Bisa
jadi apa yang dikemukakan Presiden SBY pada Rakernas Apkasi-Perhiptani di
Jakarta 20 Februari lalu menjadi autokritik pada dirinya selain diarahkan
kepada kepala daerah. Bagaimanapun kritik dan hujatan terhadap pejabat
semakin deras mengalir. Bahkan, sejumlah pejabat yang bertahan dengan
perilaku busuk akhirnya terjun bebas dan berhadapan dengan penegak hukum
yang siap mengeksekusi kekeliruannya.
Pada
era administration for public,
pejabat bukanlah siapa-siapa kecuali sebagai pelayan. Sebagai public
service, kepamongan justru perlu lebih menonjol ketimbang kepangrehan.
Sebagai pesuruh, pejabat harus mampu melayani publik dan bahkan dicaci-maki
publik bila ada perilaku yang tidak berkenan. Seperti, halnya perilaku
Bupati Garut beberapa waktu lalu yang juga menular ke Ciamis dengan adanya
desakan pemakzulan yang sama kendati dengan alasan berbeda.
Adrenalin Publik
Keberanian
menghujat pejabat berkaitan dengan kemajuan teknologi informasi yang dapat
diakses publik. Di samping itu, munculnya UU No 14/2008 tentang Keterbukaan
lnformasi Publik secara simultan memacu adrenalin publik sekaligus
meminimalisasi privasi pejabatnya. Kedua kondisi ini menyebabkan sekecil
apa pun perilaku pejabat yang tidak sesuai dengan kehendak publiknya dapat
berdampak buruk atas karier yang bersangkutan.
Kendati
privasinya semakin menyempit, minat untuk menjadi pejabat publik terus
meningkat. Dalam banyak pemilu/pemilukada, kandidat yang tampil tidak
pernah berkurang. Politik uang dan pedekate dengan sejumlah pihak yang
strategis pun terus saja digalang. Tidak berlebihan jika dalam karier
pun perilaku sesat sering mewarnai pula. Pedekate dengan sejumlah
pejabat tinggi yang dapat mengangkatnya menjadi pejabat dilakukan pula.
Bukan hanya uang yang disiapkan, melainkan servis lainnya yang mampu
memuaskan petinggi tersebut agar kemudian memuaskan keinginan dirinya.
Praktik ini bisa berujung pada upaya pengembalian uang yang pernah
dikeluarkannya untuk membeli jabatan.
Yang
kemudian lupa bahwa adrenalin publik pun sudah semakin tinggi untuk mengkritisi
bahkan menghujat. Dibantu kemajuan teknologi informasi dan komunikasi,
perilaku buruk dapat direkam dengan cepat untuk kemudian disebarluaskan
melalui media. Oleh sebab itu, pejabat tidak bisa lagi mengutamakan
kepentingan dirinya dengan menghalalkan segala cara karena kehidupannya
sudah berada di ruangan kaca yang transparan. Jika APBN ataupun APBD
porsinya lebih besar belanja rutin, mungkin kondisi ini berkorelasi dengan
rendahnya pelayanan publik. Bisa jadi, jiwa pangreh masih kental dalam diri
elite republik ini.
Dwiyanto
(2002) menganggap, birokrat lebih menempatkan dirinya sebagai regulator
ketimbang pelayan yang berdampak equity
masih terpinggirkan. Dengan demikian, penentuan besaran anggaran bisa didasarkan
kepentingan dirinya ketimbang kepentingan publiknya. Kurtz (1998)
berpandangan, jika pelayanan didesain aktornya untuk diterapkan pada
publiknya tanpa melibatkan pihak yang menjadi sasaran akan menimbulkan gap
yang menyebabkan publik kecewa. Kekecewaan publik yang berkembang bisa jadi
mengindikasikan Musrenbang gagal menjalankan fungsinya untuk merekam dan mengakomodasi
kebutuhan publik. Dampaknya, kualitas pelayanan yang diberikan pemerintah
tidak sesuai dengan banyak kebutuhan publik.
Mungkin
saja, kapasitas dan kualitas pejabat dalam pelaksanaan tugas kalah cerdik
dengan kelompok kepentingan yang bermain di dalamnya. Atau, lantaran
pejabat sendiri sibuk dengan kepentingannya yang tidak boleh diganggu pihak
lain. Ujungnya, kekritisan dan skeptisisme menjadi melemah dan bertukar
dengan bargaining agar tidak saling mengganggu urusan dan kepentingannya.
Keasyikan pejabat dengan kepuasan dirinya perlu direformasi dengan lelang
jabatan seperti yang dilakukan DKI.
Mata
rantai karier yang banyak diwarnai suap untuk memperoleh jabatan lebih
tinggi dihancurkan dengan penonjolan kapasitas diri yang sanggup blusukan
menemui publik untuk merekam kebutuhannya. Dengan demikian, setiap pejabat
perlu memiliki visi yang jelas dalam menunaikan tugasnya. Kualitas
pelayanan bisa semakin baik jika keberanian mewujudkan visi dan menegakkan
nilai yang dimiliki pejabat. Demikian halnya keberanian menghalau
semangat autisme yang hanya memikirkan diri dan kroninya.
Untuk
itu menghujat pejabat justru tidak dirasakan jika pejabatnya memiliki
keberanian seperti ini. Bahkan, pejabat seperti ini akan didukung publiknya
untuk terus maju ke jenjang yang lebih tinggi guna menyelesaikan masalah
publik, bangsa, dan negara yang sedang melanda. Jika tidak maka adrenalin
publik justru berbalik menyerang pejabat daerah dan pusat, baik legislatif
maupun eksekutif, untuk dimakzulkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar