Perekonomian Indonesia memiliki dua keunggulan sekaligus; selain
tumbuh tinggi, juga stabil. Karena itu, modal asing mengalir deras, baik
melalui penanaman modal langsung (FDI) maupun investasi keuangan
(portofolio). Sementara secara global, ada sebuah paradoks yang tengah
berkembang.
Di satu sisi, setiap negara di kawasan masing-masing tengah mencari
”keseimbangan baru” dalam perekonomian domestik mereka. Di sisi lain,
hubungan antarnegara dan kawasan ditandai dengan meningkatnya
”ketidakseimbangan”. Negara maju akan segera memasuki fase pertumbuhan
rendah, sementara negara berkembang akan mengalami fase booming pada
beberapa tahun ke depan. Dari situ, implikasi ketidakseimbangan global
menjalar ke berbagai ranah.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS), kawasan euro,
Jepang, dan kelompok negara maju (OECD) tahun ini hanya sekitar 1,5 persen.
Sementara pertumbuhan kawasan Asia Pasifik diproyeksikan bisa mencapai
rata-rata 7,8 persen. Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 6,3-6,5 persen
sepanjang tahun 2013.
Apa implikasi dari situasi ketidakseimbangan global ini? Pertama,
negara-negara maju akan mengompensasi perlambatan perekonomian domestik
mereka dengan meningkatkan ekspor ke negara/kawasan lain yang tingkat
pertumbuhannya tinggi. Kedua, negara-negara maju masih akan terus
menggunakan stimulus fiskal sebagai solusi perlambatan ekonomi. Ketiga,
mereka akan cenderung membiarkan pelemahan mata uangnya untuk memacu laju
ekspor.
Dalam pertemuan menteri keuangan G-20 di Moskwa, Rusia, beberapa
waktu lalu, terjadi perdebatan mengenai perang kurs. Langkah Jepang
yang diduga membiarkan mata uangnya melemah memicu protesdari sejumlah
negara, terutama negara berkembang, karena dinilai akan memicu peningkatan
ekspansi barang dan modal ke negara berkembang. Selain itu, terjadi pula
potensi gelembung aset yang membahayakan.
Secara global memang tengah terjadi migrasi gelembung aset dari
negara maju ke negara berkembang. Nouriel Roubini mengatakan ini sebagai
”the mother of all bubbles has begun”. Dunia tengah dihantui oleh munculnya
akar dari semua gelembung finansial. Sebab, stimulus dilakukan secara
serentak oleh banyak negara maju. Artinya, likuiditas terus meningkat dan
menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Bagaimana dengan Indonesia? Meski dalam jangka pendek tidak terkena dampak
negatif, situasi global ini patut diwaspadai secara saksama. Tentu kita
tidak bisa membatasi persoalan hanya pada efek stimulus Jepang. Masalah
pokoknya, adanya konvergensi antara situasi global dan evolusi perekonomian
domestik.
Neraca pembayaran Indonesia mencerminkan tekanan permanen, baik lalu
lintas ekspor-impor di satu sisi maupun arus keluar masuk modal asing di
sisi lain. Neraca perdagangan sepanjang 2012 mengalami defisit terparah
sepanjang sejarah sejak tahun 1961, sebesar 1,63 miliar dollar AS. Sementara neraca
transaksi berjalan (mencatat seluruh transaksi barang dan jasa) mengalami
defisit sebesar 24,183 miliar dollar AS atau setara dengan 2,7 persen dari
produk domestik bruto.
Namun, defisit tersebut bisa ditutup dengan surplus neraca transaksi
modal dan finansial yang mencapai 24,911 miliar dollar AS. Dengan demikian,
secara keseluruhan, neraca pembayaran 2012 masih surplus Rp 165 juta atau
sekitar 0,2 miliar dollar AS. Di masa depan, tekanan terhadap neraca
pembayaran kita akan terus meningkat dan tahun ini diperkirakan akan
mengalami defisit sekitar 0,5 miliar dollar AS. Perlukah kita risau?
Beberapa kalangan menilai tak perlu berlebihan menanggapi hal
tersebut. Pasalnya, meski dari arus barang dan jasa akan terus
tertekan, dari sisi aliran modal asing akan terus meningkat. Jadi, tak
ada yang perlu dirisaukan karena neraca pembayaran bisa diamankan oleh
aliran modal asing. Aliran modal asing masuk melalui investasi asing
langsung (FDI) dan investasi portofolio di pasar keuangan.
Realisasi investasi tahun ini diperkirakan mencapai Rp 390 triliun
dan 75 persen di antaranya adalah penanaman modal asing. Sementara dari
sisi investasi portofolio Indonesia terus menjadi incaran investor. Akhir
minggu lalu, Indeks Harga Saham Gabungan ditutup turun tipis 0,04 persen ke
level 4.632. Investor asing tercatat melakukan pembelian bersih sebesar Rp
848 miliar.
Itulah salah satu paradoks perekonomian kita. Dalam bahasa sederhana,
ekonomi riil kita akan semakin kedodoran, sementara ekonomi finansial semakin
berkembang pesat. Dari situ bibit-bibit gelembung aset finansial mulai
muncul.
Dalam jangka menengah, kemampuan perekonomian kita tetap tumbuh di
atas 6-7 persen dan masih akan tinggi. Konsumsi domestik menjadi penyangga
pertumbuhan. Namun, jika defisit perdagangan terus ditutup dengan aliran
modal, jelas sekali kita tengah memasuki fase berbahaya.
Selama bertahun-tahun, perekonomian AS menderita defisit perdagangan
dan defisit fiskal akut. Namun, mereka masih sangat percaya diri karena
aset-aset finansial mereka masih diburu investor asing. Meski tertekan dari
arus perdagangan, arus modal asing masih mengalir deras. Dan, cerita itu
berakhir dengan meletusnya gelembung aset-aset finansial pada 2008.
Industri keuangan Indonesia memang masih konvensional dibandingkan
dengan pasar derivatif AS yang sudah begitu maju. Namun, di tengah-tengah
prospek perekonomian domestik yang bagus dan masuknya arus modal asing, tak
tertutup kemungkinan pasar keuangan di Indonesia semakin dinamis pada masa
depan. Dan, secara struktural, perekonomian kita tengah menuju fase
finansialisasi.
Padahal, semestinya Indonesia harus lebih rajin mengembangkan
industrialisasi ketimbang finansialisasi. Pengangguran dan kemiskinan masih
tinggi. Membiarkan diri terlena dengan banyaknya arus modal asing hanya
akan menimbulkan gelembung perekonomian yang pada saatnya meletus. Bisa
dibayangkan jika situasi itu terjadi di tengah-tengah persoalan kemiskinan,
pengangguran, dan ketimpangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar