Masyarakat di daerah
saya--Serang, Banten-- sering memelesetkan istilah politik dengan `pulitik'
sebagai akronim dari `kumpul diitik-itik', yang artinya sekelompok orang
yang berkumpul dan kemudian orang-orang tersebut saling menggelitiki.
Gerakan tubuh yang geli dalam bahasa "politik" bisa diartikan
sebagai tanda kehidupan atau dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara
yang bisa berkonotasi negatif atau positif.
Tulisan ini dibuat sebagai
ungkapan kegundahan seorang yang sangat awam tentang politik karena tidak
memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman politik, tetapi setiap
hari disuguhi berita politik yang semakin membingungkan.
Berita politik yang sedang hangat saat ini adalah tentang penetapan oleh
KPK terhadap
Anas Urbaningrum (AU) sebagai tersangka kasus proyek
Hambalang. Dalam beberapa hari terakhir
ini berbagai media online selalu mengupdate hampir setiap menitnya perkembangan
kasus AU tersebut. Sebagai seorang awam politik, saya tergerak menulis ini
hanya karena kebingungan tadi dan karena saya pernah berkesempatan sekali
makan siang bertiga dengan AU jauh sebelum beliau menjadi ketua umum Partai
Demokrat, tetapi pertemuan tersebut tidak ada tindak lanjutnya hingga saat
ini.
Saat itu saya memahami
pertemuan dengannya hanya sekadar silaturahim dan sebagai sesama kader HMI,
tetapi saya tidak tahu dia sendiri memahaminya bagaimana. Kesan yang saya
dapatkan adalah AU seorang yang berpembawaan tenang, santun, cerdas, dan
karakter inilah yang sepertinya membawanya terpilih sebagai ketum Partai
Demokrat.
Sebagai seorang aktivis
organisasi kemahasiswaan HMI dengan jaringan tokoh alumninya yang tersebar
diberbagai partai dan lembaga pemerintahan, AU tentunya memiliki bekal
pengetahuan, strategi, dan jaringan yang baik. Dia tidak hanya dapat
memimpin sebuah partai, tetapi memiliki potensi besar untuk memimpin bangsa
ini suatu hari, mengingat usianya saat ini yang masih relatif muda.
Namun demikian, AU tentu sangat
memahami bahwa untuk menjadi seorang ketum partai saja harus menghadapi
berbagai persoalan besar dan kompleks, yang mungkin tidak terbayangkan
sebelumnya. Keputusannya untuk berhenti tentu tidak terlepas dari berbagai
manuver "pulitik" yang mendera partainya selama sekitar dua
tahun.
Sebagai ketum, AU tentu
bertanggung jawab atas semua persoalan yang dihadapi partainya, tetapi yang
patut dipertanyakan adalah bagaimana persoalan-persoalan itu terjadi dan
berkembang hingga tidak pembina partai, yang notabene adalah presiden,
turun tangan. Sebagai seorang awam politik, saya dan mungkin sebagian besar
masyarakat kita, mengalami kebingungan tentang apa yang sebenarnya sedang
terjadi di republik ini.
Kebingungan tersebut muncul karena
terjadi banyak anomali pada perpolitikan di republik ini. Sekadar beberapa
contoh: Pertama, Presiden SBY telah memberikan arahan kepada para menterinya
untuk fokus kepada tugas pemerintahannya, tetapi presiden sendiri yang
justru kemudian melibatkan diri dalam pengurusan partai. Sebuah media
bahkan mengatakan presiden bagaikan menelan ludahnya sendiri.
Kedua, seorang menteri yang
berbaju dinas dengan lambang kenegaraan di dadanya berbicara di media
tentang kegiatan partainya, seolah-olah tidak mengetahui bahwa baju yang
dikenakannya dibiayai oleh negara dengan uang rakyat. Ketiga, KPK sebagai
lembaga superbody dan independen yang merupakan satu-satunya tumpuan harapan
untuk memperbaiki kondisi bangsa ini dari berbagai keterpurukan, ternyata
tidak kebal terhadap permainan politik/pulitik dan tragisnya patut diduga
bermain mata dengan istana dengan adanya sprindik KPK yang bocor di tangan
istana.
Betul apa yang dikatakan oleh
AU bahwa tidak diperlukan pencermatan yang terlalu canggih untuk memahami
rangkaian berbagai peristiwa yang menghubungkan KPK, istana, dan Partai
Demokrat. Masyarakat tentu menuntut transparansi dan kejujuran KPK dalam
mengungkap kasus tersebut sebenarnya karena kebocoran sprindik yang terkesan
teknis dan administratif, tetapi telah mencoreng wajah KPK.
Pemilihan Presiden (Pilpres)
2014 sudah di depan mata, tetapi masing-masing partai peserta pemilu hingga
saat ini masih memiliki persoalan internal dan belum memiliki kader yang
dianggap layak menjadi presiden. Bersamaan itu muncul individu-individu
yang bukan merupakan kader partai tetapi didukung oleh masyarakat, seperti
Rhoma Irama, Jokowi, Dahlan Iskan, dan lainnya. Para tokoh lansia juga
tergoda syahwat politiknya untuk meramaikan bursa calon presiden tersebut
dengan berbagai pertimbangan dan alasan.
Menurut sebagian kalangan awam,
Pilpres 2014 adalah pilpres yang sangat penting bagi perjalanan bangsa ini
ke depan dalam menghadapi era persaingan global yang semakin protektif,
implementasi MP3EI, kemungkinan dampak krisis Eropa yang belum jelas
solusinya.
Sementara itu, persoalan di
dalam negeri juga tidak kalah pentingnya, seperti masalah kemiskinan,
pengangguran, pendidikan, kesehatan, dan masih banyak lagi. Oleh karena
itu, dibutuhkan pemimpin bangsa yang bersih, jujur, cerdas, berani, dan
cepat mengambil keputusan strategis dan diperlukan anggota legislatif yang
mampu bekerja secara mandiri atau tanpa bantuan tenaga ahli.
Seorang anggota legislatif
seharusnya memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam merumuskan berbagai
persoalan bangsa menjadi perundang-undangan dan memiliki kemampuan untuk
bekerja sama dengan pemerintah dan sekaligus mengawasi pelaksanaan
program-programnya.
Sekali seseorang menjadi
presiden, ia harus terbebas dari persoalan partai dan seluruh tenaga,
waktu, dan pikirannya difokuskan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Idealnya, seorang presiden yang Muslim sudah berniat mewakafkan diri dan
keluarganya, setidaknya selama menjabat, untuk sepenuhnya memikirkan dan
mengurusi bangsa ini semata. Demikian pula halnya bagi para pejabat yang
lain.
Semoga berbagai kasus yang ada
di republik saat ini menjadi pelajaran berharga untuk menyongsong hari
depan yang lebih baik bagi warga masyarakat yang awam politik/pulitik. Orang
ini kesehariannya masih memikirkan bagaimana besok makannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar