Partai Demokrat akan diuji. Ini kata Anas Urbaningrum
beberapa saat menjelang peletakan jabatannya sebagai ketua umum partai
penguasa itu. Menurut Anas, ada tiga etika politik partai yang akan diuji:
bersih, cerdas, dan santun.
Kita tahu, soal "bersih" partai yang pernah
gencar beriklan "katakan tidak pada korupsi" ini sudah batal demi
hukum. Sebab, semua struktur penting partai sudah menyumbang tersangka dan
terpidana korupsi. Dari sektor Dewan Pembina, ada Hartati Murdaya
(anggota), menyusul kemudian Andi Mallarangeng (sekretaris). Dari
kesekjenan sudah diwakili Angelina Sondakh (wakil). Terbaru ketua umumnya,
Anas Urbaningrum.
Sedangkan beberapa nama elite partai, seperti Sutan
Bhatoegana, Johny Allen Marbun, Jero Wacik, sudah terdaftar di Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kalau soal kecerdasan, ujiannya nanti dalam Pemilu 2014.
Kalau tetap bertahan sebagai pemenang, apalagi dengan persentase yang
meningkat dibanding Pemilu 2009, sudah pasti partai (Demokrat) ini sangat
cerdas. Bisa meniti buih. Berselancar di atas gelombang isu yang dahsyat.
Tapi, kalau gagal, toh orang juga tidak akan menvonisnya sebagai partai
yang tidak cerdas.
Ujian terberat justru pada poin santun. Sebab, santun
dibawa ke dunia politik dan dikembangkan dengan sangat sukses oleh Susilo
Bambang Yudhoyono, bos besar Partai Demokrat. Sebelum Yudhoyono terjun ke
dunia politik praktis (2004), kita nyaris tidak pernah mendengar istilah
"politik santun".
Kini, kesantunan sudah resmi menjadi salah satu syarat
yang harus dimiliki calon pemimpin. Padahal, sebelum Yudhoyono terjun ke
dunia politik, kesantunan tidak pernah menjadi ukuran kepemimpinan. Ini
berlaku di seluruh dunia.
Itu sebabnya, para pemimpin besar yang mendunia nyaris
tidak ada yang santun. Sebut saja, Lee Kuan-yew, Mahathir Mohammad, Deng
Xioping, Soekarno, bahkan Bang Ali (Sadikin) dikenal masyarakat luas,
khususnya warga Jakarta, adalah pemimpin yang apa adanya, egaliter, tidak
ada santun-santunnya. Namun, mereka umumnya memang menjunjung tinggi etika.
Bukan kesantunan yang terkesan munafik.
Karena itu, kesantunan biasanya merupakan perilaku di
kalangan para bos mafioso. Dalam film-film mafia, terutama Godfather
besutan sutradara Francis Ford Coppola yang sudah menjadi legenda, bisa
kita saksikan betapa para don mafia dalam setiap pertemuan sangat santun.
Cipika-cipiki. Saling hormat. Saling memuji kesuksesan mereka. Tetapi, di
balik kesantunan itu, mereka sembunyikan keganasan yang cenderung sadis.
Itulah sebabnya, konflik antargeng, perseteruan di antara mereka, selalu
bersimbah darah. Nyawa manusia menjadi tidak ada harganya.
Anas tampaknya juga tergoda, tepatnya curiga, apakah
kesantunan yang dikembangkan di partainya setali tiga uang dengan budaya
santun di kalangan para mafioso?
Makanya, selain bersih dan cerdas, juga diuji apakah
Demokrat akan menjadi partai yang santun ataukah sadis. "Apakah yang
terjadi kesantunan politik atau sadisme politik?" tanya Anas dengan
suara yang lantang tapi dingin.
Pernyataan ini merupakan sikap mantan Ketua PB HMI
(1997-1998) itu atas perjalanannya menjadi tersangka di Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Anas menjadi tersangka setelah para petinggi
partainya, bahkan Ketua Dewan Pembina, bermanuver untuk segera
menyingkirkannya dari kursi pimpinan partai. Maklum, dalam musim pemilu,
posisi Anas memang sangat menentukan.
Itulah sebabnya, akhir karier poltik Anas di Demokrat
mungkin juga akan mengakhiri era politik santun yang dipelopori Yudhoyono.
Sebab, politik akhirnya bisa menerkam siapa saja dengan cara yang jauh dari
kesantunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar