Negeri
ini kembali berduka. Pasalnya, seorang bayi bernama Dera Nur Anggraeni
meregang nyawa. Ia menderita gangguan pernapasan yang membutuhkan perawatan
intensif dan memadai.
Upaya
keluarga Dera mencari rumah sakit tidak berbuah hasil. Meskipun berbekal
surat keterangan tidak mampu (SKTM), Dera ditolak sejumlah rumah sakit
pemerintah karena kamar sudah penuh. Rumah sakit lain berdalih tidak
memiliki fasilitas yang memadai untuk Dera. Sementara jika merujuk pada
rumah sakit swasta, keluarga Dera diminta membayar deposit puluhan juta
rupiah.
Jaminan
Kesehatan
Peristiwa
ini seharusnya tidak dipandang sambil lalu karena telah sejak lama
pemerintah mencanangkan program jaminan kesehatan bagi warga. Ada beragam
program yang dicanangkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bahkan,
secara spesifik jaminan persalinan (Jampersal) hadir bagi ibu hamil dan
anak. Lantas mengapa Dera dan mungkin banyak bayi lain ditolak? Benarkah
sulit bagi pemerintah menyediakan fasilitas memadai bagi ibu dan anak?
Derita
Dera bukanlah derita biasa. Deritanya menggambarkan ketakberdayaan
pemerintah memberi pelayanan terbaik bagi warga negara terutama di bidang
kesehatan. Setiap tahun pemerintah menganggarkan sejumlah dana untuk
menjamin hak mendapat pelayanan kesehatan bagi warga miskin. Contohnya
Jamkesmas, program ini didanai dari APBN untuk warga miskin. Pada 2012,
pemerintah menganggarkan Rp 7,8 triliun. Jumlah ini meningkat karena di
tahun sebelumnya pemerintah hanya menggelontorkan Rp 6,9 triliun.
Realitasnya,
pada 2010 Kementerian Kesehatan melansir hanya 10 persen dari total 76,4
juta warga miskin yang memanfaatkan Jamkesmas. Selain itu, setiap
pemerintah daerah juga berkewajiban menjamin hak warganya dengan Jamkesda.
Miliaran rupiah dikeluarkan dari kas daerah untuk program ini. Khusus untuk
DKI Jakarta, Gubernur Joko Widodo melansirnya sebagai Kartu Sehat Jakarta.
Khusus
untuk ibu hamil dan anak yang dikandung terdapat Jampersal. Tahun lalu, DPR
menyepakati Rp 1,56 triliun untuk memberi layanan kesehatan kepada ibu
hamil dan anak. Sayangnya, di banyak daerah penyerapan Jampersal bahkan di
bawah 30 persen.
Seharusnya
jaminan kesehatan ini memberi pelayanan pada masa kehamilan, persalinan,
nifas (42 hari setelah melahirkan), dan bayi baru lahir (sampai usia 28
hari). Pembiayaan yang dijamin adalah pemeriksaan kesehatan, pertolongan
persalinan, pelayanan nifas, pelayanan program keluarga berencana
pascapersalinan, dan pelayanan bayi baru lahir. Jaminan ini hanya dapat
diberikan kepada keluarga yang tidak menerima jenis jaminan kesehatan
lainnya.
Ini
merupakan fenomena yang mengherankan. Dengan warga miskin berjumlah puluhan
juta jiwa, seharusnya jaminan pelayanan kesehatan bisa terserap maksimal.
Data penduduk miskin yang bermasalah, sosialisasi yang minim, birokrasi
pengurusan yang berbelit, juga belum optimalnya koordinasi antara
pemerintah pusat, daerah, dan pihak rumah sakit dipandang menjadi biang
kerok.
Serbuan
Mafia
Dalam
kondisi yang serba semrawut, miliaran rupiah dana yang dikucurkan bisa
menjadi sasaran empuk koruptor. Contohnya, dugaan korupsi Jamkesmas di Binjai,
Sumatera Utara, yang diperkirakan merugikan negara Rp 11,3 miliar. Jumlah
fantastis yang seharusnya digunakan oleh warga yang sakit justru menjadi
bancakan pejabat korup.
Kasus
daerah sebenarnya cerminan dari bobroknya pengelolaan alokasi pelayanan kesehatan
oleh pemerintah pusat. Indonesia Corruption Watch (ICW) memublikasikan,
sepanjang 2008-2009 ada sekitar Rp 128 miliar dana kesehatan yang
dikorupsi. Sejalan dengan temuan ICW, Pukat Korupsi mencatat, sepanjang
semester pertama 2012 ada enam kasus korupsi kesehatan yang ditangani
penegak hukum, termasuk yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan Siti
Fadilah Supari.
Sudah
pengetahuan umum bahwa program negara untuk menyejahterakan rakyat justru
rebutan bagi pemburu proyek. Yang menjadi fokus, berapa banyak bayaran yang
akan diterima sejumlah oknum ketimbang berapa besar manfaat yang dirasakan
warga, khususnya mereka yang tak berpunya. Bagaimana mungkin memberi
fasilitas maksimal jika pengadaan alat kese- hatan tak sesuai dengan
perencanaan. Sebut saja korupsi pengadaan rontgen portable di puskemas
daerah tertinggal, dana proyek digelembungkan bahkan alat itu tidak
disalurkan.
Potret
semrawut sistem jaminan kesehatan dan jamaknya korupsi setidaknya
menggambarkan betapa sulit warga mendapat haknya. Mengacu pada kasus Dera,
keluarganya hanya memiliki SKTM. Artinya, belum memiliki jaminan kesehatan
apa pun. Seharusnya terbuka banyak peluang bagi pemerintah pusat dan daerah
mencukupi kebutuhannya, termasuk Jampersal.
Nyatanya,
tetap sulit bagi Dera mendapatkan pertolongan. Sejumlah pejabat boleh
angkat bicara dan menjelaskan. Mereka tentu boleh memberi alasan. Namun,
Dera telah berpulang. Rasanya pun sulit bagi kita menerima alasan para
pejabat, alasan yang justru menunjukkan minimnya performa karena minimnya kemauan
politik.
Terdengar
kabar bahwa Presiden akan mengunjungi keluarga Dera. Sayang, kasus Dera
menggambarkan pemerintah telah gagal melindungi hak warga negara, khususnya
mereka yang tergolong kelompok rentan, yang hidup dalam kemiskinan dan tak
punya cukup daya memperjuangkan hak-haknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar