Pengunduran diri Anas Urbaningrum dari Partai Demokrat
setelah penetapannya sebagai tersangka bukanlah tutup buku, melainkan
lembaran pertama dari halaman-halaman selanjutnya. Demikian disampaikan
Anas sebelum secara resmi melepas jubah kebesaran Demokrat-nya di hadapan
para wartawan di kantor DPP Partai Demokrat (Sabtu, 23 Februari).
Tak sedikit yang berspekulasi bahwa pernyataan tersebut
merupakan bagian dari insinuasi politik ala Anas terhadap Cikeas. Anas akan
melucuti fakta-fakta yang selama ini mengendap rapi di bawah karpet partai.
Mungkin Anas sangat percaya diri karena merasa memiliki "memori
institusional" perihal isi dapur Demokrat. Jejak kariernya sebagai
komisioner KPU, Ketua Fraksi Demokrat DPR RI, hingga Ketua Umum Partai Demokrat
(PD) memungkinkan dia mengungkap berbagai tabir penyimpangan yang terjadi
di partai segitiga biru tersebut. Bahkan mantan Wakil Eksekutif DPP PD,
Muhammad Rahmad, mengatakan Anas akan siap berdiri di barisan terdepan
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Apakah ini pertanda perang head to head Anas versus SBY telah dimulai? Atau sebaliknya,
psywar Anas itu pada akhirnya cuma gertak sambal sebagaimana yang sering
dilakoni para calon pesakitan umumnya. Jawabannya ada di buku biru tanpa
sinopsis yang akan kita baca di hari-hari mendatang. Jika halaman demi
halaman di buku Anas memang kaya kejutan, menegangkan, dan menguras
adrenalin pembacanya, maka genderang perang sedang ditabuh.
Namun, jika yang terjadi sebaliknya, di mana sesumbar
Anas tak terbukti dan klimaks bab buku biru tersebut berujung sembulan
fakta-fakta yang telah "diaborsi" oleh proses kompromi, atau
justru Anas sekadar mengada-ada, maka halaman pertama sebagaimana
diisyaratkan Anas di podium pengunduran dirinya kemarin sesungguhnya tak
pernah ada. Alur cerita Anas dalam drama Demokrat akan berakhir sesuai
dengan skenario yang sudah diprediksi publik.
Dalam hal ini, KPK-lah pemenangnya dan kian menuai
simpati serta dukungan dari publik, karena komisi antirasuah ini mampu
membuktikan di hadapan publik sebagai lembaga yang imun terhadap intervensi
kekuasaan. Perkara kontroversial bocornya surat perintah penyidikan
(sprindik), karena dugaan adanya friksi di tubuh pimpinan KPK atau adanya
intervensi politik dari pihak luar terkait dengan opsi penetapan Anas
sebagai tersangka, sejatinya sah-sah saja. Apalagi KPK merupakan lembaga
yang menganut kepemimpinan kolektif-kolegial yang tak mengenal
"kepala".
Perbedaan pendapat, sepanjang berlangsung dalam suasana
kebatinan--mewujudkan penegakan hukum yang adil--tentu bukanlah sebuah
persoalan yang harus dibesar-besarkan. Pun ujung-ujungnya Anas toh sudah
ditetapkan sebagai tersangka. Komite Etik yang mengusut dan menyelidiki
kebocoran sprindik tentu berguna di level ketaatan prosedur--agar
dokumen-dokumen rahasia KPK di lain waktu tidak gampang jatuh di pihak
ketiga--dan rekomendasi sanksi yang akan diberikan terhadap pembocor
sprindik tersebut.
Namun, yang tak kalah substantif: bagaimana KPK
menjalankan tugasnya di masa mendatang dengan lebih otonom, imparsial, dan
profesional, terutama dalam mengungkap kasus yang menimpa Anas? Dan tugas
rakyat adalah mengawal kinerja KPK agar tak "masuk angin" dan
profesional dalam mengungkap skandal dimaksud hingga ke anak tangga
terakhir.
Nasib Partai Demokrat
Lalu, bagaimana nasib elektabilitas Partai Demokrat
pasca-Anas akan membaik? Tak mudah untuk menjawabnya. Bagaimanapun, sejarah
kepartaian Demokrat untuk beberapa saat mendatang masih memerlukan kekuatan
konsistensi diri seorang Susilo Bambang Yudhoyono sebagai aktor pemersatu.
Artinya, kebijakan yang ditempuh SBY terhadap PD mendatang akan menentukan
ke mana peta dan performa elektoral partai bergerak. Sebagai pendiri
partai, SBY akan menjadi determinator bagi upaya penyelamatan reputasi PD
di hadapan publik maupun konstituennya.
Tentu langkah mendesak yang perlu dieksekusi SBY adalah
menyolidkan kembali kader-kader PD dari ancaman faksionalitas pasca-Anas,
baik di struktur elite maupun di daerah. SBY perlu menginisiasi suatu
kerangka politik soliditas melalui kesepakatan di antara kader untuk
membangun visi dan tujuan bersama (shared vision and goal). Politik
soliditas ini ada kaitannya dengan seberapa menariknya postur dan wajah
calon anggota legislatif yang diusung PD dalam pemilu 2014. Dengan kata lain,
aspek integritas dan kapabilitas calon legislator harus menjadi kunci utama
yang mencerminkan wajah dan reputasi partai baik dalam hal ideologi maupun
kaderisasi.
Saat ini PD sepertinya masih kewalahan
"menjual" kader-kader terbaiknya di level kompetisi pemilu 2014
terhitung sejak skandal Wisma Atlet dan proyek Hambalang merebak, di mana
nyanyian Nazaruddin mulai menyentuh nama pimpinan Demokrat, yakni Anas
Urbaningrum. Dalam survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) pada 12 Agustus
2012, misalnya, kita bisa melihat bagaimana bobot elektabilitas kader
Demokrat masih di kisaran nol koma. Elektabilitas Anas, misalnya, hanya 0,2
persen; Marzuki Alie (Wakil Ketua Dewan Pembina PD) hanya 0,1 persen; Ibu
Ani Yudhoyono sedikit lebih tinggi, yakni 1,4 persen. Sedangkan Pramono
Edhie Wibowo, yang juga digadang-gadang sebagai calon presiden dari PD,
memiliki tingkat dukungan 0,0 persen, lebih rendah dari calon presiden
alternatif PD lainnya, yakni Djoko Suyanto (Menko Polhukam), yakni 0,1
persen.
Partai Demokrat memerlukan gizi politik
baru untuk meraih kembali empati publik. Karena itu, PD perlu
direkonstruksi sebagai partai kader dengan memperluas sayap dan jaringan
organiknya untuk merekrut kader-kader terbaik, kemudian dilatih dan
dibentuk menurut spirit dan prinsip-prinsip ideologi partai. Upaya ini
penting berdasarkan prinsip "leaders
are not only born, but the effective leaders have to be made"
(pemimpin tidak hanya dilahirkan tetapi juga dibentuk). Hanya dengan
begini, PD bisa meraih kembali "royalti" elektoral seperti yang
pernah diperolehnya dalam pemilu 2004 dan 2009. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar