Salah satu tema yang
mendominasi perhatian anak bangsa akhir-akhir ini ialah makin membiasnya
demokrasi kita. Padahal, para pendiri negara ini mencita-citakan Indonesia
sebagai sebuah negara modern yang demokratis. Secara sosio-historis,
aspirasi itu bisa dipahami. Sekalipun secara sosio-kultural mereka berasal
dari berbagai suku bangsa (pluralis) dengan corak tradisi dan budaya yang
relatif berbeda satu sama lain, akan tetapi para bapak bangsa pada umumnya
berlatar belakang pendidikan Barat, wahana berseminya demokrasi modern.
Sementara itu, tidak dapat
disangkal pula bahwa demokrasi sedang menghadapi ujian bertubi-tubi. Ujian
terhadap demokrasi muncul dari berbagai dimensi. Semakin terbuka berbagai
kasus korupsi baik di lembaga ekskutif, legislative, maupun yudikatif
menunjukkan betapa bobrok sistem birokrasi dan pemerintahan di Indonesia.
Celakanya lagi, di Indonesia
pluralisme kerap dicurigai mengandung ideologis tertentu. Pluralisme
dianggap satu paket dengan liberalisme, kapitalisme, sekulerisme yang
kesemuanya berasal dari Barat.
Demokrasi juga ditengarai ada
dalam paket tersebut, sekalipun sebagian dari mereka berusaha pula
mengonversikan kultur dan tradisi mereka dengan demokrasi Barat. Oleh
karena itu tidak mengherankan bahwa pelaksanaan demokrasi di negeri ini
berjalan zig-zag.
Sementara itu arus globalisasi
melanda negeri ini. Dengan demikian, paham demokrasi di Indonesia berada
dalam posisi yang terjepit antara derasnya arus globalisasi yang menuntut
adanya transparansi dan demokratisasi dengan masih kuatnya semangat
sektarianisme dan etnisitas. Karena itu tidak mengherankan jika terjadi
tawar menawar pelaksanaan demokrasi.
Masalah-masalah yang berkaitan
dengan demokrasi, terutama sekali yang bersumber pada masalah regionalisme,
provinsialisme, sentrifugalisme, kolektivisme atau nasionalisme etnik, sejak
reformasi digelar dapat dikatakan masih menggejala dan menghambat
pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Kondisi ini menyebabkan sensitifnya
sikap-sikap terhadap rasa keindonesiaan. Ironisme, memang masih ada
kelompok-kelompok yang ingin memaksakan kehendaknya asal idealismenya
tercapai, sehingga semakin mendorong merosotnya rasa keindonesiaan itu itu.
Perubahan dan perkembangan ini
tidak saja menghambat perjalanan demokrasi, namun pada gilirannya akan
semakin membingungkan lapisan masyarakat yang ingin memahami arah
perkembangan perpolitikan di negeri ini. Kondisi seperti itu banyak
berpengaruh terhadap dirinya sebagai individu tetapi juga sebagai warga
negara.
Kita sadari pula bahwa bangsa
kita terlalu cepat melompat ke demokrasi modern, sehingga muncul berbagai
masalah. Kondisi yang terpola dalam waktu kurang lebih tiga dasawarsa dalam
kungkungan realitas yang semu, merupakan kendala yang begitu berat bagi
bangsa kita, baik sebagai individu maupun sebagai warga negara untuk
beranjak ke pemikiran masa depan.
Model kepemimpinan, sharing
sosial, politik dan tentu saja ekonomi nampak jelas bahwa banyak orang baru
berada dalam tahap demokrasi dini. Di sini individu masih memberi penilaian
moral atas dasar kepentingan egoisnya sendiri, yang baik adalah yang menyenangkan
dan menguntungkan dirinya sendiri, sedangkan yang buruk adalah yang kurang
enak. Sehingga praktek monopoli, kemudian skandal-skandal korupsi masih
terus menggejala, sehingga menjadi pekerjaan rumah yang nyaris tak
terselesaikan oleh pemerintah sekarang ini.
Dengan kondisi yang masih
memprihatinkan itu, apakah demokrasi modern yang kita bina sampai saat ini
bisa mempengaruhi rasa keindonesiaan kita untuk menuju ke masyarakat baru
Indonesia yang menyejukkan atau malah sebaliknya. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa sepercik masalah yang menyangkut nasib rakyat akan bisa
mengobarkan gerakan-gerakan yang sulit dikendalikan.
Dari hasil pengamatan situasi
yang berkembang akhir-akhir ini, terasa bahwa rakyat berjalan
sendiri-sendiri sementara di atas terus terjadi perjuangan kelompok. Itu
menunjukkan bahwa masih ada pemimpin menilai baik dan wajib untuk melakukan
sesuai harapan kelompoknya sehingga sulit terbentuk kebersamaan yang
memperkuat rasa keindonesiaan. Bangsa Indonesia yang sedang bergulat untuk
melepaskan diri dari jurang ketertinggalan, memang masih menghadapi
tantangan yang berat. Karena itu dibutuhkan jiwa dan semangat demokratis
untuk menghadapi tantangan yang sama yaitu korupsi, kekerasan dan kerusakan
lingkungan hidup. Pola pikir lama yang ingin menangnya sendiri, ingin
mengatur sendiri maupun ingin besar sendiri harus dikembalikan ke peradaban
bangsa Indonesia yang penuh persaudaraan dan toleransi.
Ancaman terhadap demokrasi
bisa dimunculkan oleh pengaruh negatif budaya globalisasi, egoisme
golongan, munculnya kesombongan-kesombongan yang terkait dengan otonomi
daerah, lahirnya aliran-aliran agama yang dipolitisir dan kebobrokan moral
sebagian para pemimpin. Oleh karena itu jika tidak bisa ditangkal, maka
kesemuanya itu benar-benar bisa mengancam rasa keindonesiaan kita.
Jika masing-masing golongan
maupun daerah hanya akan memikirkan kepentingannya sendiri, berarti bahwa
wawasan kebangsaan kita sudah tererosi. Ini berarti kalau kita tidak
waspada, bangsa ini benar-benar berada di ujung tanduk. Hal ini disebabkan
karena kita sudah mengingkari perjanjian luhur yang terkandung dalam
Pancasila dan UUD 1945. Jika demikian, maka akibatnya masa depan bangsa
terancam. Muaranya, tentu malapetaka bagi generasi mendatang, terjadinya
perpecahan, dan hancurnya bangsa Indonesia.
Adalah benar, segala sesuatu
harus dibuat lebih terbuka, lebih dinamis, lebih demokratis, namun semua
itu bisa terjadi jika eksistensi bangsa dan negara terjamin secara kukuh
dan kenyal sesuai dengan doktrin ketahanan nasional. Untuk itu, diperlukan
demokrasi yang mengakar dan tangguh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar