Senin, 25 Februari 2013

Potensi Gelembung Aset


Potensi Gelembung Aset
A Prasetyantoko  Ekonom dan Dekan pada Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis
dan Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 25 Februari 2013


Perekonomian Indonesia memiliki dua keunggulan sekaligus; selain tumbuh tinggi, juga stabil. Karena itu, modal asing mengalir deras, baik melalui penanaman modal langsung (FDI) maupun investasi keuangan (portofolio). Sementara secara global, ada sebuah paradoks yang tengah berkembang.

Di satu sisi, setiap negara di kawasan masing-masing tengah mencari ”keseimbangan baru” dalam perekonomian domestik mereka. Di sisi lain, hubungan antarnegara dan kawasan ditandai dengan meningkatnya ”ketidakseimbangan”. Negara maju akan segera memasuki fase pertumbuhan rendah, sementara negara berkembang akan mengalami fase booming pada beberapa tahun ke depan. Dari situ, implikasi ketidakseimbangan global menjalar ke berbagai ranah.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS), kawasan euro, Jepang, dan kelompok negara maju (OECD) tahun ini hanya sekitar 1,5 persen. Sementara pertumbuhan kawasan Asia Pasifik diproyeksikan bisa mencapai rata-rata 7,8 persen. Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 6,3-6,5 persen sepanjang tahun 2013.

Apa implikasi dari situasi ketidakseimbangan global ini? Pertama, negara-negara maju akan mengompensasi perlambatan perekonomian domestik mereka dengan meningkatkan ekspor ke negara/kawasan lain yang tingkat pertumbuhannya tinggi. Kedua, negara-negara maju masih akan terus menggunakan stimulus fiskal sebagai solusi perlambatan ekonomi. Ketiga, mereka akan cenderung membiarkan pelemahan mata uangnya untuk memacu laju ekspor.

Dalam pertemuan menteri keuangan G-20 di Moskwa, Rusia, beberapa waktu lalu, terjadi perdebatan mengenai perang kurs. Langkah Jepang yang diduga membiarkan mata uangnya melemah memicu protesdari sejumlah negara, terutama negara berkembang, karena dinilai akan memicu peningkatan ekspansi barang dan modal ke negara berkembang. Selain itu, terjadi pula potensi gelembung aset yang membahayakan.

Secara global memang tengah terjadi migrasi gelembung aset dari negara maju ke negara berkembang. Nouriel Roubini mengatakan ini sebagai ”the mother of all bubbles has begun”. Dunia tengah dihantui oleh munculnya akar dari semua gelembung finansial. Sebab, stimulus dilakukan secara serentak oleh banyak negara maju. Artinya, likuiditas terus meningkat dan menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Meski dalam jangka pendek tidak terkena dampak negatif, situasi global ini patut diwaspadai secara saksama. Tentu kita tidak bisa membatasi persoalan hanya pada efek stimulus Jepang. Masalah pokoknya, adanya konvergensi antara situasi global dan evolusi perekonomian domestik.

Neraca pembayaran Indonesia mencerminkan tekanan permanen, baik lalu lintas ekspor-impor di satu sisi maupun arus keluar masuk modal asing di sisi lain. Neraca perdagangan sepanjang 2012 mengalami defisit terparah sepanjang sejarah sejak tahun 1961, sebesar 1,63 miliar dollar AS. Sementara neraca transaksi berjalan (mencatat seluruh transaksi barang dan jasa) mengalami defisit sebesar 24,183 miliar dollar AS atau setara dengan 2,7 persen dari produk domestik bruto.

Namun, defisit tersebut bisa ditutup dengan surplus neraca transaksi modal dan finansial yang mencapai 24,911 miliar dollar AS. Dengan demikian, secara keseluruhan, neraca pembayaran 2012 masih surplus Rp 165 juta atau sekitar 0,2 miliar dollar AS. Di masa depan, tekanan terhadap neraca pembayaran kita akan terus meningkat dan tahun ini diperkirakan akan mengalami defisit sekitar 0,5 miliar dollar AS. Perlukah kita risau?

Beberapa kalangan menilai tak perlu berlebihan menanggapi hal tersebut. Pasalnya, meski dari arus barang dan jasa akan terus tertekan, dari sisi aliran modal asing akan terus meningkat. Jadi, tak ada yang perlu dirisaukan karena neraca pembayaran bisa diamankan oleh aliran modal asing. Aliran modal asing masuk melalui investasi asing langsung (FDI) dan investasi portofolio di pasar keuangan.

Realisasi investasi tahun ini diperkirakan mencapai Rp 390 triliun dan 75 persen di antaranya adalah penanaman modal asing. Sementara dari sisi investasi portofolio Indonesia terus menjadi incaran investor. Akhir minggu lalu, Indeks Harga Saham Gabungan ditutup turun tipis 0,04 persen ke level 4.632. Investor asing tercatat melakukan pembelian bersih sebesar Rp 848 miliar.

Itulah salah satu paradoks perekonomian kita. Dalam bahasa sederhana, ekonomi riil kita akan semakin kedodoran, sementara ekonomi finansial semakin berkembang pesat. Dari situ bibit-bibit gelembung aset finansial mulai muncul.

Dalam jangka menengah, kemampuan perekonomian kita tetap tumbuh di atas 6-7 persen dan masih akan tinggi. Konsumsi domestik menjadi penyangga pertumbuhan. Namun, jika defisit perdagangan terus ditutup dengan aliran modal, jelas sekali kita tengah memasuki fase berbahaya.

Selama bertahun-tahun, perekonomian AS menderita defisit perdagangan dan defisit fiskal akut. Namun, mereka masih sangat percaya diri karena aset-aset finansial mereka masih diburu investor asing. Meski tertekan dari arus perdagangan, arus modal asing masih mengalir deras. Dan, cerita itu berakhir dengan meletusnya gelembung aset-aset finansial pada 2008.

Industri keuangan Indonesia memang masih konvensional dibandingkan dengan pasar derivatif AS yang sudah begitu maju. Namun, di tengah-tengah prospek perekonomian domestik yang bagus dan masuknya arus modal asing, tak tertutup kemungkinan pasar keuangan di Indonesia semakin dinamis pada masa depan. Dan, secara struktural, perekonomian kita tengah menuju fase finansialisasi.

Padahal, semestinya Indonesia harus lebih rajin mengembangkan industrialisasi ketimbang finansialisasi. Pengangguran dan kemiskinan masih tinggi. Membiarkan diri terlena dengan banyaknya arus modal asing hanya akan menimbulkan gelembung perekonomian yang pada saatnya meletus. Bisa dibayangkan jika situasi itu terjadi di tengah-tengah persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar