Masa
reformasi Indonesia belum menghasilkan pemimpin otentik dan berkeutamaan
yang mampu membawa menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin
yang sanggup berempati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya.
Masa reformasi Indonesia belum menghasilkan
pemimpin otentik dan berkeutamaan yang mampu membawa menuju gerbang
perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup berempati secara
mendalam dengan kemauan rakyatnya.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang sungguh-sungguh berperan sebagai
leader, bukan dealer. Pemimpin yang memiliki karakter transformasional
daripada melulu transaksional. Masih terlalu sedikit contoh untuk pola
kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri ini. Justru yang banyak adalah
mereka yang memimpin dengan kecenderungan dealer layaknya seorang pebisnis.
Barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi justru seringkali
melahirkan kebijakan- kebijakan yang menyakitkan.
Tak jarang di dalamnya mengendap kepentingan yang bersifat pribadi dan
golongan daripada kepentingan kemakmuran rakyat semesta. Karakter
kepemimpinan justru banyak diwarnai dengan politik barter. Seperti yang
terjadi pada masa Orde Baru, pemimpin menilai kelanggengan kekuasaannya
sebagai hal yang utama daripada visi memajukan Indonesia sebagai bangsa.
Karena demikian, pola bekerja para pemimpin kita lebih cenderung pada upaya
pengamanan kursi kekuasaan daripada menggunakan kekuasaan sebagai alat
untuk memajukan negeri.
Para pemimpin tidak menganut prinsip moral bird eye view (pandangan mata
burung) dalam tindakan-tindakan kepemimpinannya. Justru yang kerap
diperlihatkan adalah pandangan mata kuda, hanya memajukan golongan dan
kepentingannya. Indonesia membutuhkan sosok pemimpin transformasional yang
menganut pandangan mata burung– sebagaimana burung terbang yang mampu
melihat ke seluruh sisi di bawahnya.
Dia melihat rakyat Indonesia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, antargolongan,
gender, dan kelas mana dia berasal. Pemimpin yang bertipe seperti ini akan
memprioritaskan yang terpenting buat rakyat, bukan untuk kepentingan
golongannya sendiri. Dengan pandangan mata burung, pemimpin seperti ini
akan melahirkan kebijakan yang berguna bagi seluruh rakyat tanpa melihat
mereka berasal dari kelas borjuis atau proletar,dari kelompok merah, putih,
biru, atau hijau.
Wawasannya sangat luas, berjangka panjang, dan menghindari pementingan
kebijakan buat segolongan kecil kelompok dengan cara merugikan segolongan
besar kelompok— sebagaimana sering terjadi pada masa lalu. Selama ini
sebagian besar pemimpin kita lebih banyak menggunakan kacamata kuda, yang
hanya mampu melihat ke kiri dan ke kanan, ke arah kelompok yang
menguntungkan dirinya belaka.
Ia sulit melihat ke segenap sisi dan hanya terpaku pada dua sisi saja
secara kaku. Pemimpin seperti ini hanya mementingkan kelompoknya atau
segolongan kecil rakyat yang menguntungkan kelompoknya. Selebihnya, mereka
yang berjumlah amat besar,yang umumnya golongan menderita dan miskin, tidak
mendapatkan prioritas.
Hal ini terjadi karena sang pemimpin sangat kaku dan selalu memalingkan
wajahnya ketika menghadapi soal-soal krusial rakyat. Indonesia berharap
memiliki sebanyak mungkin model kepemimpinan yang tidak membeda-bedakan
rakyat. Kepada mereka perlu diingatkan bahwa kendatipun mereka dipilih
rakyat secara demokratis, ada sebagian besar rakyat yang tidak memilihnya
karena berbagai alasan.
Negeri Para Calo
Kita bisa melihat praktik di negara yang mendeklarasikan ratusan tahun
kebangkitan nasionalnya ini adalah bagaimana semuanya bisa dibeli dan
dijual. Tanpa mengesampingkan prestasi yang telah diraih, sejauh ini lebih
banyak didominasi kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan bersama
yang bernama bangsa. “Kebangsaan” kita adalah kebangsaan upacara, bukan
kebangsaan perilaku.
Banyak fenomena yang bisa menjelaskan mengapa perjalanan kita sebagai
sebuah bangsa sering terseok-seok di tengah jalan. Kekayaan sumber daya
alam melimpah tak kunjung bisa dinikmati demi kemakmuran rakyat, alih-alih
dikuasai kepentingan golongan tertentu. Konflik sumber daya alam pada
tahun-tahun terakhir justru terjadi sangat mengkhawatirkan.
Sumber daya alam yang melimpah belum benarbenar dipergunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat semesta. Lahirlah kenyataan apa yang
sering disebut orang sebagai para calo politik (rent seeker). Di balik praktik percaloan itu ada kekuatan para
pemilik modal besar yang berperan. Kepentingan pemilik modal adalah untuk
melestarikan bisnis-bisnis yang korup. Bisnis yang membesar hanya bila
didukung dengan kebijakan yang menguntungkan secara khusus kepada
mereka.
Kegagalan Partai
Menjadi pemimpin adalah panggilan. Berpolitik juga merupakan panggilan
untuk menyejahterakan masyarakat. Namun, partai politik kita justru gagal
menciptakan situasi kondusif untuk kesejahteraan rakyat. Partai politik
gagal menata keadaban politiknya dan memberikan pelayanan terbaik untuk
rakyat. Kini saatnya partai melakukan perubahan mendasar dalam dirinya agar
ia kembali diterima.
Partai politik diharapkan lebih aktif untuk mencari figur pemimpin yang
memiliki keutamaan. Pemimpin yang memiliki keutamaan akan melayani
rakyatnya karena itu panggilan nurani. Kita membutuhkan pemimpin yang tulus
mengabdi untuk kesejahteraan bangsa ini. Pemimpin yang betul-betul
memperhatikan nasib masa depan bangsa, bukan nasib dirinya sendiri.
Ketulusan menjadi dasar seseorang untuk mengantarkan bangsa ini kepada masa
depan yang dicitakan. Sikap tulus ini tentu harus disertai dengan
kecerdasan dalam mengoordinasikan tujuan dan target yang ingin
dicapai.Tujuan yang ingin dicapai harus membebaskan masyarakat dari politik
adu domba yang kerap dipicu oleh perilaku politik-kekuasaan.
Negara justru seharusnya memfasilitasi pertumbuhan nilai-nilai kemanusiaan
yang tercermin dalam peradaban para aparaturnya. Aparatur yang beradab
selalu mengutamakan tertib sosial dan hukum. Setiap pemimpin yang terpilih
selalu dicita-citakan sebagai pemimpin bangsa masa depan. Karena itu, mereka
harus berani menegakkan keadilan tanpa melupakan kebenaran.
Kebenaran tanpa keadilan tidak akan menciptakan tata dunia baru. Tata dunia
baru tercipta bila hukum memiliki kedaulatan di atas kepentingan politik.
Politik harus tunduk pada moralitas. Inilah zaman yang diharapkan di mana
lembaran baru tercipta demi terwujudnya cita-cita para pendiri bangsa ini.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar