Dalam
persepsi umum publik, partai politik (parpol) yang membawa semangat
keislaman dan akan meramaikan kontestasi Pemilu 2014 nanti, antara lain:
PKS, PPP, PKB, dan PAN. Dua yang pertama adalah partai Islam par-excellence. Dua terakhir, meski
berasas Pancasila, adalah partai berbasis massa Muslim (Moslem-based political parties).
Bagaimana prospek keempat partai itu dalam pemilu mendatang?
Banyak
pihak menilai, citra partai Islam maupun berbasis massa Islam cenderung
menurun akhir-akhir ini. Dalam kasus PKS, misalnya, dugaan kasus suap
impor daging yang membuat mantan presiden PKS dijatuhi status tersangka
oleh KPK berimbas besar pada citra partai dakwah itu. PKS diprediksi akan
tertatih-tatih memperbaiki citra demi meraih target tiga besar dalam Pemilu
2014. Pada Pemilu 2009, PKS memperoleh 7,88 persen dari total suara.
Beberapa pihak menilai, jangankan tiga besar, untuk mendapatkan hasil sama
seperti dalam Pemilu 2009 saja PKS akan kesusahan.
Dengan
adanya dugaan kasus suap itu, survei Saiful
Muzani Research Con- sulting (SMRC), misalnya, belum lama ini
menyatakan, PKS hanya memperoleh 2,7 persen. Parpol Islam lainnya, yakni
PPP, pada Pemilu 2009 memperoleh 5,32 persen. Survei SMRC mutakhir
menyebutkan PPP mendapat 4,1 persen.
Nahasnya, partai yang tak berhasil melewati seleksi KPU, yang mestinya bisa
sehaluan dengan PPP dan diharapkan bisa memperkuat "warna hijau",
yakni PKNU, memilih melakukan merger dengan Gerindra. PKNU kemudian menjadi
sayap politik Gerindra dengan nama Gerakan Rakyat Ahlussunnah wal Jamaah (Gerak Aswaja).
Sebenarnya,
ada dua partai lagi yang kerap dianggap partai Islam, yakni PAN dan PKB.
Anggapan ini tidak sepenuhnya benar. PAN dan PKB adalah parpol berasaskan
Pancasila. Yang tepat adalah partai berbasis massa Muslim. PAN berbasis
massa Muhammadiyah dan PKB berbasis massa NU. Pada Pemilu 2009, PAN
mendapat 6,01 persen, sementara PKB memperoleh 4,94 persen.
Citra publik secara umum terhadap kedua partai itu tidak menunjukkan
kenaikan simpati. Kedua partai itu tidak banyak memberikan kinerja dan
prestasi yang menaikkan perhatian positif dari publik belakangan ini.
Bahkan, kedua partai yang bergabung dengan koalisi pemerintah itu cenderung
pragmatis.
Tiga
sebab menurunnya tingkat elek tabilitas dan kepercayaan publik terhadap
parpol (berbasis massa) Islam ini setidaknya dilatarbelakangi oleh tiga
hal. Pertama, adanya perenggangan politik (political disengagement) dari masing-masing massanya, yang
mestinya bisa diharapkan loyalitasnya. Parpol berbasis massa NU, misalnya,
susah mendapat saham politik yang be- sar dari sikap NU yang me ngem bangkan
wacana "kembali kekhittah 1926"; menjadi organisasi
sosial-keagamaan (jam'iyyah
diniyyah-ijtima'iyyah) dan tak mengurusi politik. Warga NU yang
Muslim-tradisionalis tidak dianjurkan untuk memilih salah satu dari PPP
atau PKB. Istilah populisnya: NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana.
Sikap
NU ini tentu saja tidak menguntungkan secara politik. Apalagi, dengan manuver
PKNU tadi. Ijitihad politik ala Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang tercitrakan kuat sebagai trademark NU nyatanya tidak bersatu. Ini menjadi pekerjaan
rumah bagi NU: bagaimana bisa ormas Islam terbesar justru tercerai berai aspirasi
politiknya?
Sementara
parpol berbasis massa Muhammadiyah, yang kebanyakan Muslim modernis-perkotaan,
harus berusaha mempertahankan loyalitas massanya agar tidak "kabur"
ke PKS, yang juga berbasis massa sama. Hal yang mestinya menjadi problem
bagi orang-orang Muhammadiyah, citra politik yang dibangun PKS melalui pembingkaian
ideologis (ideology framing)
lebih kuat, misalnya soal Palestina. Harapan dari PAN adalah bergabungnya
suara dari massa partai non pemilu yang merger dengan partai berlambang
matahari itu, misalnya PBR.
Kedua,
isu-isu sosial-ekonomi akan semakin memainkan peran penting.
Demikian ini seiring dengan semakin meningkatnya taraf pendidikan masyara-
kat. Publik kian melek politik. Apalagi, jejaring sosial menjadi
katalisator ampuh untuk meraup simpati publik. Parpol- parpol Islam belum
berhasil memainkan peran yang apik dalam ta taran ini.
Ketiga,
dengan adanya perenggangan politik, jelas akan banyak Muslim yang menjadi
massa mengambang (floating masses).
Parpol Islam mestinya bisa kembali merebut hati mereka. Sebab, mereka rawan
"tertawan" oleh parpol nasionalis-sekuler lainnya yang kini
membuka "rumah khusus" untuk pemilih Muslim. Jelas, "politik
aliran" kini sudah di ambang kematian.
Sejak
era reformasi, bandul politik publik kian bergerak semakin rasional dalam
lanskap sekularisme. Jika di awal faktor figur masih kuat, kini gerakan
pemilih lebih pada manuver dalam menyikapi isu-isu panas.
Untuk
itu, parpol Islam, mesti menanggalkan kebanggaannya sebagai wakil aliran
tertentu. Politik aliran semacam ini kian tak laku. Dibandingkan parpol
yang sekuler-nasionalis, parpol Islam lebih susah melakukan moderasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar