Suara rakyat ya suara rakyat. Titik. Jangan
lagi sebut suara rakyat suara Tuhan. Tak perlu kita membawa-bawa nama Tuhan
ke dalam politik. Dunia politik kita tak percaya kepada Tuhan.
Banyak politikus kita yang bersumpah demi Tuhan, dengan suara lembut,
yang—maaf—mulutnya dimenyong-menyongkan, tapi hakikatnya melawan Tuhan,
disaksikan para hamba Tuhan yang lain, yang tak akan membiarkan manipulasi
keji macam itu dibiarkan berlangsung terus-menerus untuk merusak pendidikan
politik bagi seluruh rakyat. Rakyat—kita ini pada umumnya—percaya bahwa
jika orang bersumpah demi Tuhan dan tampaknya membela agama, hal itu sudah
dianggap kebenaran.
Rakyat mudah dikecoh oleh sumpah yang kelihatannya suci. Apalagi sumpah itu
datang dari tokoh, yang juga anggota suatu jamaah kaum terpelajar, yang
memakai nama agama. Suara rakyat ya suara rakyat. Ini berbeda dari suara
kaum elite politik.Suara rakyat meneriakkan kebenaran, meminta keadilan
ditegakkan. Kaum elite berteriak tentang penyelamatan dan gigih melakukan
konspirasi—dengan berbagai cara—untuk menyelamatkan kawan kita.
Kesetiaan buta terhadap kawan tidak sehat. Tapi, bagi mereka, hal itu
kelihatannya penting sekali. Adil dan tidak adil bukan isu politik penting.
Adil tapi tak menjamin keselamatan, bagi kaum elite, merpakan keadilan
terkutuk. Keselamatan diri, keselamatan kawan, keselamatan nama organisasi
di atas segalanya. Inilah semangat “golonganisme” yang begitu dahsyat
mencampuri perdebatan publik. Dan mungkin bahkan mengarahkan ke jurusan
mana perdebatan itu harus berakhir. Golonganisme macam itu merusak orientasi
nilai kita.
Dengan tertatih-tatih kita mencoba menemukan kiblat yang lebih sehat: kita
memihak pada kepentingan nilai, bukan kepentingan kawan, bukan kepentingan
adik, bukan kepentingan abang, bukan pula kepentingan golongan. Betul, tiap
orang punya kelompok, punya kawan, punya golongan untuk memperjuangkan
suatu cita-cita. Tapi kelompok kita, golongan kita, organisasi
kita—betapapun besarnya—hanya satu dari sekian ribu golongan lain yang
berkembang di seluruh Tanah Air.
Mungkin organisasi kita besar, karena bertaraf nasional, tapi kita kecil di
hadapan begitu banyak golongan di dalam masyarakat. Lagipula, organisasi
kita dibentuk untuk suatu cita-cita luhur, membangun sikap politik yang
sehat, yang mencampakkan watak primordial kita untuk membentuk wawasan
modern tentang keindonesiaan.
Kita lahir dari pergolakan politik untuk membangun orientasi yang sehat dan
adil, untuk melakukan pendidikan politik bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tapi makin besar dan makin kuat membuat kita mudah mengobral secara murahan
sentimen kelompok yang mengukuhkan semangat golonganisme tadi.
Dalam kasus-kasus hukum— yang statusnya diubah cepat menjadi kasus politik—
tokoh-tokoh, yang mengatasnamakan masa depan organisasi, masa depan seorang
anak muda yang mereka anggap “potensial”,“ berbakat”, atau disebut
“menjanjikan”, bahkan mereka juga berbicara masa depan bangsa, mudah
membuat kita sampai pada kata sepakat untuk menyelamatkan anak tersebut.
Ini penyimpangan dari prin-sip keadilan, yang berlangsung cepat, tanpa memerlukan
perdebatan. Pokoknya anak itu harus selamat.
Selamat nama dan citra sosialnya. Selamat keluarga dan karier politiknya.
Selamat juga organisasinya. Tapi di balik penyelamatan itu,ada orang yang
diam-diam memiliki perhitungan politik, demi kepentingan politik, dan
menumpang program penyelamatan itu. Suatu kepentingan besar, didukung
orang-orang besar, dari partai-partai besar, sepakat untuk meraih target
kecil: membela orang,bukan nilai.
Pertama-tama, dia harus pindah dari suatu partai politik ke suatu partai
politik lainnya sehingga kasus hukum yang diubah menjadi kasus politik tadi
dilihat oleh umum, oleh rakyat Indonesia seluruhnya, sebagai suatu perkara
kecil yang layak dilupakan. Maka, dengan tenang tokoh ini memasuki suatu
dunia baru, dengan permainan lama, di bawah pimpinan baru, yang pada
hakikatnya bermain dengan cara-cara yang sudah lama dikenalnya.
Dia tahu bahwa dia diselamatkan. Dia tahu bahwa cara penyelamatan ini
melawan keadilan. Dan dia tahu bahwa dia harus berperan pura-pura benar dalam
segenap kepalsuannya. Di negeri kita ini, kepalsuan tetap laku dan orang
masih selalu percaya bahwa apa yang palsu itu benar jika ditempeli nama
Tuhan dan agama. Kesalehan palsu larisnya minta ampun. Para tokoh pun makin
berani bersumpah atas nama Tuhan dan agama.
Masyarakat kita, yang jiwanya mudah kagum pada sebutan Tuhan dan agama itu,
menjadi masyarakat yang rentan penipuan. Secara kejiwaan, sosial maupun
politik, masyarakat kita merupakan onggokan sifat naif yang agak memalukan.
Selebihnya, kenaifan ini juga membuat kita menjadi begitu permisif terhadap
berbagai keburukan. Media, yang tak kalah naif dan permisif itu, mudah
mengutuk habis-habisan siapa saja yang dianggap layak menjadi si terkutuk.
Tapi, besoknya, ketika “angin” reda, si terkutuk itu bisa saja—apa
salahnya—menjadi tokoh pujaan. Ini merupakan suatu tata kehidupan edan
dalam arti sebenarnya. Masyarakat dibuat tak punya pegangan tentang
baik-buruk, salah-benar, atau mulia-hina. Kita kehilangan wawasan tentang
keluhuran- bebusukan atau kemuliaan-kehinaan. Sesudah suatu kasus korupsi
yang membakar emosi rakyat ditetapkan sebagai perkara pidana korupsi
menurut dan oleh para penegak hukum, dukungan yang berbau golonganisme itu
muncul, tanpa malu-malu.
Golongan, yang besar orientasinya itu, dikorbankan untuk satu orang.
Organisasi dijual murah. Fakta mengenai penyimpangannya yang sudah
berlangsung lama, kekayaannya yang mendadak bertumpuk-tumpuk— padahal dia
bukan keturunan Nabi Sulaiman, bukan trah Qorun—dianggap lumrah. Tak ada
jiwa yang terusik memikirkan dari mana datangnya kekayaan yang tak layak
macam itu. Tokoh hukum yang selayaknya bicara hati-hati, agar tak
menyinggung rasa keadilan rakyat, omongannya nyerocos begitu saja
menetes-netes lewat media seperti ember bocor.
Ini watak permisif, yang memperlihatkan pembelaan pada sesuatu yang tak
layak dibela. Tokoh politik senior memperlihatkan pemihakan serupa dan
memberi contoh bahwa dirinya sendiri dulu mengalami hal yang sama. Keduanya
cermin semangat golonganisme yang naif dan berteriak tentang penyelamatan
demi solidaritas buta. Saya lain. Bagi saya, suara rakyat ya suara rakyat,
yang gigih berjuang agar keadilan ditegakkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar