Meski
menempuh jalan terjal yang panjang dan berkelok, Anas Urbaningrum ditetapkan
sebagai tersangka kasus Hambalang. KPK rupanya butuh waktu hampir dua
tahun untuk sekadar mengumpulkan dua alat bukti dalam menjawab teka teki
keterlibatan mantan ketua umum Partai Demokrat (PD) dalam kasus itu.
Padahal,
nama Anas sudah dibeberkan Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat. Ia
mengungkap mega skandal korupsi Hambalang yang melibatkan sejumlah tokoh
penting, antara lain Nirwan Amir, I Wayan Koster, Angelina Sondakh, AA
Mallarangeng, Mahyuddin, Edhy Baskoro, Chandra Hamzah, hingga Anas. Perang
bantahan pun tak terelakkan walau akhirnya lontaran Nazaruddin tersebut
terbukti dengan pelan tapi pasti.
Rangkaian
nama yang pernah disebutnya satu per satu masuk jerat KPK.
Serta-merta Desa Hambalang yang semula hanya perbukitan di Kecamatan Citeureup,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mendadak menjadi populer. Mungkin kebetulan
saja, nama Hambalang yang tergali dari bahasa Sunda berarti `tangga', maka
KPK rupanya harus melewati tangga untuk membongkar kasus korupsi dalam proyek
pembangunan sport center senilai Rp 2 triliun itu.
Misteri
makna Hambalang seperti itu bukanlah isapan jempol. Betapa tidak, karena
sehari pascapenetapan dirinya sebagai tersangka, Anas menggelar konferensi
pers di kantor PD, Jakarta, 23 Februari 2013, yang mengungkapkan bahwa ini
barulah halaman pertama, hari berikutnya, kita akan dapat membaca halaman
kedua, ketiga dan seterusnya.
Statement Anas tersebut semakin membuka tabir misteri Hambalang dengan
makna yang sangat vulgar bahwa di balik penetapan dirinya sebagai
tersangka, masih banyak kakap, bahkan paus Hambalang yang akan
menyusul. Tudingan pun diarahkan kepada petinggi PD yang semakin membenarkan
catatan Goerge Adi Tjondro dalam bukunya: Membongkar Gu rita Cikeas.
Tak
pelak lagi, serangan Anas tersebut sontak membuat merah kuping para
petinggi PD yang berpuncak pada Rapat Majelis Tinggi PD di kediaman SBY,
Cikeas, Bogor. Rapat tersebut menghasilkan tujuh poin, yaitu: pertama,
keluarga besar PD prihatin dengan ditetapkannya Anas menjadi tersangka
kasus Hambalang yang sedang ditangani KPK, dengan harapan hukum dan
keadilan benar-benar ditegakkan. Ini berarti bahwa jika Anas tidak
bersalah, maka yang bersangkutan itu mesti dibebaskan. Misteri seruan ini
menurut penulis adalah basa-basi politik.
Kedua,
ketua Majelis Tinggi sudah mendengar keterangan pers Anas sekaligus
pernyataan berhenti dari Ketua Umum PD. Meskipun demikian, baik Dewan
Pembina maupun Dewan Kehormatan PD belum menerima surat resmi pengunduran
dirinya. Misteri tersirat dalam poin ini adalah fenomena keakraban semu
antara Anas dan SBY.
Ketiga,
dengan pengunduran diri Ketua Umum PD, maka untuk sementara tugas DPP PD
dijalankan dua Wakil Ketua Umum, Sekjen, dan Direktur Eksekutif. Yang dalam
pelaksanaan tugasnya, para pengurus DPP berkonsultasi dengan Ketua Majelis
Tinggi.
Misteri tersirat dalam poin ini adalah kontroversi pengunduran diri
Edhy Baskoro sebagai anggota DPR merupakan strategi dan sinyal kuat untuk
menuju kursi ketua umum PD.
Keempat,
langkah penyelamatan PD yang dilaksanakan saat ini tetap berjalan.
Seluruh agenda dan kegiatan yang telah disampaikan di rapimnas yang lalu
akan terus dilaksanakan secara sungguh- sungguh. Misteri tersirat dalam
poin ini adalah kontradiksi antara kubu reformasi dan konservatif dalam PD.
Akibatnya, Ruhut Sitompul yang sangat vokal menyerukan Anas mundur sebagai
langkah penyelamatan PD justru harus menerima risiko terpental dari kepengurusan
PD. Sebaliknya, sejumlah menteri yang berasal dari PD telah melakukan hal
yang sama untuk penyelamatan partai dari keterpurukan elektabilitas
berdasarkan hasil survei, namun semua itu akhirnya kandas dalam
rapimnas.
Kelima,
menanggapi pernyataan mantan ketua umum PD, yang merasa penetapan dirinya
sebagai tersangka oleh KPK merupakan rekayasa dan tekanan politik. Misteri
tersirat dalam poin ini adalah taktik bersih-bersih seraya mengalihkan random kepada Anas dan petinggi PD
lainnya yang telah terjerat hukum.
Sebaliknya,
tudingan Anas tentang adanya rekayasa dan tekanan politik da- lam kasus
yang menjeratnya merupakan alibi yang paling sering digunakan oleh
tersangka kasus korupsi. Padahal, KPK telah menegaskan berkali-kali bahwa
penetapan seseorang sebagai tersangka hanya mengacu pada ada tidaknya dua
alat bukti yang diperintahkan oleh hukum.
Keenam,
PD memilih untuk tidak menanggapi tanggapan sepihak, tudingan, serangan
yang dilancarkan oleh mantan ketua umum PD kecuali sungguh diperlukan.
Misteri tersirat di balik poin ini adalah proliferasi politik santun yang
selama ini menjadi kekuatan pamungkas SBY dalam mencitrakan diri pada
konstituen. Padahal, politik santun seperti itu justru menciptakan
budaya kebablasan dari segenap penyelenggara negara untuk leluasa
menerjemahkan otoritasnya walau harus merugikan orang lain dan
memorak-porandakan sendi-sendi dasar kemanusiaan dan moral. Tengoklah bagaimana
aparat penegak hukum yang kerap membelokkan nilai kebenaran dan keadilan
selama ini, tentu karena SBY sebagai kepala negara enggan memberi teguran
karena takut dianggap mengintervensi kewenangan yudikatif.
Ketujuh,
sungguhpun ada tudingan dan serangan dari mantan ketua umum PD, pimpinan PD
tetap berdoa dan berharap kepada KPK agar hukum dan keadilan benar-benar
ditegakkan. Misteri tersirat di balik poin ini adalah ambiguitas,
kalau bukan hipokrit. Sebab, ketika kasus Century merebak dengan skema
keterlibatan pimpinan negara, PD membangun koalisi untuk menghalau kekuatan
rakyat yang akan memilih mekanisme pemakzulan sebagai jalan penyelesaian
terakhir megaskandal korupsi itu.
Fenomena
ambiguitas dan hipokrit lainnya juga tampak pada statement Anas yang
bersedia digantung jika terbukti korupsi Hambalang. Kini statement itu jadi
bumerang bagi Anas sendiri hingga Jokowi merasa bingung didesak Nazaruddin
untuk membersihkan Monas yang akan menjadi guyonan eksekusi gantung tumbal
misteri Hambalang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar