Mencermati dinamika politik di Tanah Air akhir-akhir ini yang riuh
bukan untuk hal-hal yang substansial, saya jadi teringat Moeslim
Abdurrahman almarhum. Sambil makan siang di ruang kerja penulis, dia pernah
mengatakan bahwa rumah civil society sejatinya kini sudah kosong.
Para penghuninya sudah lama pergi ke ranah bisnis dan politik.
Sementara generasi baru terkena sindrom budaya pop akut. Mereka lebih
menyukai sesuatu yang instan. Ingin cepat kaya dan menjadi pejabat meskipun
kapabilitasnya belum mencukupi. Kekosongan rumah masyarakat sipil itu
diperburuk miskinnya kaderisasi dan rekrutmen di tubuh partai politik.
Akibatnya, para politisi yang menguasai ranah publik secara umum
hanya berpijak pada pencitraan politik. Mereka tidak memanggul kesadaran
nurani bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara, dan bernegara adalah
berkonstitusi. Mereka bukan pemimpin berkarakter ”hulu” yang lahir dari
proses pengaderan sistematis sehingga menguasai permasalahan riil rakyat,
jejaring sosial akar rumput, dan basis ideologi yang kukuh.
Dua Opsi
Karena para politisi kita pada umumnya bukan figur yang muncul dari
hulu, tidak mengherankan jika mereka kurang mumpuni dalam membangun budaya
politik. Seluruh konstruksi politik yang mereka bayangkan selama ini hanya
sebatas kontestasi jangka pendek. Ini bisa dilihat, misalnya, dari aturan
mengenai ambang batas presiden (presidential
threshold).
Sejauh ini tidak ada argumen yang jernih mengenai penetapan ambang
batas presiden sebesar 20 persen kursi parlemen. Patut diduga, besaran
angka tersebut dimunculkan karena partai-partai besar, khususnya Partai
Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat merasa mampu meraih angka tersebut.
Dengan istilah lain, politik ambang batas adalah persepsi diri ketiga
partai besar itu yang meyakini bahwa peluang mereka untuk mengusung calon
presiden sendiri (tanpa perlu koalisi) terbuka lebar. Untuk itulah, angka
20 persen dimunculkan.
Apabila rasionalisasinya adalah dalam rangka memperkuat pemerintah
karena mendapat dukungan kuat di parlemen, angka itu tetap belum
signifikan. Baru berarti jika ambang batasnya adalah 40 persen. Secara
hipotesis, hampir mustahil ada partai yang mampu mencapai angka ini.
Hasilnya, tidak ada partai yang jumawa karena merasa memperoleh suara besar
seperti yang selama ini terjadi. Seluruh partai tidak ada pilihan lain
kecuali berkoalisi.
Kepentingan Sempit Partai
Ambang batas tinggi seperti itulah yang menjadi variabel pengontrol
terhadap argumen para politisi yang mengatakan bahwa pemerintahan akan
efektif apabila mempunyai dukungan parlemen yang kuat. Apabila mereka
menolaknya, politik ambang batas yang mereka panggul selama ini pada
dasarnya tak lebih dari cermin kepentingan sempit partai-partai besar
tersebut.
Variabel lain yang dapat mengontrol kemurnian argumen ambang batas presiden
adalah dihapuskannya ketentuan itu. Maksudnya, seluruh partai politik yang
punya kursi di parlemen berhak mengajukan calon presiden. Dengan demikian,
perlakuan adil terhadap tiap partai dijunjung. Apabila partai-partai besar
tak bersetuju dengan langkah tersebut, dan bersikukuh dengan angka 20
persen, itu bukti bahwa selama ini mereka dibelit kepentingan politik
sempit.
Kedua opsi itu (ambang batas tinggi dan tanpa ambang batas)
masing-masing akan melahirkan kepemimpinan nasional yang dikehendaki publik.
Karakter dan ketokohan yang kuat dari seorang calon presiden akan mendorong
publik memilih partai yang mencalonkan figur tersebut. Di sini, meskipun
ambang batas tinggi, kalau tokoh tersebut begitu populer dan partai bekerja
dengan hebat, tidak mustahil angka tersebut bisa dicapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar