Sering kali otonomi daerah dilakukan dan diucapkan bersamaan
pelaksanaan desentralisasi pemerintahan. Atau, pelaksanaan desentralisasi
selalu disamakan dengan pemberian otonomi kepada daerah.
Undang-Undang (UU) Pemerintahan Daerah sejak era reformasi ini, yakni
UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004, acapkali disebut UU tentang
Otonomi Daerah. Penyebutan itu tak seluruhnya salah. Sebab, pelaksanaan
desentralisasi ke pemerintah daerah itu diharapkan bisa mendorong daerah
bisa otonom melaksanakan urusan tugas pokok menyejahterakan masyarakat
secara mandiri.
Mandiri ini bukan maksudnya jadi kuat, lalu melakukan gerakan
sentrifugal dari pemerintah pusat. Mandiri bukan pula lalu jadi cengeng,
senantiasa mengandalkan besarnya jatah alokasi perimbangan keuangan dan
dana dekonsentrasi. Mandiri di sini lebih dimaksudkan kreatif mengembangkan
dan mengelola sumber daya ekonomi dan sumber-sumber potensial daerah untuk
kepentingan masyarakat.
Otonom mempunyai diskresi dan kemandirian untuk mengatasi
masalah-masalah masyarakatnya sesuai kemampuan dan kebutuhan masing-masing.
Kemandirian yang sesuai dengan daerah yang berbeda-beda, tetapi seikat
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dahulu, pada masa Orde Baru, UU Pemerintahan Daerah yang paling lama
berlaku adalah UU No 5 Tahun 1974. Dalam UU itu, pemahaman pemerintahan
yang otonom itu jika salah satunya pemerintah daerah punya Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah karena mampu membuat peraturan daerah untuk mengatasi
masalah-masalah daerahnya.
Otonomi Daerah
Dalam arti yang murni, otonomi ada yang mengartikan mendorong
mewujudkan suatu pemerintahan yang merdeka dari ikatan-ikatan induknya
(sentrifugal). Immanuel Kant dalam Eric Nordlinger (1981) menyatakan,
individu yang otonom itu yang mempunyai kebebasan berkeinginan. Otonomi
dari suatu masyarakat menunjukkan adanya korespondensi antara preferensi
dan tindakannya.
Totalitas otonomi bisa terjadi jika timbulnya keseluruhan, atau
sebagian tindakan merupakan pilihan untuk dilakukan dan bukan karena
preferensinya mengiyakan atau tidak mengiyakan. Otonomi suatu negara bisa
diartikan jika kebijakan preferensinya dilakukan dalam tindakan yang
otoritatif. Dengan demikian, negara dikatakan otonom jika kebijakan
publiknya, yang dilakukan oleh public official-nya, selaras dengan dan
bersumber pada preferensinya (Eric A Nordlinger, 1981).
Otonomi bisa mendorong timbulnya gerakan pemisahan pemerintahan jika
preferensinya selaras dan sebangun. Pengertian ini tersirat, banyak
dikhawatirkan di awal reformasi, ketika akan meletakkan titik berat otonomi
di kabupaten/kota atau di provinsi. Tendensi pemisahan atau disintegrasi
sangat besar kemungkinannya karena preferensi perbedaan dan sokongan daerah
memungkinkan untuk itu. Karena itu, dipilih titik berat otonomi di
kabupaten/kota karena lebih kecil bahaya pemisahannya ketimbang kalau
otonomi diletakkan di provinsi.
Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi dalam negara kesatuan
jangan disejajarkan dengan pemberian otonomi yang ekstrem seperti itu.
Itulah sebabnya tulisan ini menyatakan reposisi daerah otonomi karena kita
sebenarnya—ketika menyusun UU Pemerintahan Daerah di awal 1998-1999—tidak
mengenal daerah otonom. Adapun yang kita kenal adalah melaksanakan
desentralisasi ke daerah, tidak seperti ketika Pemerintahan Orde Baru yang
melakukan sentralisasi kewenangan dan kekuasaan pemerintahan.
Reposisi otonomi yang sejajar dengan desentralisasi itu harus
dimaknai bahwa peranan daerah dalam menyejahterakan masyarakat dilakukan
secara asimetris, tidak cenderung mengarah pada sentralisasi yang uniform.
Kepentingan Nasional
Indonesia semenjak awal merdeka mengikuti sistem negara kesatuan yang
pemerintahannya dijalankan berdasarkan sistem presidensial. Dalam negara
kesatuan itu, pelaksanaan desentralisasi ke pemerintah daerah dilakukan
berdasarkan prinsip bahwa seluruh kewenangan pemerintah pusat itu harus
berada pada seluruh wilayah negara dan tatanan pemerintahan.
Kewenangan dan kepentingan pemerintah pusat itu dilakukan sendiri
atau diwakilkan kepada semua tingkatan struktur pemerintah dari pusat
sampai daerah. Peranan kepentingan dan kewenangan pemerintah pusat yang
tidak bisa dihilangkan atau dibatasi hanya terjadi sampai pada tingkat
tatanan pemerintah atau level hierarki tertentu. Kewenangan dan kepentingan
itu membentang dan meliputi seluruh tingkatan pemerintahan dari kewenangan
di tingkat atas sampai tingkat bawah.
Selama ini, khususnya UU No 32 Tahun 2004, tatanan kewenangan
pemerintah pusat dalam pelaksanaannya hanya diletakkan dan diwakili sampai
pada jabatan gubernur dan kantor wilayah kementerian yang belum dihapus di
daerah. Sementara kabupaten dan kota tidak merasa jadi wakil kewenangan
pemerintah pusat. Akibatnya, kabupaten dan kota merasa terputus jalur
komando kewenangan dalam konstruksi negara kesatuan.
Tata hubungan antara gubernur dan bupati/wali kota sampai sekarang
dirasakan masih menyisakan persoalan. Bupati/wali kota merasa sebagai
kepala daerah. Mereka juga merasa orang daerah wakil dari partai politik
atau gabungan partai politik yang mengusungnya.
Sekarang saja kartu nama bupati/wali kota tidak pernah mencantumkan
letak provinsinya. Lebih-lebih nanti jika ada rencana gubernur dipilih oleh
DPRD provinsi, sedangkan bupati/wali kota dipilih langsung. Bobot
kewibawaan gubernur akan merosot di hadapan bupati/wali kota.
Oleh karena itu, reposisi otonomi harus dilakukan dalam wujud sebagai
daerahnya suatu negara kesatuan. Hubungan kewenangan pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota tidak terputus sampai
gubernur. Ada baiknya digunakan titelatur gubernur kepala daerah, bupati
kepala daerah, dan wali kota kepala daerah seperti sebutan di UU No 5 Tahun
1974.
Titelatur gubernur, bupati, dan wali kota sebagai wujud pejabat wakil
pemerintah pusat, sedangkan kepala daerah sebagai wujud orang daerah.
Dengan demikian, sebutan wakil pemerintah tidak hanya berhenti di jabatan
gubernur kepala daerah provinsi, tetapi juga pada jabatan bupati kepala
daerah kabupaten dan wali kota kepala daerah pemerintah kota.
Desentralisasi yang terjadi di suatu negara kesatuan sama sekali tak
menghilangkan peranan kepentingan pemerintah pusat di daerah, baik
struktural maupun sistemik. Daerah bukanlah otonomi dalam hubungannya
dengan pemerintah pusat.
Daerah dalam perspektif desentralisasi punya peranan yang longgar
(diskresi) dalam membuat kebijakan, mengatur, melaksanakan, dan mengontrol
urusan yang menjadi urusan daerahnya masing-masing. Itulah reposisi otonomi
daerah dalam kesatuan sistem di NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar