Rabu, 27 Februari 2013

Demokrasi Makin Bias?


Demokrasi Makin Bias?
A Kardiyat Wiharyanto  Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
SUARA KARYA, 26 Februari 2013


Salah satu tema yang mendominasi perhatian anak bangsa akhir-akhir ini ialah makin membiasnya demokrasi kita. Padahal, para pendiri negara ini mencita-citakan Indonesia sebagai sebuah negara modern yang demokratis. Secara sosio-historis, aspirasi itu bisa dipahami. Sekalipun secara sosio-kultural mereka berasal dari berbagai suku bangsa (pluralis) dengan corak tradisi dan budaya yang relatif berbeda satu sama lain, akan tetapi para bapak bangsa pada umumnya berlatar belakang pendidikan Barat, wahana berseminya demokrasi modern.

Sementara itu, tidak dapat disangkal pula bahwa demokrasi sedang menghadapi ujian bertubi-tubi. Ujian terhadap demokrasi muncul dari berbagai dimensi. Semakin terbuka berbagai kasus korupsi baik di lembaga ekskutif, legislative, maupun yudikatif menunjukkan betapa bobrok sistem birokrasi dan pemerintahan di Indonesia.
Celakanya lagi, di Indonesia pluralisme kerap dicurigai mengandung ideologis tertentu. Pluralisme dianggap satu paket dengan liberalisme, kapitalisme, sekulerisme yang kesemuanya berasal dari Barat.

Demokrasi juga ditengarai ada dalam paket tersebut, sekalipun sebagian dari mereka berusaha pula mengonversikan kultur dan tradisi mereka dengan demokrasi Barat. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa pelaksanaan demokrasi di negeri ini berjalan zig-zag.

Sementara itu arus globalisasi melanda negeri ini. Dengan demikian, paham demokrasi di Indonesia berada dalam posisi yang terjepit antara derasnya arus globalisasi yang menuntut adanya transparansi dan demokratisasi dengan masih kuatnya semangat sektarianisme dan etnisitas. Karena itu tidak mengherankan jika terjadi tawar menawar pelaksanaan demokrasi.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan demokrasi, terutama sekali yang bersumber pada masalah regionalisme, provinsialisme, sentrifugalisme, kolektivisme atau nasionalisme etnik, sejak reformasi digelar dapat dikatakan masih menggejala dan menghambat pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Kondisi ini menyebabkan sensitifnya sikap-sikap terhadap rasa keindonesiaan. Ironisme, memang masih ada kelompok-kelompok yang ingin memaksakan kehendaknya asal idealismenya tercapai, sehingga semakin mendorong merosotnya rasa keindonesiaan itu itu.

Perubahan dan perkembangan ini tidak saja menghambat perjalanan demokrasi, namun pada gilirannya akan semakin membingungkan lapisan masyarakat yang ingin memahami arah perkembangan perpolitikan di negeri ini. Kondisi seperti itu banyak berpengaruh terhadap dirinya sebagai individu tetapi juga sebagai warga negara.
Kita sadari pula bahwa bangsa kita terlalu cepat melompat ke demokrasi modern, sehingga muncul berbagai masalah. Kondisi yang terpola dalam waktu kurang lebih tiga dasawarsa dalam kungkungan realitas yang semu, merupakan kendala yang begitu berat bagi bangsa kita, baik sebagai individu maupun sebagai warga negara untuk beranjak ke pemikiran masa depan.

Model kepemimpinan, sharing sosial, politik dan tentu saja ekonomi nampak jelas bahwa banyak orang baru berada dalam tahap demokrasi dini. Di sini individu masih memberi penilaian moral atas dasar kepentingan egoisnya sendiri, yang baik adalah yang menyenangkan dan menguntungkan dirinya sendiri, sedangkan yang buruk adalah yang kurang enak. Sehingga praktek monopoli, kemudian skandal-skandal korupsi masih terus menggejala, sehingga menjadi pekerjaan rumah yang nyaris tak terselesaikan oleh pemerintah sekarang ini.

Dengan kondisi yang masih memprihatinkan itu, apakah demokrasi modern yang kita bina sampai saat ini bisa mempengaruhi rasa keindonesiaan kita untuk menuju ke masyarakat baru Indonesia yang menyejukkan atau malah sebaliknya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sepercik masalah yang menyangkut nasib rakyat akan bisa mengobarkan gerakan-gerakan yang sulit dikendalikan.

Dari hasil pengamatan situasi yang berkembang akhir-akhir ini, terasa bahwa rakyat berjalan sendiri-sendiri sementara di atas terus terjadi perjuangan kelompok. Itu menunjukkan bahwa masih ada pemimpin menilai baik dan wajib untuk melakukan sesuai harapan kelompoknya sehingga sulit terbentuk kebersamaan yang memperkuat rasa keindonesiaan. Bangsa Indonesia yang sedang bergulat untuk melepaskan diri dari jurang ketertinggalan, memang masih menghadapi tantangan yang berat. Karena itu dibutuhkan jiwa dan semangat demokratis untuk menghadapi tantangan yang sama yaitu korupsi, kekerasan dan kerusakan lingkungan hidup. Pola pikir lama yang ingin menangnya sendiri, ingin mengatur sendiri maupun ingin besar sendiri harus dikembalikan ke peradaban bangsa Indonesia yang penuh persaudaraan dan toleransi.

Ancaman terhadap demokrasi bisa dimunculkan oleh pengaruh negatif budaya globalisasi, egoisme golongan, munculnya kesombongan-kesombongan yang terkait dengan otonomi daerah, lahirnya aliran-aliran agama yang dipolitisir dan kebobrokan moral sebagian para pemimpin. Oleh karena itu jika tidak bisa ditangkal, maka kesemuanya itu benar-benar bisa mengancam rasa keindonesiaan kita.

Jika masing-masing golongan maupun daerah hanya akan memikirkan kepentingannya sendiri, berarti bahwa wawasan kebangsaan kita sudah tererosi. Ini berarti kalau kita tidak waspada, bangsa ini benar-benar berada di ujung tanduk. Hal ini disebabkan karena kita sudah mengingkari perjanjian luhur yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Jika demikian, maka akibatnya masa depan bangsa terancam. Muaranya, tentu malapetaka bagi generasi mendatang, terjadinya perpecahan, dan hancurnya bangsa Indonesia.

Adalah benar, segala sesuatu harus dibuat lebih terbuka, lebih dinamis, lebih demokratis, namun semua itu bisa terjadi jika eksistensi bangsa dan negara terjamin secara kukuh dan kenyal sesuai dengan doktrin ketahanan nasional. Untuk itu, diperlukan demokrasi yang mengakar dan tangguh. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar