Selama ini bahasa Indonesia
berada dalam hegemoni bahasa asing, terutama bahasa Inggris begitu kuat
mengintervensi bahasa Indonesia. Sementara di satu sisi kondisi bahasa
daerah seperti bahasa Sunda dalam keadaan megap-megap, bahkan tidak menutup
kemungkinan tengah menuju ruang-ruang kepunahan.
Dalam konteks itu, fenomena
remaja, muda-mudi pada tingkat pergaulannya cenderung merasa lebih
bergengsi apabila berbahasa asing ketimbang menjadi pengguna bahasa
Indonesia yang santun dan bermartabat. Sangat disayangkan, apabila bahasa
Indonesia yang lahir, mengandungi cita-cita nasional dan perekat bangsa,
pun bisa menuju sebuah kepunahan.
Kita pun tak dapat menyangkal
bahwa hakikat bahasa itu dinamis akan terus menuju pada perkembangan dan
perubahannya. Memang, sesuatu yang niscaya apabila bahasa pada hakikatnya
dinamis akan selalu mengikuti arus perkembangan zaman dan peradaban umat
manusia yang terus diciptakan sepanjang hayatnya.
Abdul
Chaer, pakar bahasa (2003) mengatakan bahwa bahasa adalah satu-satunya
milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak
manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya
dan bermasyarakat. Tak ada kegiatan manusia yang tidak disertai oleh
bahasa. Artinya, manusia terikat dan terkait dengan bahasa, sedangkan dalam
kehidupannya dalam konteks bermasyarakat tidak tetap dan selalu berubah.
Maka, hal itu pulalah yang menjadikan bahasa tidak statis dan selalu
dinamis.
Perubahan
dalam bahasa dapat juga bukan terjadi berupa pengembangan dan perluasan,
melainkan berupa kemunduran sejalan dengan perubahan yang dialami
masyarakat bahasa yang bersangkutan. Berbagai alasan sosial dan politis
menyebabkan banyak orang meninggalkan bahasanya, atau tidak lagi
menggunakan bahasanya lalu menggunakan bahasa lain.
Di Indonesia, kabarnya, telah
banyak bahasa daerah yang telah ditinggalkan para penuturnya terutama
dengan alasan sosial. Jika ini terjadi terus-menerus, maka pada saat suatu
kelak banyak bahasa yang hanya berada dalam dokumentasi belaka, karena
tidak ada lagi penuturnya.
Keutuhan Bangsa
Masalah bahasa Indonesia dalam
konteks keutuhan sebuah bangsa memang diperlukan selama orientasinya bukan
'politik citra' kekuasaan, melainkan penyadaran betapa pentingnya kita
berada dalam bangunan sebuah bangsa yang harmonis sanggup menjauhkan diri
dari unsur-unsur teroris. Kita dapat 'bebas aktif' bercita-cita
mengekspresikan diri dan berkarya tanpa harus 'cas-cis-cus membabi-buta'
menggunakan bahasa asing dan begitu pun tanpa harus rendah diri menggunakan
bahasa daerah sebagai ranah bahasa ibu kita.
Membicarakan bahasa Indonesia
sebagai alat untuk membangun secara utuh sebuah bangsa adalah melihat
bagaimana fungsi dan peran politik bahasa untuk mempersatukan suatu bangsa
yang sebelumnya terpisah-pisah, baik oleh etnis, ras, sekat-sekat
geografis, maupun agama, dan mereka masing-masing memiliki bahasa
komunikasi yang berbeda-beda. Dan, selanjutnya adalah bagaimana bahasa
Indonesia dapat ikut menjaga persatuan.
Sejak Sumpah Pemuda diikrarkan
di Pegangsaan Timur Jakarta pada Oktober 1928, pemakaian bahasa Indonesia
terus meluas seirama dengan makin meluasnya kebangkitan pergerakan nasional
untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini juga didukung makin
banyaknya media massa (surat kabar) dan buku-buku (terutama buku sastra)
yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Semoga dengan berbahasa
Indonesia yang baik dan santun sebagai masyarakat komunitas dunia, kita
menjadi bangsa yang 'independen', percaya diri dan bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar