BANYAK orang
yang mengatakan, 2013 adalah "tahun politik". Akan banyak kejutan
politik menyibak sebelum Pemilu 2014 berlangsung. Sayangnya,
kejutan-kejutan itu bukan dalam arti positif, melainkan negatif.
Tahun 2013 diprediksi menjadi kuburan karir para politisi
yang lengah dan memiliki celah untuk dikasuskan secara hukum. Masih hangat,
petinggi Partai Demokrat (PD) Andi Mallarangeng (AM) ditetapkan KPKsebagai tersangka korupsi terkait kasus Hambalang tahun anggaran
2010-2012. Penetapan AM sebagai tersangka membuatnya memutuskan mundur dari
jabatan Menpora, serta sekretaris dan anggota Dewan Pembina PD.
PKS
saat ini juga mengalami kepahitan "tahun politik". Tidak
tanggung-tanggung, presiden partai ini, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI),
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap impor daging
sapi. Mengikuti jejak AM dari PD, LHI pun akhirnya memutuskan mundur dari
jabatannya dan digantikan Anis Matta.
Yang menarik dan perlu diperhatikan adalah para politisi yang
tersandung masalah selama ini dikenal publik sebagai sosok
"bersih". Mereka juga petinggi partai yang selama ini giat
mengampanyekan perang melawan korupsi. PD terkenal dengan slogan,
"Katakan Tidak Pada Korupsi," sementara PKS konsisten dengan
slogan "Bersih dan Peduli." Tak heran, terkuaknya skandal
menyingkap "topeng" bersih itu.
Dalam literatur ilmu politik, fenomena topeng politisi tersebut yang
sering disebut "politik muka dua".
Politik Mandevillian
Ilmuwan politik dari University of Cambridge, David Runciman, dalam bukunya
berjudul Political
Hypocricy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond (2010) menjelaskan bahwa politik
muka dua merupakan cermin kemunafikan politisi.
Menurut Runciman, istilah kemunafikan berakar dari dunia teater dan agama.
Di atas panggung para aktor sering berpura-pura memainkan peran yang sama
sekali bukan dirinya. Di luar panggung, kepandaian mereka menampilkan lebih
dari satu wajah dapat menimbulkan potensi tidak dapat dipercaya.
Sebagaimana aktor yang dinilai oleh penontonnya, politisi juga senantiasa
diamati publik. Mereka akan selalu menunjukkan wajah kebaikan yang
diharapkan, sering bukan wajah yang sesungguhnya, untuk mendapatkan tepuk
tangan meriah pendukung dan meredam pengkritiknya. Usaha memainkan peran,
baik oleh aktor dan politisi ini, menurut Runciman, adalah kemunafikan yang
menyuguhkan penipuan jenis tertentu.
Sementara kemunafikan dalam agama bisa merujuk pada perbuatan kesalehan
yang ditunjukkan untuk menipu orang lain. Seseorang yang munafik itu
disebut bermuka-dua: mengenakan topeng kesalehan untuk menutupi sifat
buruknya.
Dalam The Fable of the
Bees (1970), filsuf Bernard Mandeville
(1670-1733) memasukkan konsep kemunafikan sebagai antitesis kesalehan.
Dalam karyanya itu, Mandeville menyerang pandangan Shaftesbury (1671-1713)
dan para moralis awal abad XVIII lainnya yang percaya bahwa manusia secara
alami bersikap baik dan sangat mungkin bersikap saleh. Namun, Mandeville
menganggap pandangan itu merupakan suatu bentuk penyangkalan terhadap sifat
hakiki seseorang yang pada dasarnya penuh nafsu.
Dalam buku An Enquiry into
the Origins of Honour and the Usefulness of Christianity in War (1971), Mandeville menjelaskan
lebih lanjut bahwa politisi munafik adalah orang yang berpura-pura saleh,
dan mereka tahu kepura-puraan itu salah. Mereka memperlihatkan kesalehan
dan ketaatan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mendapatkan
kepercayaan.
Jangan Lagi Menipu
Skandal suap dan korupsi yang terkuak pada tahun politik 2013 ini merupakan
situasi yang mirip dengan politik Mandevillian, yakni kemunafikan
bersembunyi di balik topeng kesalehan.
Dalam konteks politik di Indonesia, sikap kemunafikan politisi (politik
muka dua) ini dapat diterjemahkan sebagai strategi mengelabui atau menipu
pemilih (konstituen). Namun, politisi sering lupa, sikap ini bisa menjadi
bumerang jika mereka lengah dan memiliki celah untuk dikasuskan secara
hukum atau dijadikan sasaran kritik, baik oleh media ataupun lawan
politiknya.
Jika itu terjadi, bau busuk politisi pun tersebar dengan cepat dan tercium
publik sehingga mengakibatkan kekecewaan, terutama pada konstituennya.
Dalam kasus LHI, seorang kader PKS, Aulia Gurdi, dalam tulisannya yang
menyentuh di Kompasiana, "Antara
Saya, PKS, dan Perjuangan Dakwah," mengungkapkan kekecewaannya
terkait skandal suap yang menimpa presiden partai dambaannya tersebut.
Aulia mengatakan, "Kalau saja boleh ditanya siapa yang paling terpukul
dengan adanya kasus korupsi yang menimpa presiden PKS LHI, tentu mereka
adalah para kader dan simpatisan partai berlabel Islam ini. Dulu saya amat
bangga menjadi kader PKS yang mengusung slogan "Bersih dan Peduli" ini. Partai ini berjalan dengan
misi yang sungguh mulia sejak awal. Platformnya dibuat begitu sempurna
dengan cita-cita yang sungguh luhur. Dalam perjalanan kemudian, saya temui
begitu banyak hal yang mencoreng kemuliaannya. Akhirnya saya sadari
kemudian, kumpulan partai ini adalah juga jamaah manusia yang pasti tak
maksum dari dosa. Tak satu kasus ini saja yang terjadi. Sebelumnya, kasus
pornografi yang menjerat anggota dewan partai ini tak kurang menjadi
pukulan paling telak yang sungguh membuat siapa pun kader shock."
Kekecewaan Aulia hanyalah satu di antara banyak kekecewaan kader dan
simpatisan PKS. Pelajaran yang bisa dipetik dari hal ini adalah bahwa
politik muka dua politisi tidak lagi bisa dijadikan andalan untuk menipu
dan mendapatkan kepercayaan publik. Pada saatnya wajah sesungguhnya para
politisi akan terlihat juga dan mengakibatkan politisi terjerat hukum,
sanksi sosial, serta kehilangan karir politik, dan integritasnya.
Karena itu, mengingat "tahun politik" 2013 masih panjang,
penetapan tersangka AM dan LHI bukan hanya menjadi pukulan telak bagi PD
dan PKS, tapi juga peringatan keras bagi partai lain agar berhati-hati
menjelang Pemilu 2014. Potensi terbongkarnya kasus-kasus hukum politisi
dari partai lain mungkin saja akan terjadi di sepanjang tahun ini dan
menjadi bencana politik yang menyusutkan jumlah konstituen pada Pemilu
2014. ●
|
|
politik ya ,, gax ikutan ah
BalasHapus