkan PDI menolak.
Pengalaman di atas menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat bahwa
Golkar ternyata tak anti-Islam seperti terlihat pada Pemilu 1971. Saat itu,
pemerintah dan Golkar memang gigih melawan partai-partai Islam yang belum
menerima asas Pancasila. Pengalaman membuktikan, Golkar selalu memihak
kalangan Islam dalam pembahasan UU yang mengandung pasal-pasal yang
menimbulkan pro-kontra kuat terkait masalah keagamaan. Misalnya, UU
Sisdiknas dan UU Pornografi. Kalau mau ditarik ke awal, Partai Demokrat dan
Partai Hanura tak banyak berbeda ideologinya dengan Golkar. Mungkin
Gerindra dan Nasdem juga demikian. Jadi tidak ada garis batas atau pembeda
yang tegas antara Partai Golkar dan turunannya dengan partai-partai Islam
dan partai berbasis massa Islam dalam masalah hubungan agama dan negara.
Jadi, berdasar dua aspek itu—jaringan ormas Islam dan kemiripan dalam
visi hubungan agama dan negara antara partai-partai tengah dengan partai
Islam dan partai berbasis massa Islam—dapat dipahami bahwa sebagian besar
pemilih dari ormas Islam memilih partai-partai tengah itu. Partai Islam
akan mempunyai nilai lebih di mata pemilih bila mampu mengambil prakarsa
dan mewujudkan UU dan kebijakan yang islami dalam masalah ekonomi, dalam
pengertian lebih memperhatikan pemerataan daripada pertumbuhan. Juga kalau
berhasil mengegolkan kebijakan dalam memperluas akses kepada masyarakat
dalam memperoleh pendanaan untuk usaha. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar