MENARIK menyimak berita akhir
akhir ini mengenai penahanan artis Raffi Ahmad atas kepemilikan narkoba,
utamanya yang terkait dengan zat psikotropika baru yang disebut methylone
(3,4-methylenedioxy-N-methylcathinone). Secara hukum nasional, methylone
bukan golongan narkotika yang terdaftar dalam UU No 35/2009 tentang Narkotika.
Namun, para ahli menyebutkan zat tersebut merupakan turunan dari
metakatinona yang masuk daftar golongan I narkotika. Selain itu, methylone
merupakan stimulan yang secara analogi struktural memiliki efek yang sama
dengan MDMA (3,4-methylenedioxyN-methamphetamine) atau ekstasi. Sejumlah
negara seperti AS, Inggris, dan Selandia Baru menggolongkan methylone
sebagai obat terlarang.
Bagaimana dengan di Indonesia mengingat
methylone bukan `obat' yang terdaftar dalam golongan I narkotika.
Pencantuman methylone dalam UU No 35/2009 hanya bisa dilakukan melalui
keputusan menteri kesehatan (pasal 6 ayat 3).
Jika memang sudah ada keputusan itu, apakah
berlaku `retroaktif ' mengingat kejahatan dilakukan saat masih terdapat
kekosongan hukum?
Bila melihat kasus yang terjadi pada Raffi
Ahmad, di satu sisi, penanganan kasus bersifat overkill dalam perkara yang terdapat `kekosongan hukum'. Asumsi
itu berdasarkan pengamatan terhadap berita yang terkait dengan kasus Raffi;
pada awalnya Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan zat baru yang
berasal dari tanaman khat yang secara hukum internasional dan di Indonesia
tidak diatur. Kemudian disimpulkan bahwa zat yang ditemukan ialah methylone
yang merupakan turunan dari metakatinona dan bekerja sebagai stimulan
seperti ekstasi. Itu dilanjutkan dengan pemusnahan massal terhadap tanaman
khat di Cisarua, Jawa Barat.
Sikap
Reaktif
Berita pun akhirnya berkembang sampai tahap
memasukkan Raffi ke pusat rehabilitasi BNN mengingat zat dalam methylone
memiliki sifat adiktif. Rentetan peristiwa itu menunjukkan ketidaksiapan aparat
hukum dalam menangani kasus narkotika jenis baru dan penindakan aparat
hukum yang bersifat `reaktif'.
Di sisi lain, terdapat masalah yang lebih
urgen dan memprihatinkan ketimbang penanganan zat baru seperti methylone
dan memerlukan penanganan secara komprehensif, yakni masalah amphetamine-type stimulants (ATS). Di
Indonesia ATS lebih dikenal dengan jenis narkoba dalam bentuk pil-pil
ekstasi (MDMA) dan sabu (methamphetamine).
Hal itu berdasarkan pengamatan bahwa selama
ini penanganan ATS belum maksimal. Salah satu argumennya ialah kenyataan
bahwa dalam kurun waktu 20 tahunan, Indonesia telah menjadi negara produsen
untuk ATS (ekstasi dan sabu). Padahal sejak 1997, sudah terdapat dua produk
hukum yang melarang peredaran ATS jenis ekstasi dan sabu, yang pada 1990-an
Indonesia masih menjadi negara tujuan untuk jenis ATS dimaksud. Lebih jauh
lagi, Dewan Pengawasan Narkoba Internasional (INCB) berdasarkan laporan
2011 menyebutkan skala produksi gelap `ekstasi' di Indonesia menimbulkan
keprihatan menjadi sumber utama narkoba tersebut di wilayah regional.
Baru-baru ini Kantor PBB Urusan Narkoba dan
Kejahatan (UNODC) bersama dengan BNN mengeluarkan laporan Indonesia: Situation Assessment on
Amphetamine-Type Stimulants dari Global SMART Programme (Februari,
2013) yang intinya menyebutkan meluasnya perdagangan gelap dan keuntungan
dari ATS merupakan ancaman yang signifikan terhadap keamanan, kesehatan,
dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Secara singkat, laporan menggambarkan: a)
Dari jum lah 3,74,7 juta (2011) pengguna narkoba, 1,2 juta menggunakan
sabu dan 950 ribu menggunakan ekstasi; b) Sejak 2006, sejumlah 135
laboratorium gelap ATS telah terbongkar termasuk 25 laboratorium pada 2011.
Di tahun-tahun belakangan ini muncul laboratorium kecil (kitchen-type) ATS; c) Volume
terbesar prekursor kimia guna memproduksi gelap ATS berasal dari India,
China (termasuk Hong Kong dan Taiwan), dan Amerika Serikat; d) Jumlah kasus
narkoba terkait dengan ekstasi dan sabu terus meningkat. Pada 2011 jumlah
kasus terkait dengan sabu mencakup 62% dari seluruh kejahatan narkoba.
Sebanyak 77% perempuan terkait dengan kejahatan narkoba, pada 2011 terkait
dengan shabu; e) Pada 2011 pengobatan akibat dari penggunaan ATS sebesar
46%, 29% untuk sabu dan 17% untuk ekstasi; f) Harga pasaran per tahunan
untuk sabu Rp9 triliunRp10 triliun dan esktasi Rp2,2 triliun.
Pengawasan
Prekursor
Data-data tersebut tidak lain menunjukkan
betapa besar permasalahan ATS di Indonesia, utamanya terkait dengan sabu.
Dalam hal ini ada tiga hal yang cukup penting untuk mendapat perhatian.
Pertama, meningkatnya jumlah pasokan ATS dengan lokasi laboratorium kecil
yang berdekatan dengan konsumen.
Kedua, sebagai negara produsen, upaya untuk
mencegah masuknya prekursor kimia untuk memproduksi ATS belum maksimal.
Ketiga, pengobatan dan rehabilitasi terhadap pengguna ATS yang meningkat
jumlahnya dari tahun ke tahun menunjukkan keperluan agar unsur kesehatan
memainkan peran yang sama pentingnya dalam upaya pemberantasan narkoba.
Untuk menanggulangi permasalahan ATS itu,
pengamat menyarankan memperkuat rezim pengawasan prekursor. Dalam hal ini,
UU No 35/2009 telah membuka upaya untuk pemidanaan diversi prekursor,
tetapi perlu pembentukan peraturan pemerintah (PP) dalam kerangka pengawasan
prekursor. Sudah saatnya PP tersebut dibentuk guna memperkuat koordinasi
antara BNN, kepolisian, Kemenkes, Kemendag, Kemenprin, dan Badan POM.
Selama ini, ada kemungkinan terjadi
`kebocoran' dalam pengawasan prekursor mengingat banyaknya pihak yang
terlibat dalam pengawasan prekursor tanpa koordinasi yang kuat. Upaya
pemberantasan peredaran gelap ATS tidak hanya menggunakan teknik-teknik
penyelidikan kepolisian yang bersifat follow
the criminal, tapi perlu ditambah dengan upaya follow the money sebagaimana tertuang dalam UU No 35/2009 serta
melalui mekanisme rezim antipencucian uang yang sudah ada.
Meningkatnya jumlah pengguna ATS yang
menjalani pengobatan dan rehabilitasi perlu didukung infrastruktur yang
memadai, berdasarkan pendekatan scientific
based evidence serta merupakan suatu mekanisme drug demand reduction yang bersifat menyeluruh mulai primary prevention sampai tahap
pengobatan dan rehabilitasi. Pendekatan community
based treatment (termasuk pencegahan) dengan memberdayakan unsur
masyarakat-madani perlu digalakkan dalam kerangka di luar sistem peradilan
pidana yang ada seperti sistem `wajib lapor' bagi pecandu narkoba.
Sebagai konklusi, sudah 20 tahun bangsa
Indonesia mengalami pergolakan dalam menanggulangi masalah ATS. Berbeda
dengan masalah ATS yang sudah tercakup dalam produk UU saat itu, methylone
belum termasuk obat-obatan yang dilarang. Namun, akan sangat mengerikan
untuk membayangkan apabila ke depannya methylone tidak diatur secara
komprehensif. Sikap pemerintah dan aparat hukum perlu lebih dioptimalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar