Sebentar
lagi Anas akan duduk di kursi pesakitan sebagai seorang terdakwa.
Sekitar
20 jam setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) terkait kasus Hambalang, Anas Urbaningrum menggelar jumpa
pers di kantor pusat Partai Demokrat di Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Selama
30 menit, Anas tampak berusaha tenang menghadapi puluhan wartawan dari
beragam media massa. Suaranya jelas, terkadang kata per kata diartikulasi
dengan perlahan dan jelas, seperti anak kelas 2 Sekolah Dasar sedang
membaca cerita “Ini Didi, itu Dudi….”
Berbeda
dengan penampilannya seminggu sebelumnya usai Rapat Pimpinan Nasional
Partai Demokrat di Hotel Sahid, kali ini ekspresi wajah Anas serius, nyaris
tidak ada senyumnya yang khas. Wajahnya sedikit kucel, pertanda kurang
tidur malam hari sebelumnya. Kepada siapa pesan yang disampaikan dalam
jumpa pers itu, sama-sama kita bisa “meraba”.
Dalam
pernyataannya yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, khususnya
para petinggi Demokrat, lebih khusus lagi kepada Susilo Bambang Yudhoyono,
pendiri dan pemimpin tertinggi Demokrat, Anas antara lain menandaskan
bahwa, “Hari ini saya nyatakan ini baru sebuah awal langkah-langkah besar.
Hari
ini saya nyatakan bahwa ini baru halaman pertama. Masih banyak halaman
berikut yang akan kita buka dan baca bersama, tentu untuk kebaikan kita
bersama. Ini bukan tutup buku, tetapi pembukaan buku halaman pertama.”
Bagi
banyak orang, pernyataan Anas dinilai sebagai ancaman atau intimidasi. Anas
bukan tidak tahu bahwa tidak sedikit orang berpendapat karier politiknya
sudah tamat setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka. Minggu depan atau
dua minggu lagi, pemeriksaan Anas sebagai tersangka digelar di KPK.
Tidak
lama lagi Anas akan duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor. Setelah
itu, sel tahanan sudah menunggu Anas. Namun, pernyataan Anas Sabtu, 23
Februari 2013 seolah mengingatkan mereka yang berpikir begitu simplisitis.
“Tunggu
dulu, Bung! Pengenaan status tersangka kepada saya bukan suatu akhir,
melainkan permulaan. Ini baru halaman pertama dari sebuah skandal Hambalang.
Tunggu! Saya akan buka halaman-halaman berikut buku tersebut, dan Anda akan
saksikan betapa dahsyat efek yang ditimbulkan dari pembukaan dan pembacaan
bersama halaman-halaman buku berikutnya!”
Membuka
halaman buku berikutnya mengandung arti “Saya akan ceritakan semua, saya
akan bongkar kasus Hambalang.” Tergantung sampai halaman berapa buku
Hambalang akan dibuka Anas di KPK atau di pengadilan Tipikor.
“Kalau
memang diperlukan, kalau saya dikorbankan seorang diri, saya akan
telanjangi semua kasus Hambalang. Siapa saja yang makan duit haram
Hambalang, dan ke mana saja aliran duit haram tersebut, saya akan buka buku
Hambalang hingga halaman terakhir.”
Apakah
ancaman Anas Urbaningrum semata-mata gertak sambal atau memang riil?
Dalam
ilmu komunikasi ada sebuah teori yang disebut fear-arousing communication,
teori menggertak. Seorang komunikator mengancam melakukan X kepada
komunikan dengan tujuan tertentu. Jika komunikan tidak melaksanakan apa
yang dikehendaki komunikator, ia harus menanggung risikonya.
“Nyawa
atau mobilmu!”
“Kalau
berteriak, kubunuh kau!”
Itu
contoh-contoh sederhana komunikasi yang mencerminkan teori menggertak.
Menjelang
dijatuhkan para wakil rakyat di DPR pada pertengahan 2001, Gus Dur
mengancam paling sedikit ada delapan provinsi yang akan merdeka jika
dirinya dilengserkan. Menurut Gus Dur, sejumlah pemimpin dari Madura,
Manado, Tapanuli, dan Jawa Timur siap mendukung dirinya dalam perseteruan
dengan DPR. Mereka siap menarik provinsinya dari Indonesia jika dirinya
dijatuhkan MPR.
Fear-arousing communication merupakan taktik komunikasi yang sering digunakan
dalam perang urat saraf, pertempuran militer, dan politicking. Hitler, para
pemimin dan komunis ketika melawan negara-negara “Nekolim”, semua
menggunakan fear-arousing
communication. Efektifkah
taktik komunikasi tersebut?
Efektivitas
komunikasi menggertak amat tergantung persepsi lawan terhadap kemampuan
komunikator merealisasi ancamannya. Jika lawan percaya bahwa komunikator
sungguh mampu melancarkan serangan seperti yang dilancarkan komunikator,
besar kemungkinan ia akan berkapitulasi.
Maka,
efektivitas ancaman Anas Urbaningrum sangat tergantung persepsi dan
keyakinan kubu SBY, apakah Anas sungguh memiliki kemampuan melancarkan
“serangan Pearl Harbour” ke arah mereka. Konkretnya, apakah Anas
benar-benar memiliki data pamungkas untuk membuka semua borok seputar kasus
Hambalang? Namun, kalaupun Anas punya data lengkap, apakah ia memiliki
keberanian untuk membukanya? Anas dan konco-konconya tentu harus berpikir
10 kali sebelum meluncurkan senjata pamungkasnya.
Ini
permainan politik, Bung! Jangan lupa, dalam permainan politik “golok” bisa
saja tiba-tiba melayang dari penjuru mana pun yang sama sekali tidak kita
duga. Siapa pun akan gelap mata dan siap melakukan tindakan apa pun
jika permainan politik sudah memasuki tahap kritis yang disebut to kill or
to be killed.
Apa
kira-kira yang akan dibuka Anas di KPK sebagai lembaran-lembaran berikut
buku Hambalang?
Yang
ditunggu-tunggu publik, siapa saja sesungguhnya yang “makan” uang haram
Hambalang? Anas diyakini memegang kartu truf. Selama ini tampak ia tenang
dan selalu senyum-senyum sambil membantah keras menerima uang setiap kali
ditanya. “Anas satu rupiah terima dari Hambalang, Anas digantung di Monas!”
itu kata-kata yang keluar dari bibir Anas. Lantang sekali. Namun, kini Anas
sudah tersangka. Penjara seolah sudah di ambang mata. Masihkah Anas mau
tutup mulut?
Kalau
dia tidak rela jadi “korban konyol”, ia harus berani buka telanjang. Apakah
ada petinggi Demokrat yang lebih tinggi kedudukannya daripada Anas yang
ikut menikmati Hambalang? Apakah benar miliaran komisi Hambalang mengalir
ke tim sukses Anas saat Kongres Partai Demokrat di Bandung pada 2010
sebagaimana diutarakan Nazaruddin dan sejumlah saksi di pengadilan?
Jika
Anas di pengadilan kelak berani speaks the truth, nothing but the whole
truth, tsunami politik pasti akan mengguncang Indonesia. Namun, jika Anas
tidak berani, publik akan menuding Anas cuma gertak sambal atau omdo alias
omong doang, dan sekian banyak orang tidak sabar menunggu-nunggu Anas di
lapangan Monas.
Cerita
halaman berikut buku Hambalang, tentu tergantung keberanian KPK untuk
memaksa Anas membuka halaman-halaman buku tersebut. Jika pimpinan KPK
percaya tsunami politik tidak bisa dihindarkan apabila semua pihak
buka-bukaan di pengadilan hingga mengguncang sendi-sendi kekuasaan di
republik ini, kumaha naon? Ah, kita atur main yang sedang saja deh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar