Kamis, 28 Februari 2013

Nasib Demokrat


Nasib Demokrat
Umbu TW Pariangu Dosen Fisipol Undana, Kupang
KORAN TEMPO, 28 Februari 2013


Pengunduran diri Anas Urbaningrum dari Partai Demokrat setelah penetapannya sebagai tersangka bukanlah tutup buku, melainkan lembaran pertama dari halaman-halaman selanjutnya. Demikian disampaikan Anas sebelum secara resmi melepas jubah kebesaran Demokrat-nya di hadapan para wartawan di kantor DPP Partai Demokrat (Sabtu, 23 Februari).
Tak sedikit yang berspekulasi bahwa pernyataan tersebut merupakan bagian dari insinuasi politik ala Anas terhadap Cikeas. Anas akan melucuti fakta-fakta yang selama ini mengendap rapi di bawah karpet partai. Mungkin Anas sangat percaya diri karena merasa memiliki "memori institusional" perihal isi dapur Demokrat. Jejak kariernya sebagai komisioner KPU, Ketua Fraksi Demokrat DPR RI, hingga Ketua Umum Partai Demokrat (PD) memungkinkan dia mengungkap berbagai tabir penyimpangan yang terjadi di partai segitiga biru tersebut. Bahkan mantan Wakil Eksekutif DPP PD, Muhammad Rahmad, mengatakan Anas akan siap berdiri di barisan terdepan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Apakah ini pertanda perang head to head Anas versus SBY telah dimulai? Atau sebaliknya, psywar Anas itu pada akhirnya cuma gertak sambal sebagaimana yang sering dilakoni para calon pesakitan umumnya. Jawabannya ada di buku biru tanpa sinopsis yang akan kita baca di hari-hari mendatang. Jika halaman demi halaman di buku Anas memang kaya kejutan, menegangkan, dan menguras adrenalin pembacanya, maka genderang perang sedang ditabuh. 
Namun, jika yang terjadi sebaliknya, di mana sesumbar Anas tak terbukti dan klimaks bab buku biru tersebut berujung sembulan fakta-fakta yang telah "diaborsi" oleh proses kompromi, atau justru Anas sekadar mengada-ada, maka halaman pertama sebagaimana diisyaratkan Anas di podium pengunduran dirinya kemarin sesungguhnya tak pernah ada. Alur cerita Anas dalam drama Demokrat akan berakhir sesuai dengan skenario yang sudah diprediksi publik. 
Dalam hal ini, KPK-lah pemenangnya dan kian menuai simpati serta dukungan dari publik, karena komisi antirasuah ini mampu membuktikan di hadapan publik sebagai lembaga yang imun terhadap intervensi kekuasaan. Perkara kontroversial bocornya surat perintah penyidikan (sprindik), karena dugaan adanya friksi di tubuh pimpinan KPK atau adanya intervensi politik dari pihak luar terkait dengan opsi penetapan Anas sebagai tersangka, sejatinya sah-sah saja. Apalagi KPK merupakan lembaga yang menganut kepemimpinan kolektif-kolegial yang tak mengenal "kepala". 
Perbedaan pendapat, sepanjang berlangsung dalam suasana kebatinan--mewujudkan penegakan hukum yang adil--tentu bukanlah sebuah persoalan yang harus dibesar-besarkan. Pun ujung-ujungnya Anas toh sudah ditetapkan sebagai tersangka. Komite Etik yang mengusut dan menyelidiki kebocoran sprindik tentu berguna di level ketaatan prosedur--agar dokumen-dokumen rahasia KPK di lain waktu tidak gampang jatuh di pihak ketiga--dan rekomendasi sanksi yang akan diberikan terhadap pembocor sprindik tersebut.
Namun, yang tak kalah substantif: bagaimana KPK menjalankan tugasnya di masa mendatang dengan lebih otonom, imparsial, dan profesional, terutama dalam mengungkap kasus yang menimpa Anas? Dan tugas rakyat adalah mengawal kinerja KPK agar tak "masuk angin" dan profesional dalam mengungkap skandal dimaksud hingga ke anak tangga terakhir. 
Nasib Partai Demokrat
Lalu, bagaimana nasib elektabilitas Partai Demokrat pasca-Anas akan membaik? Tak mudah untuk menjawabnya. Bagaimanapun, sejarah kepartaian Demokrat untuk beberapa saat mendatang masih memerlukan kekuatan konsistensi diri seorang Susilo Bambang Yudhoyono sebagai aktor pemersatu. Artinya, kebijakan yang ditempuh SBY terhadap PD mendatang akan menentukan ke mana peta dan performa elektoral partai bergerak. Sebagai pendiri partai, SBY akan menjadi determinator bagi upaya penyelamatan reputasi PD di hadapan publik maupun konstituennya. 
Tentu langkah mendesak yang perlu dieksekusi SBY adalah menyolidkan kembali kader-kader PD dari ancaman faksionalitas pasca-Anas, baik di struktur elite maupun di daerah. SBY perlu menginisiasi suatu kerangka politik soliditas melalui kesepakatan di antara kader untuk membangun visi dan tujuan bersama (shared vision and goal). Politik soliditas ini ada kaitannya dengan seberapa menariknya postur dan wajah calon anggota legislatif yang diusung PD dalam pemilu 2014. Dengan kata lain, aspek integritas dan kapabilitas calon legislator harus menjadi kunci utama yang mencerminkan wajah dan reputasi partai baik dalam hal ideologi maupun kaderisasi. 
Saat ini PD sepertinya masih kewalahan "menjual" kader-kader terbaiknya di level kompetisi pemilu 2014 terhitung sejak skandal Wisma Atlet dan proyek Hambalang merebak, di mana nyanyian Nazaruddin mulai menyentuh nama pimpinan Demokrat, yakni Anas Urbaningrum. Dalam survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) pada 12 Agustus 2012, misalnya, kita bisa melihat bagaimana bobot elektabilitas kader Demokrat masih di kisaran nol koma. Elektabilitas Anas, misalnya, hanya 0,2 persen; Marzuki Alie (Wakil Ketua Dewan Pembina PD) hanya 0,1 persen; Ibu Ani Yudhoyono sedikit lebih tinggi, yakni 1,4 persen. Sedangkan Pramono Edhie Wibowo, yang juga digadang-gadang sebagai calon presiden dari PD, memiliki tingkat dukungan 0,0 persen, lebih rendah dari calon presiden alternatif PD lainnya, yakni Djoko Suyanto (Menko Polhukam), yakni 0,1 persen. 
Partai Demokrat memerlukan gizi politik baru untuk meraih kembali empati publik. Karena itu, PD perlu direkonstruksi sebagai partai kader dengan memperluas sayap dan jaringan organiknya untuk merekrut kader-kader terbaik, kemudian dilatih dan dibentuk menurut spirit dan prinsip-prinsip ideologi partai. Upaya ini penting berdasarkan prinsip "leaders are not only born, but the effective leaders have to be made" (pemimpin tidak hanya dilahirkan tetapi juga dibentuk). Hanya dengan begini, PD bisa meraih kembali "royalti" elektoral seperti yang pernah diperolehnya dalam pemilu 2004 dan 2009.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar