Dalam tiga bulan terakhir, Komisi
Pemberantasan Korupsi kian menunjukkan tajinya. Dengan derap langkah pasti,
sejumlah kasus yang sangat kental berkelindan dengan pusaran pemegang
kekuasaan politik ditingkatkan status hukumnya. Tak tanggung-tanggung,
mereka yang kena sasar adalah tokoh paling sentral di sejumlah partai
politik.
Dari rangkaian kasus-kasus besar
(terkategori megaskandal) yang ditangani KPK, proses hukum indikasi korupsi
kompleks olahraga terpadu di Bukit Hambalang dapat dikatakan yang paling
jelas dan konkret kemajuannya. Dalam proses hukum kasus ini, KPK telah
meningkatkan status hukum Andi Alifian Mallarangeng dan Anas
Urbaningrum menjadi tersangka.
Tidak hanya kedua tokoh sentral
Partai Demokrat ini, endusan KPK di sekitar ”bau tengik” kongkalikong impor
daging sapi menjadi berita menggemparkan. Dalam kasus ini, Presiden Partai
Keadilan Sejahtera dan sekaligus anggota Komisi I DPR RI, Luthfi Hasan
Ishaaq, ditangkap KPK. Dalam kejadian ini, Luthfi Hasan menjadi tokoh
sentral partai politik pertama yang dijadikan tersangka, ditangkap dan
langsung ditahan sang superbody.
Meski demikian, dalam capaian
tersebut, KPK tengah menghadapi persoalan pelik, terutama terkait dengan
tuduhan banyak pihak bahwa lembaga ini tidak independen. Paling tidak,
tuduhan itu terbaca jelas setelah beredarnya atau bocornya dokumen surat
perintah penyidikan (sprindik) Anas Urbaningrum. Celakanya, dokumen
sprindik itu beredar seperti menjadi rangkaian dengan jumpa pers Presiden
Yudhoyono di Jeddah (5/2) yang memberi sinyal kepada KPK untuk segera
menuntaskan kasus Hambalang.
Akankah penilaian tidak independen
tersebut menjadi sebuah awal badai baru yang melanda KPK? Pertanyaan
sederhana itu menjadi penting dikemukakan karena setiap gangguan hampir
dapatdipastikan akan menguras pemikiran dan tenaga yang tidak sedikit.
Banyak kalangan percaya, apabila badai baru di tengah perjalanan kapal KPK
terjadi, agenda pemberantasan korupsi berpotensi memasuki krisis panjang
nan melelahkan.
Serangan Eksternal
Dalam perjalanan lebih dari satu
dasawarsa, tidak terbantahkan KPK merupakan lembaga penegak hukum yang
paling banyak mendapat perlawanan. Penyebabnya sangat sederhana, KPK
berhasil menjamah hampir semua episentrum korupsi yang selama ini sulit
dijangkau lembaga penegak hukum konvensional. Diakui atau tidak, sepanjang
sejarah penegakan hukum negeri ini, belum pernah ada lembaga yang berani
”mengusik” lembaga perwakilan, posisi eksekutif tertinggi di pusat dan
daerah, penegak hukum, politisi, dan partai politik.
Karena itu, para penikmat uang
haram yang selama ini tidak pernah terganggu oleh proses hukum berupaya
secara sistematis menyerang KPK. Bahkan, sejumlah langkah yang diambil
adalah dengan menggunakan jalur hukum. Misalnya, merujuk catatan pengujian
undang-undang di Mahkamah Konstitusi, UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang
telah 17 kali diuji. Jumlah itu membuktikan betapa intensifnya langkah
melumpuhkan KPK memakai jalur hukum. Bahkan, dalam banyak kejadian, jalur
hukum acap kali bersahutan dengan jalur politik.
Selain itu, serangan atas KPK
banyak pula terjadi di antara sesama lembaga penegak hukum. Salah satu yang
paling monumental adalah langkah kriminalisasi yang dilakukan atas pimpinan
KPK. Ketika kejadian ini berlangsung, KPK seperti mengarungi lautan di
tengah hantaman badai gelombang mahadahsyat. Cacatan tersebut bisa ditambah
dengan resistensi institusi kepolisian dalam kasus suap proyek simulator
SIM. Dalam kasus ini, kepolisian seperti hendak mempertontonkan ke
masyarakat betapa hebatnya upaya melindungi korps lalu lintas kepolisian.
Dalam rangkaian kejadian itu,
pepatah klasik ”sengsara membawa nikmat” seperti menemukan perwujudan yang
sesungguhnya. Langkah sistemik tersebut tak hanya gagal menghentikan laju
KPK, tetapi juga menghadirkan simpati dan dukungan masyarakat yang luar
biasa. Bahkan, semua rangkaian serangan yang diarahkan ke KPK mampu
membangun kesadaran baru, yakni pemberantasan korupsi tak mungkin
dilaksanakan tanpa dukungan masif masyarakat. Sadar atau tidak, dukungan
masyarakat itu pula yang menjelma menjadi napas baru KPK untuk terus
bertahan di tengah gempuran ini.
Masalah Internal
Dibandingkan dengan rangkaian
serangan di atas, persoalan yang dihadapi KPK sekarang jauh lebih rumit dan
sangat tidak sederhana, yakni persoalan internal. Misalnya, dalam beberapa
waktu terakhir, sering diberitakan hubungan yang tidak harmonis di antara
pimpinan KPK. Bahkan, sering pula terdengar terjadinya pembelahan pandangan
di antara pimpinan saat penuntasan kasus tertentu. Dalam hal ini, banyak
pihak percaya, yang terjadi sesungguhnya bukan hubungan yang tak harmonis,
melainkan lebih pada perbedaan pandangan melihat sebuah kasus.
Meski demikian, karena berita
seperti ini sering hadir ke permukaan, hari demi hari amat mungkin mengubah
pandangan banyak pihak terhadap pola hubungan antar-pimpinan. Dalam hal
ini, KPK masih bisa membantah karena adanya ketentuan bahwa bangunan
hubungan di antara pimpinan adalah kolektif-kolegial. Dengan ketentuan
tersebut, tudingan perpecahan di antara pimpinan KPK sulit dilacak secara
nyata di permukaan. Paling-paling masyarakat hanya bisa melacak dari
penuntasan kasus yang berjalan lamban.
Persoalan paling rumit dan tidak
sederhana di internal KPK, sepertinya, terwakili dengan munculnya dokumen
sprindik Anas Urbaningrum. Sebagai orang yang percaya pada independensi
KPK, saya tidak percaya penetapan status hukum Anas sebagai tersangka
merupakan bentuk pelaksanaan isyarat Presiden Yudhoyono. Sebagai rangkaian
dari proses hukum yang telah berlangsung panjang dan melelahkan, penetapan
status Anas menjadi tersangka jauh lebih tepat disebut sebagai faktor
kebetulan semata, bertemu pada waktu dan titik yang sama.
Meski demikian, tetap saja tidak
mudah menjelaskan bocornya sprindik di tengah kisruh yang melanda Partai
Demokrat. Ditambah lagi, dalam proses investigasi internal, kuat indikasi
bahwa bocornya sprindik berasal dari internal KPK. Pada titik ini, badai
baru yang tengah menghadang KPK adalah kelanjutan dari proses pengawasan
internal. Kemungkinan penjatuhan sanksi bagi pembocor sprindik dapat
menjadi pisau bermata dua. Pada satu sisi, dapat memberi kesan positif
bahwa mekanisme internal KPK berfungsi dengan baik, tetapi di sisi lain
hasilnya sangat mungkin dijadikan sebagai senjata untuk memukul balik KPK.
Karena itu, langkah yang harusnya
dilakukan, KPK bekerja keras menuntaskan kasus hukum Anas Urbaningrum.
Dengan cara begitu, hantaman badai baru yang mungkin muncul dari proses
penegakan kode etik dapat dikurangi secara signifikan. Jika tidak, hantaman
badai baru berpotensi menenggelamkan KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar