BREBES, malam Minggu,
pukul 22.00. Para petani rumput laut di Desa Randu Sanga masih bersila di
halaman rumah tokoh masyarakat setempat. Laki-laki dan perempuan. Tua dan
muda. Resminya, mereka menghadiri acara rutin keagamaan yang disebut
Pengajian Padang Bulan. Saya pikir akan ada pemilik merek "Padang
Bulan" Emha Ainun Nadjib di situ. Ternyata nama padang bulan sudah
begitu generiknya.
Inilah pengajian yang tema pokok bahasannya adalah rumput
laut. Bukan ditinjau dari segi agama, tapi bagaimana rumput laut
menyejahterakan seluruh masyarakat Desa Randu Sanga yang dulu dikenal sebagai
desa nelayan yang miskin.
Ada dua jenis rumput laut. Yang di Brebes ini,
sebagaimana juga yang ada di daerah-daerah sebelahnya seperti Cirebon dan
Indramayu, rumput lautnya disebut gracilaria. Bentuknya lebih kecil seperti rumput jepang dan
kegunaan utamanya untuk agar-agar. Pasarnya sangat luas. Berapa pun akan
terserap.
Dulu para petani tambak di Randu Sanga hanya mengandalkan
hidupnya dari memelihara bandeng dan udang. Panennya hanya enam bulan
sekali. Kalau penyakit ikan lagi datang, sangat menderita. Tidak bisa panen.
Untung, ada orang bernama Thabrani di Randu Sanga.
Pendidikannya S-2 dan kini mengejar gelar doktor. Dia mendapat ilmu bahwa
tambak tersebut bisa ditumpang sari dengan rumput laut jenis gracilaria. Dia sendiri, dari warisan orang tuanya, memiliki 15 ha
tambak.
Saat itu Thabrani baru terkena musibah. Udangnya terkena
penyakit dan panennya gagal total. Mulailah dia tergerak untuk memikirkan
rumput laut. Dia tebar benih rumput laut. Hidup. Berkembang. Seluruh
tambaknya penuh dengan rumput laut.
Hasilnya di luar dugaannya: Berkat rumput laut itu,
bandengnya lebih cepat besar dan tidak terkena penyakit. Demikian juga
udangnya. Dalam waktu yang sama bandengnya bisa tumbuh dua kali lipat lebih
cepat.
Rumput lautnya sendiri bisa dipanen tiap dua bulan.
Dijemur. Sampai mencapai tingkat kekeringan 16 persen. Dijual. Banyak
pabrik agar-agar yang membelinya.
Dengan demikian, Thabrani dapat uang tiap dua bulan.
Tidak lagi hanya punya uang tiap enam bulan. Dengan tambak yang sama,
hasilnya menjadi berlipat.
Dua tahun lamanya Thabrani sendirian. Tidak ada tetangga
yang mau mengikuti jejaknya. Padahal, Thabrani sudah berusaha merayu
mereka. Kebiasaan turun-temurun memang sulit diubah.
Tapi, Thabrani tipe pejuang yang gigih. Dia tidak
henti-henti mengajak petani lain mengikuti jejaknya. Bahkan, untuk
meyakinkan mereka, Thabrani menjamin akan membeli rumput laut yang mereka
hasilkan. Jaminan seperti itu yang kelak, di tahun 2012, membuat dia
dikenal sebagai pengepul rumput laut terbesar.
Setelah ada jaminan itu, barulah satu per satu
tetangganya tertarik. Kini, lima tahun kemudian, seluruh tambak di Randu
Sanga sudah menjadi tambak three in one: bandeng, udang, dan rumput laut. "Bahkan, hasil
rumput lautnya lebih besar dari hasil bandeng ditambah udang
sekalipun," ujar Thabrani.
Thabrani melangkah lebih jauh. Tiga tahun lalu dia
mendirikan sekolah menengah kejuruan rumput laut. Dia ingin penduduk
desanya menanam rumput laut dengan ilmu pengetahuan. Malam Minggu kemarin
itu saya diajak Thabrani menghadiri pengajian tersebut. Tapi, sebenarnya
sayalah yang harus belajar di situ. Apalagi, Thabrani tidak berkeberatan
kalau semangatnya itu ditularkan juga ke petani-petani tambak di seluruh pantai
utara Jawa. Di pusat-pusat nelayan yang miskin.
Thabrani senang sekali melihat warganya kian sejahtera.
Dia pun membuat gerobak pengangkut rumput laut yang bisa dijalankan di
sela-sela tambak. Malam itu dia berbagi gerobak ke banyak petambak di situ
-gerobak yang dia beri nama DI 99. Bahkan, saking senangnya, malam itu
Thabrani dalam fungsinya sebagai pengumpul rumput laut mengumumkan
kepada warganya akan meningkatkan harga rumput laut dari Rp 4.000 per kg
menjadi Rp 4.500 per kg.
Tentu itulah pengajian yang paling menyenangkan warga
Randu Sanga. Ilmu-ilmu rumput laut dibeberkan malam itu. Apalagi, ada bonus
kenaikan harga. Untung, ada Ki Dalang Enthus Susmono yang datang bersama
saya. Di akhir acara Enthus memberikan tausiah agama. Enthus ternyata sangat
piawai, tidak hanya dalam memainkan wayang, tapi juga sebagai pendakwah.
Kabar baik rupanya tidak hanya untuk petani rumput laut
jenis gracilaria. Petani rumput laut jenis cottonii pun sebaiknya juga membaca kabar ini: Hamzah,
anak muda dari Lawang, Jawa Timur, sudah berhasil mendirikan pabrik
pengolah rumput laut cottonii menjadi karagenan. Yakni, tepung
rumput laut yang kegunaannya bukan untuk agar-agar, tapi untuk kosmetik,
bahan odol, kapsul obat, kue, bakso, dan seterusnya.
Kue-kue Jepang yang begitu lembut dan tidak bisa mengeras
itu menggunakan tepung karagenan. Odol yang menggunakan karagenan tidak
akan bisa kering meskipun tutupnya terbuka. Bakso yang menggunakan tepung
karagenan memiliki kekenyalan yang sempurna.
Selama ini Indonesia hanya bisa mengekspor rumput laut
jenis cottonii itu. Lalu, Indonesia mengimpor
karagenan besar-besaran. Kenyataan itulah yang menggundahgulanakan pikiran
Hamzah. Sebagai sarjana teknik mesin yang tidak henti-henti berpikir,
Hamzah bertekad menciptakan mesin yang bisa mengubah rumput laut menjadi
karagenan. Pabrik pembuat karagenan itu menggunakan banyak prinsip: kimia,
fisika, mekanis, hidraulis, dan elektronik.
Setahun yang lalu, ketika saya menemui Hamzah, dia belum
yakin apakah penemuannya akan berhasil. Tapi, saya terus mendorongnya untuk
tidak menyerah. Dia minta waktu satu tahun untuk membuktikannya.
Sebenarnya, seperti biasa, saya tidak sabar. Tapi, saya memaklumi tingkat
kesulitannya. Apalagi, itu mesin yang terkait dengan makanan. Harus
memenuhi kriteria dan standar yang lebih tinggi. Dan itu mesin pertama yang
dilahirkan di Indonesia oleh anak muda Indonesia.
Saya terus berkomunikasi dengan Hamzah. Saya terus
memonitor perkembangannya. Akhirnya saya dapat kabar baik. Minggu lalu uji
coba pabriknya di Pasuruan dan berhasil. Benar-benar bisa menghasilkan
karagenan. Dengan mutu yang tidak kalah dengan karagenan impor. Bahkan
sedikit lebih baik.
Pabriknya memang kecil. Hanya bisa mengolah rumput laut
jenis cottonii sebanyak 5 ton sehari. Tapi, 5 ton adalah
jumlah yang sudah bisa dipakai untuk menampung hasil rumput laut satu
kabupaten. Misalnya Kabupaten Bulukumba di Sulsel.
Rumput laut jenis cottonii, sebagaimana
rumput laut di Brebes, memang pilihan yang tepat untuk meningkatkan
pendapatan para nelayan yang umumnya miskin. Lebih-lebih kalau lagi musim
tertentu, ketika mereka tidak bisa melaut. Bank BRI kini telah membina
nelayan rumput laut cottonii di Bulukumba, tapi ya baru sebatas untuk
dijual ke pedagang.
Kini, dengan penemuan teknologi oleh putra bangsa kita
yang bernama Hamzah itu, rumput laut kian mendapat muara di hilirnya.
Pembinaan untuk nelayan rumput laut kini bisa lebih dimasalkan, termasuk
oleh BUMN. Inilah senjata untuk mengentas kemiskinan di wilayah nelayan. Di
samping mendapat hasil dari ikan, dalam waktu yang bersamaan nelayan juga
mendapat uang dari rumput laut.
Sebagaimana yang saya lihat di Bulukumba, para nelayan di
sana mulai bersemangat menanam rumput laut cottonii. Memang lebih
rumit jika dibandingkan dengan rumput laut jenis gracilaria. Tapi, laut-laut tertentu memang hanya cocok untuk
rumput laut tertentu. "Di sini, kalau seorang nelayan bisa menanam
rumput laut 2.000 bentangan, sudah cukup untuk hidup dan menyekolahkan
anak," ujar seorang nelayan di Bulukumba.
Begitu banyak jalan untuk meningkatkan kehidupan. Mulai banyak
pilihan yang tersedia di depan kita. Tinggal kapan kita harus terus kerja, kerja, kerja!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar