Tentu kita masih ingat
momentum saat pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai
Presiden RI, beberapa tahun silam. Dalam sambutannya, Presiden SBY
menegaskan bahwa Indonesia akan berada di garis depan dalam upaya
mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik dan sebagai pelopor dalam
mewujudkan Millennium Development
Goals (MDGs).
Namun, rasanya keinginan
tersebut hingga kini belum berbuah manis. Apalagi, di masa-masa penghujung
pemerintahan beliau, konsentrasi para pejabat pemerintah banyak dialihkan
kepada agenda persiapan dan pemenangan Pemilu 2014 mendatang.
Memang, pemerintah setiap kali
mengeluarkan laporan hasil capaian MDGs selalu memberikan klaim bahwa upaya
pembangunan milenium berada pada jalur yang sudah benar (on the track) seperti dalam laporan
pencapaian MDGs tahun 2004, 2007, 2009 dan 2010.
Adapun delapan program yang dinilai sukses tersebut,
antara lain pemberantasan kemiskinan dan kelaparan, mewujudkan pendidikan dasar
yang merata dan universal, memajukan kesetaraan gender, mengurangi tingkat
moralitas anak, memperbaiki kualitas kesehatan ibu hamil, memerangi
HIV-AIDS, malaria dan penyakit lain, menjamin kelestarian lingkungan, dan
menjalin kerja sama global bagi kesejahteraan.
Mari Bicara Fakta
Banyak kalangan menilai bahwa
pencapaian pelaksanaan MDGs di Indonesia yang telah lebih dari satu dekade
ini masih buruk. Dan, ini tentu saja sangat kontras apalagi jika kita
melihat mengenai alokasi dana untuk pencapaian berbagai sasaran MDGs ini
yang dilaporkan terus meningkat setiap tahunnya.
Seperti beberapa catatan
temuan lapangan yang dilaporkan oleh International NGO Forum on Indonesian
Development (INFID), yang dirangkum dalam sebuah buku berjudul Mari Bicara
Fakta, Catatan Masyarakat Sipil atas Satu Dekade Pelaksanaan MDGs di
Indonesia Tahun 2012, mengungkapkan fakta terkait hasil buruk beberapa
program MDGs ini.
Seperti, misalnya, dari
delapan tujuan MDGs tersebut, aspek kemiskinan masih belum menunjukkan
pencapaian yang berarti. Masih tingginya angka kemiskinan menjadi
pembicaraan hangat. Lihat saja, data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah
penduduk miskin per September 2012 masih mencapai angka 28,59 juta orang
(11,66 persen).
Selain persoalan kemiskinan,
angka partisipasi murni (APM) yang menjadi parameter dalam pemerataan
pendidikan masih tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dari data
tahun 2008, APM SD/MI tercatat 93,99 persen. Sementara itu APM SMP/MTS
mencapai 67.39 persen dan untuk APM SMA/SMK/MA tercatat 44.97 persen.
Untuk data terakhir di tahun
2011, APM SD/MI mengalami penurunan hingga hanya tercatat 91.03 persen.
Dan, APM SMP/MTS mencapai 68.12 persen. Untuk APM SMA/SMK/MA tercatat 47.97
persen. Dari data ini tentu mempengaruhi indek pembangunan manusia (IPM)
yang dalam kenyataannya terus anjlok. Data pada tahun 2006 dan 2007
menunjukkan IPM Indonesia mencapai 0,729 dan 0,734. Namun, mulai tahun 2009
menurun hingga 0,593. Dan, pada tahun 2010 menjadi 0,613 serta 0,617 pada
2011. Peringkat Indonesia pun ikut 'anjlok' dari peringkat ke-108 menjadi
ke-124 pada 2010.
Dalam bidang kesehatan,
penurunan tingkat kematian ibu melahirkan juga masih belum menunjukkan
hasil yang memuaskan. Dari data Kementerian Kesehatan, sejak 2007 hingga
saat ini angka kematian ibu (AKI) masih mencapai 228 orang per 100 ribu
penduduk. Bahkan, jika dibandingkan dengan AKI di wilayah ASEAN lainnya,
angka AKI di Indonesia 3-6 kali lebih besar dibandingkan dengan
negara-negara kawasan Asia Tenggara itu. (Sumber tribunnews.com) Inilah
pekerjaan rumah (PR) yang masih belum terselesaikan dengan baik oleh
pemerintah.
Persoalan lainnya, yakni dalam
aspek kelestarian lingkungan. Pada aspek ini, program yang dicanangkan
adalah pencapaian target penyediaan air bersih. Dicanangkan pada 2015
nanti, minimal 68,87 persen penduduk Indonesia harus memiliki akses air
minum yang layak dan 72,5 persen penduduk harus memperoleh layanan sanitasi
yang memadai. Namun, kita cukup merasa sangsi melihat keadaan sekarang yang
hanya 47,71 persen penduduk dapat mengakses air bersih, dan 45 persen
memperoleh akses sanitasi memadai.
Dari beberapa persoalan di
atas, penulis merasa pesimis terhadap pencapaian MDGs Indonesia di 2015.
Melihat di tahun 2013 sekarang ini, konsentrasi pemerintah mulai terbagi
dengan adanya Pemilu 2014 nanti. Jika dihitung mundur, umur koalisi
pemerintahan SBY hanya menyisakan kurang lebih 22 bulan lagi. Apakah ini
efektif untuk melaksanakan program-program untuk memaksimalkan pencapaian
MDGs?
Selain itu, panasnya
persaingan antarpartai politik sudah mulai menyeruak di permukaan. Ada
indikasi partai politik melalui wakil-wakilnya di pemerintahan mulai
mencari modal untuk bekal menghadapi pemilu di tahun 2014. Tentu saja hal
ini jelas dapat mengganggu kinerja mereka di pemerintahan.
Inilah yang menjadi
kekhawatiran kita bersama. Semua pihak, khususnya pemerintah harus
menyadari bahwasanya tujuan MDGs adalah wajib kita optimalkan pencapainnya.
Pemerintah seyogianya mengedepankan kepentingan masyarakat ketimbang
kepentingan golongan atau partai politik. Baik buruknya hasil pencapaian
MDGs tentu akan berpengaruh bagi citra bangsa ini di mata Internasional,
dan juga yang tidak kalah penting adalah demi terpenuhinya hak-hak seluruh
masyarakat Indonesia. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar