Rabu, 06 Februari 2013

Saat Elite Politik Terjerat Korupsi


Saat Elite Politik Terjerat Korupsi
Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SUARA KARYA, 05 Februari 2013


Penetapan tersangkan Presiden (mantan) Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq terkait dugaan suap dalam proyek inpor daging sapi, membuat publik kaget. Betapa tidak, para kader PKS selalu menyebut partainya adalah partai bersih, jujur, dan profesional. Tidak hanya itu, petinggi PKS malah menuding KPK melakukan konspirasi untuk menghancurkan PKS pada pemilihan umum (pemilu) 2014.

Mestinya petinggi dan kader PKS menjadikan kasus itu sebagai momentum untuk melakukan bersih-bersih, introspeksi diri, dan membantu KPK agar secepatnya terungkap dengan jelas.

Tidak cukup hanya dengan "tobat nasional" seperti digagas Anis Matta sesaat pengukuhan dirinya sebagai Presiden PKS yang baru menggantikan Luthfi Hasan Idhaaq (1/2/2013), tetapi melakukan pembersihan internal terhadap kader yang kemungkinan sudah terinpeksi virus korupsi.

Pengingkaran terhadap fakta yang ditemukan KPK dengan melempar isu konspirasi boleh jadi hanya akan kontraproduktif. Malah publik bisa menuding, partai berasas Islam bisa juga melempar isu yang belum tentu benar. Sebab selama ini, begitu banyak kasus dugaan korupsi (suap) yang ditangkap tangan KPK, tidak satupun yang lolos dari hukuman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Lebih dari itu, KPK selaku institusi hukum yang sedang naik daun dan dipercaya publik secara luas, kecil kemungkinan mengkhianati kepercayaan dan citra baik dari publik.

Melihat realitas selama ini, hampir semua kasus korupsi selalu terkait dengan kepentingan politik lantaran para pelakunya lebih banyak dari elit politik dan kekuasaan. Mereka memiliki kewenangan parlemen dan eksekutif sehingga sangat rentan menyalahgunakan kewenangan yang diberikan. Politik dan korupsi laksana dua sisi mata uang yang tidak dipisahkan, sebab hanya orang-orang yang memiliki kekuasaan yang berpotesi melakukan penyelewengan keuangan negara.

Sebab itu, KPK tidak boleh terjebak oleh kepentingan politik, kasus yang melibatkan elit politik tidak boleh menghambat konsistensi, integritas, dan keberanian pimpinan KPK.
Tidak ada urusan penegakan hukum dengan kepentingan politik. Jika pun kebetulan ada elit politik atau kekuasaan yang ditangkap dan diproses merasa dibunuh karakternya - seperti keluhan selama ini jika dijerat korupsi - itu memang sudah risikonya. KPK, polisi, dan kejaksaan harus berani memisahkan penegakan hukum dengan kepentingan politik. KPK harus melawan pandangan Talcot Parson dalam teori Sibernetik-nya bahwa hukum "tidak otonom" lantaran diintervensi oleh kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya hukum masyarakat.

Jebakan elit politik tergoda rayuan korupsi karena faktor logistik atau dana untuk kepentingan politiknya seperti saat akan menghadapi pemilihan umum. Menurut Indra J. Piliang dalam bukunya, "Mengalir Menata Ombak: Memoar Kritis Tiga Kekalahan", bahwa dana adalah darah dalam urat nadi politik. Kalimat ini menunjukkan bahwa politik butuh dana besar yang kadang lebih banyak menjerumuskan lantaran diperoleh secara melawan hukum.

Mengalihkan persoalan dengan menuding KPK melakukan konspirasi politik yang tidak jelas kebenarannya, bisa membuat perilaku korupsi semakin masif di kalangan elit politik. Seolah-olah tindakan korupsi bukan lagi perbuatan hina dan jahat, apalagi menuding penegak hukum melakukan konspirasi tanpa bukti.

Boleh jadi memang KPK melakukan konspirasi, tetapi konspirasi yang dilakukannya dalam konteks penegakan hukum. KPK tentu melakukan penyadapan, penelitian, serta mengumpulkan bahan dan keterangan untuk menemukan bukti permulaan yang cukup. Itulah model konspirasi dalam arti positif untuk kepentingan pembuktian yang dilakukan aparat penegak hukum.

Menghambat korupsi yang semakin masif, butuh peran civil society (masyarakat sipil). Krisis kewibawaan negara akhir-akhir ini ditandai dengan makin banyaknya elit politik (anggota DPR-DPRD) dan penguasa seperti menteri, gubernur, bupati/walikota, dan pejabat di bawahnya yang terjerat korupsi. Sebab itu, 2013 yang disebut tahun politik dan para elit akan saling menyandera dan membongkar korupsinya, sebetulnya sesuatu yang baik bagi penegakan hukum.

KPK, kepolisian, dan kejaksaan tinggal memilah dan memilih yang mana lebih dahulu ditangkap sampai semuanya meringkuk dalam penjara. Eksistensi civil society seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa, dan organisasi kemasyarakatan lainnya harus lebih berani melaporkan dan menunjuk hidung para pengemplang uang rakyat. Masyarakat sipil harus bergerak melawan kemapanan yang diperoleh dari mencuri uang rakyat. Harus menggalang jaringan luas, berani melapor dan menyampaikan pendapat, dan bersinergi dengan media massa.

Jika peran civil society juga melemah bahkan masif, dipastikan perang terhadap korupsi tidak akan pernah kita menangkan. Jika berani main mata dan berkolaborasi dengan elit politik yang korup, negara hukum tidak akan berkibar meski diperkuat lembaga sehebat KPK dan MK.

Sebab itu, kritikan petinggi PKS juga perlu diapresiasi, bahwa KPK tidak boleh diskriminasi. KPK misalnya, belum menahan Andi Alifian Mallarangeng, belum menetapkan tersangka Anas Urbaningrum yang juga diduga kuat terlibat kasus proyek Hambalang, serta kasus Bank Century yang masih kabur.

Secara moral, tuntutan petinggi PKS tidak bisa dinafikan dan harus menjadi perhatian serius bagi KPK dalam mengelola manajemen penanganan perkara. PKS hanya ingin diperlakukan secara egaliter, sebab konsep itu merupakan jalan untuk membumikan rasa keadilan (keadilan substansial) dengan cara memanusiakan manusia dalam penegakan hukum. Perlakuan yang sama dan egalitis wajib menjadi milik semua orang dan semua golongan sebagai roh konstruksi negara hukum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar