Masalah impor sapi menjadi
sebuah isu politik saat pimpinan sebuah partai ditangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat perkara suap dalam
penentuan kuota daging impor. Ingar-bingar pemberitaan mengenai hal itu
pada akhirnya mengarah pada politisasi impor sapi karena dikait-kaitkan dengan
prospek partai bersangkutan dalam konteks kontestasi politik menjelang
Pemilu 2014.
Masalah impor sapi pada
galibnya memang sebuah masalah politik, namun dalam lingkup yang lebih
besar dibanding sekadar soal kemelut sebuah partai seperti titik fokus
selama ini. Impor sapi adalah bagian dari Program Swasem bada Daging Sapi
(PSDS) sebagai bagian dari upaya mewujudkan ketahanan pangan.
Tren positif PSDS 2014 pada
intinya berisi idealisme terpenuhinya kebutuhan daging yang bersumber dari
potensi lokal sebesar 90 persen. Dengan konsep itu, peningkatan produksi
sapi di dalam negeri didorong hingga menekan kebutuhan impor sapi hanya
pada kisaran 10 persen saja. Latar belakangnya adalah fakta menyedihkan
betapa di tengah potensi besar pengembangan produksi sapi dalam negeri,
ketergantungan Indonesia pada sapi impor malah justru membesar.
Setelah bergulir selama dua
tahun sejak tahun 2010, tren ke arah sukses PSDS tampaknya menggembirakan.
Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK)
tahun 2011 dari BPS, jumlah sapi potong nasional adalah 14,8 juta ekor.
Jumlah ini sudah melampaui target populasi ternak sapi 2014 sebanyak 14,2
juta ekor guna terwujudnya swasembada daging sapi.
Terlepas dari keraguan sejumlah
pihak pada hasil pendataan itu, tren peningkatan populasi sapi tanah air
memang terlihat. Gerakan NTB Bumi Sejuta Sapi (NTB BSS) yang dicanangkan
tahun 2008 misalnya mencatat, pada 2009, populasi sa pi di NTB hanya ber
jumlah 592.875 ekor. Jumlah ini meningkat menjadi 784.019 ekor pada 2011
dan 916. 560 ekor pada 2012.
Saya berpendapat, ada dua masalah dalam upaya mewujudkan sukses PSDS 2014,
yaitu produksi dan distribusi. Dari sisi produksi, tidak semua populasi
sapi dalam negeri bersifat ready
stock. Hal itu terjadi karena peternakan rakyat individual tidak
sepenuhnya berorientasi komersial dan menjadikan sapi sebagai aset yang
tidak mudah dijual.
Hampir 90 persen peternakan
sapi rakyat di Indonesia adalah peternak yang menjalankan usaha peternakan
sebagai usaha sambilan. Dijadikannya NTB BSS sebagai salah satu program
unggulan Pemda NTB salah satunya didasari kesadaran akan sifat sosio kultural
peternakan rakyat itu. Perlu ada intervensi pemerintah menyiasati upaya
ketersediaan sapi ready stockyang bersumber dari peternakan rakyat.
Meningkatkan populasi sapi
ready stock juga bisa dilakukan dengan memacu peternakan sapi komersial.
Hal itu bisa dilakukan dengan mendorong BUMN lebih terlibat di investasi
produksi sapi. Pada tataran tertentu, hal itu sudah dilakukan PT Rajawali
Nusantara Indonesia yang menggandeng BUMD kami, PT Gerbang NTB Emas, dengan
investasi Rp 75 miliar untuk produksi 2.000 sampai 5.000 ekor sapi.
Di tengah keterbatasan sapi ready stock di tingkat nasional,
keterlibatan BUMN dalam `bisnis sapi' tentu saja merupakan sebuah peluang
bisnis menjanjikan. Belum lagi, jika bisnis itu bisa dikembangkan tidak
semata untuk memenuhi stok daging nasional, namun juga untuk produk-produk
olahan seperti sosis dan baso.
Daerah penyangga Kesan
`kelangkaan' daging sapi di tengah tingginya populasi sapi nasional juga
terkait dengan masalah distribusi. Kalaupun stok sapi ada, masih dirasakan
kendala di sisi transportasi pengangkutan dari sentra-sentra produsen sapi
di Jawa dan luar Jawa. Karena itu, saya menilai wajar jika ada ide agar
swasembada sapi tidak langsung ber skala nasional dulu, namun ditetapkan
per zona.
Pemerintah bisa menciptakan
daerah-daerah penyangga pasokan sapi per zona berdasarkan jumlah populasi
sapi yang ada. Daerah penyangga menjadi tumpuan ketersediaan pasokan daging
di zonanya, meski tentu saja secara fleksibel bergerak pada prinsip supply and demand. Jika pasokan
daging di zonanya aman atau ketika demanddari provinsi di wilayahnya minim,
tetap terbuka kemungkinan daerah penyangga memasok daging sapi ke luar zona
wilayahnya.
Dengan mengatur adanya daerah
penyangga berdasarkan zona ini, jalur distribusi daging sapi antarwilayah
niscaya akan lebih mudah, efisien dan irit biaya. Apalagi, jika rencana
Kementerian Perhubungan membangun terminal khusus pengangkut sapi dan hewan
ternak di Sumba dan Lampung dengan kapal khusus pengangkut ternak bisa
diwujudkan dalam waktu dekat.
Mengungkap kasus suap kuota
impor sapi dan memberantas kartel yang mengendalikan harga daging di
pasaran memang suatu hal penting yang perlu dilakukan. Namun, saya pikir, merumuskan
`politik impor sapi' yang bisa memutus ketergantungan bangsa ini pada
komoditas daging bangsa lain juga tidak kalah strategis dan urgennya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar