Catatan
antikorupsi partai ini sebenarnya tidak diragukan. Dalam periode waktu
empat belas tahun reformasi, yang telah melahirkan banyak sekali koruptor,
partai ini relatif papan bawah untuk urusan korupsi.
Di awal
kiprahnya, partai ini menunjukkan komitmen antikorupsi yang mengundang
decak kagum. Komitmen antikorupsi tercermin, misalnya, dari penyelamatan
uang negara sebesar Rp739,6 miliar oleh anggotanya yang duduk dalam badan
legislatif, baik pada level nasional maupun lokal selama kurun waktu empat
tahun (1999–2003). Pengembalian uang kadeudeuh di Jawa Barat yang hingga
ratusan juta itu termasuk di dalamnya.
Dalam buku
“Mereka Melawan Korupsi”, terlihat bagaimana kader-kader partai ini piawai
melawan godaan dan jebakan korupsi.Tak tanggung-tanggung, kader-kader mereka
di DPRD kerap menjadi musuh bersama karena menolak untuk menaikkan
tunjangan anggota dewan atau berbagai bentuk uang siluman.Dalam beberapa
kasus, mereka dan keluarga diteror karena enggan untuk terbeli, setelah
tentu saja uang dengan jumlah besar dan rayuan lainnya coba disodorkan.
Padahal, mereka
pun bukan sosok-sosok yang sehat walafiatsecara finansial. Sepanjang
pengetahuan saya sebagai peneliti partai politik, masih jarang partai yang cukup
besarnya komitmennya terhadap antikorupsi di era reformasi seperti partai
ini. Hal ini diakui oleh banyak kalangan, bahkan oleh mereka yang
menentangnya sekalipun. Cukup banyak data dari pelbagai lembaga terhormat
yang memperlihatkan bahwa partai ini bukanlah pemain utama dalam pagelaran
korupsi di negeri ini.
Ibarat
film, mereka hanya figuran yang berlalu lalang sekelebatan saja. Saya tentu
saja tidak mengatakan dengan naifnya partai ini bersih, sebagaimana slogan
yang pernah diusung oleh partai ini “bersih dan peduli”. Namun, partai ini
jelas bukanlah partai yang membuat kita berkata “ah itu mah biasa”,
setidaknya dalam hati, manakala mendengar kabar korupsi yang dilakukan oleh
seorang anggota partai.
Dengan
demikian, amat pantas jika kemudian partai ini, yang saya tebak anda pasti
tahu, kemudian berbangga diri menyatakan sebagai partai yang relatif bersih
dari soal korupsi. Tidak itu saja, selain loyalitas kader dan kegiatan
kaderisasi yang jauh di atas rata-rata, begitu pula kepeduliannya yang
cukup baik, kebersihan dari anggota-anggotanya menjadi modal utama partai
untuk memenangkan hati para pemilih.
Stop Mengelak
Namun demikian,
seiring perjalanan waktu, modal dasar ini nampak mulai terguncang. Hal ini
sebenarnya lebih karena efek dari situasi internal ketimbang hal-hal lain.
Terutama pascapemilu kedua (2004), partai ini secara internal tampak
mengalami “perkembangan”, menuju “kenormalan”. Mulai di saat itulah,
perilaku yang menunjukkan “karakter umum partai-partai” mulai hadir dan
cukup menggejala, di partai yang tadinya terkenal dengan kontrol internal
yang ketat.
Pascapemilu
2004, partai ini tidak saja kelimpungan dalam mengontrol kader-kader kritis
yang mulai lantang bersuara dan bersikap, dipicu terutama oleh
ketidakpuasan perilaku kurang pas para elite, namun pula dalam mengontrol
perilaku elitenya. Seiring dengan pengawasan partai yang semakin hambar dan
tidak efektif, sebagian elite partai pun menjadi lebih leluasa untuk
melakukan beberapa aktivitas atau manuver yang sebelumnya dianggap “amat tidak
patut”.
Efeknya mulai
terlihat kemudian ketika satu demi satu sebagian elite terbukti menunjukkan
perilaku yang berlawanan terhadap jati diri dan sikap partainya. Puncaknya
terjadi di akhir bulan Januari lalu.Tidak tanggung-tanggung, presiden
partai ini pun terjerat dalam kasus penyuapan. Dilihat dari kronologi
internal, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai yang saya maksud,
seharusnya dapat bersikap dapat arif dan objektif.
PKS tidak perlu
reaksioner dengan menyalahkan berbagai pihak, apalagi melontarkan berbagai
teori tentang konspirasi.Terlepas dari “pengecualian yang amat” dari
manuver KPK dalam meringkus Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), yang juga berpotensi
menguatkan kecurigaan dan cibiran pada institusi ini, namun menyalahkan
semata strategi KPK menjerat presiden partai tentu bukan hal yang bijak.
Prinsipnya tetap tidak ada asap tanpa api.
Akan merupakan
kesia-siaan bagi KPK untuk berurusan dengan orang yang memang sama sekali
tidak membawa bara di tangannya. Dengan kasus ini, PKS sungguh diminta
untuk introspeksi diri dan meluaskan kewaspadaannya terhadap korupsi di
level kader dan partainya sendiri, bahkan pada kader- kader terbaiknya.
Dengan terus
mengelak, tidak saja PKS akan membingungkan kader dan masyarakat, serta
pada gilirannya turut menyulitkan proses pemberantasan korupsi di masa-masa
selanjutnya,namun juga akan berpotensi memunculkan sikap penghormatan yang
tidak pada tempatnya,yang kerap disertai pembelaan mati-matian yang tidak
perlu terhadap elite yang tidak pantas mendapatkannya.
Lanjutkan Sikap Elegan
Langkah terbaik
yang dapat dilakukan oleh partai saat ini memang telah dilakukan.Inilah
sesungguhnya momentum untuk mengembalikan partai pada jati dirinya. Juga
momentum untuk melakukan bersih-bersih partai kepada siapa saja yang
berpotensi sebagai benalu bagi partai. Sungguh inilah peluang besar untuk
melakukan internal revolution yang selama ini sulit dilakukan karena belum
ada bukti gamblang untuk mengeksekusinya.
Sikap PKS yang
melakukan pergantian posisi presidennya secara cepat, hanya dua hari saja, menunjukkan
keseriusan partai ini dalam merespons kasus korupsi yang menjerat
presidennya secara elegan. Langkah elegan inilah yang sekali lagi
membedakan partai ini dengan yang lainnya. Mantan anggota DPR dari PKB, AS
Hikam, misalnya, berkomentar jika saja kasus serupa mengenai partai lain,
terutama yang masih mengidap penyakit kultus individu, ceritanya akan lain.
Namun, PKS
adalah partai yang kader-kadernya dituntut untuk setia pada tradisi dan
sistem secara bersamaan, bukan kepada perorangan. Bekerjanya sistem, dan
bukan kepentingan individu, itu dipertontonkan kepada publik saat Anis
Matta dengan mudahnya menggantikan LHI. Memang langkah elegan ini bagi
sebagian kalangan dianggap sia-sia. Bagi sebagian kalangan, pengangkatan
Anis adalah sebuah blunder.
Mereka melihat
Hidayat Nur Wahid atau Surahman Hidayat sebagai sosok yang lebih pas
menggantikan LHI. Hal ini karena kesan perubahan akan lebih terasa jika
figur-figur kalem dan terlihat sederhana itu ditonjolkan. Pandangan itu
mungkin tidak sepenuhnya salah. Namun, pidato apik Anis beberapa waktu lalu
cukup memberikan efek positif bagi internal partai. Dan, itulah yang saat
ini sepertinya jauh dibutuhkan oleh partai yang mengandalkan kekuatan
internal atau kader-kadernya ini, ketimbang pencitraan eksternal.
Terlepas dari
siapa yang patut memimpin partai ini, PKS telah menunjukkan pada khalayak
bahwa jabatan bukan segalanya dalam partai ini; dan semuanya bekerja untuk partai,
bukan sebaliknya. Dengan kedua hal ini, tidak mengherankan jika akhirnya
seorang presiden partai sekalipun—jika dirasa merugikan partai—bisa dengan
mudah ditendang. Bisa jadi, di sinilah penguatan modal yang telah
terguncang dahsyat itu berawal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar