Penetapan tersangkan Presiden
(mantan) Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq terkait
dugaan suap dalam proyek inpor daging sapi, membuat publik kaget. Betapa
tidak, para kader PKS selalu menyebut partainya adalah partai bersih,
jujur, dan profesional. Tidak hanya itu, petinggi PKS malah menuding KPK
melakukan konspirasi untuk menghancurkan PKS pada pemilihan umum (pemilu)
2014.
Mestinya petinggi dan kader
PKS menjadikan kasus itu sebagai momentum untuk melakukan bersih-bersih,
introspeksi diri, dan membantu KPK agar secepatnya terungkap dengan jelas.
Tidak cukup hanya dengan
"tobat nasional" seperti digagas Anis Matta sesaat pengukuhan
dirinya sebagai Presiden PKS yang baru menggantikan Luthfi Hasan Idhaaq
(1/2/2013), tetapi melakukan pembersihan internal terhadap kader yang
kemungkinan sudah terinpeksi virus korupsi.
Pengingkaran terhadap fakta
yang ditemukan KPK dengan melempar isu konspirasi boleh jadi hanya akan
kontraproduktif. Malah publik bisa menuding, partai berasas Islam bisa juga
melempar isu yang belum tentu benar. Sebab selama ini, begitu banyak kasus
dugaan korupsi (suap) yang ditangkap tangan KPK, tidak satupun yang lolos
dari hukuman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Lebih dari itu, KPK
selaku institusi hukum yang sedang naik daun dan dipercaya publik secara
luas, kecil kemungkinan mengkhianati kepercayaan dan citra baik dari
publik.
Melihat realitas selama ini,
hampir semua kasus korupsi selalu terkait dengan kepentingan politik
lantaran para pelakunya lebih banyak dari elit politik dan kekuasaan.
Mereka memiliki kewenangan parlemen dan eksekutif sehingga sangat rentan
menyalahgunakan kewenangan yang diberikan. Politik dan korupsi laksana dua
sisi mata uang yang tidak dipisahkan, sebab hanya orang-orang yang memiliki
kekuasaan yang berpotesi melakukan penyelewengan keuangan negara.
Sebab itu, KPK tidak boleh
terjebak oleh kepentingan politik, kasus yang melibatkan elit politik tidak
boleh menghambat konsistensi, integritas, dan keberanian pimpinan KPK.
Tidak ada urusan penegakan
hukum dengan kepentingan politik. Jika pun kebetulan ada elit politik atau
kekuasaan yang ditangkap dan diproses merasa dibunuh karakternya - seperti
keluhan selama ini jika dijerat korupsi - itu memang sudah risikonya. KPK,
polisi, dan kejaksaan harus berani memisahkan penegakan hukum dengan
kepentingan politik. KPK harus melawan pandangan Talcot Parson dalam teori
Sibernetik-nya bahwa hukum "tidak otonom" lantaran diintervensi
oleh kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya hukum masyarakat.
Jebakan elit politik tergoda
rayuan korupsi karena faktor logistik atau dana untuk kepentingan
politiknya seperti saat akan menghadapi pemilihan umum. Menurut Indra J.
Piliang dalam bukunya, "Mengalir Menata Ombak: Memoar Kritis Tiga
Kekalahan", bahwa dana adalah darah dalam urat nadi politik. Kalimat
ini menunjukkan bahwa politik butuh dana besar yang kadang lebih banyak
menjerumuskan lantaran diperoleh secara melawan hukum.
Mengalihkan persoalan dengan
menuding KPK melakukan konspirasi politik yang tidak jelas kebenarannya,
bisa membuat perilaku korupsi semakin masif di kalangan elit politik.
Seolah-olah tindakan korupsi bukan lagi perbuatan hina dan jahat, apalagi
menuding penegak hukum melakukan konspirasi tanpa bukti.
Boleh jadi memang KPK
melakukan konspirasi, tetapi konspirasi yang dilakukannya dalam konteks
penegakan hukum. KPK tentu melakukan penyadapan, penelitian, serta
mengumpulkan bahan dan keterangan untuk menemukan bukti permulaan yang
cukup. Itulah model konspirasi dalam arti positif untuk kepentingan
pembuktian yang dilakukan aparat penegak hukum.
Menghambat korupsi yang
semakin masif, butuh peran civil society (masyarakat sipil). Krisis
kewibawaan negara akhir-akhir ini ditandai dengan makin banyaknya elit
politik (anggota DPR-DPRD) dan penguasa seperti menteri, gubernur,
bupati/walikota, dan pejabat di bawahnya yang terjerat korupsi. Sebab itu,
2013 yang disebut tahun politik dan para elit akan saling menyandera dan
membongkar korupsinya, sebetulnya sesuatu yang baik bagi penegakan hukum.
KPK, kepolisian, dan kejaksaan
tinggal memilah dan memilih yang mana lebih dahulu ditangkap sampai
semuanya meringkuk dalam penjara. Eksistensi civil society seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
mahasiswa, dan organisasi kemasyarakatan lainnya harus lebih berani
melaporkan dan menunjuk hidung para pengemplang uang rakyat. Masyarakat
sipil harus bergerak melawan kemapanan yang diperoleh dari mencuri uang
rakyat. Harus menggalang jaringan luas, berani melapor dan menyampaikan
pendapat, dan bersinergi dengan media massa.
Jika peran civil society juga melemah bahkan
masif, dipastikan perang terhadap korupsi tidak akan pernah kita menangkan.
Jika berani main mata dan berkolaborasi dengan elit politik yang korup,
negara hukum tidak akan berkibar meski diperkuat lembaga sehebat KPK dan
MK.
Sebab itu, kritikan petinggi
PKS juga perlu diapresiasi, bahwa KPK tidak boleh diskriminasi. KPK
misalnya, belum menahan Andi Alifian Mallarangeng, belum menetapkan
tersangka Anas Urbaningrum yang juga diduga kuat terlibat kasus proyek
Hambalang, serta kasus Bank Century yang masih kabur.
Secara moral, tuntutan
petinggi PKS tidak bisa dinafikan dan harus menjadi perhatian serius bagi
KPK dalam mengelola manajemen penanganan perkara. PKS hanya ingin
diperlakukan secara egaliter, sebab konsep itu merupakan jalan untuk
membumikan rasa keadilan (keadilan substansial) dengan cara memanusiakan
manusia dalam penegakan hukum. Perlakuan yang sama dan egalitis wajib
menjadi milik semua orang dan semua golongan sebagai roh konstruksi negara
hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar