Berdasarkan laporan The World Justice Project tahun
2012, Indonesia menempati peringkat terendah di Asia Pasifik (14/14) dan
urutan ke-86 dari 97 negara di dunia, sehubungan dengan ketidakhadiran
korupsi dalam pemerintahan (absence
of corruption). Kesejahteraan masyarakat yang kurang, minimnya gaji dan
pendapatan PNS, serta mentalitas 'ingin cepat kaya tanpa kerja keras'
menjadi motif utama berkembangnya tindak pidana korupsi.
Upaya konkrit KPK dalam
pemberantasan korupsi diharapkan mampu menciptakan efek jera bagi para
koruptor. Tetapi, harus diwaspadai bahwa penegakan hukum tindak pidana
korupsi tidak malah mencerdikkan para koruptor untuk menyiasati
teknik-teknik korupsi agar lolos dari jerat hukum. Secara umum, modus
tindak pidana korupsi terdiri dari tiga jenis.
Pertama, penyalahgunaan
anggaran. Hal ini terkait dengan penyelewengan wewenang di mana banyak
pejabat publik di daerah, dalam mengelola APBD seolah-olah dana pribadi.
Karena mudahnya pembuktian atas penyelewengan ini, maka modus
penyalahgunaan anggaran telah banyak ditinggalkan.
Kedua, penggelembungan (mark-up) anggaran terhadap
proyek-proyek pengadaan yang menggunakan anggaran negara. Hal ini tentu
sangat berisiko mengingat standar dan proses pelelangan yang semakin baik.
Hadirnya layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) atau yang dikenal
dengan e-procurement di era
keterbukaan informasi publik saat ini terbukti mampu mempersempit ruang
untuk melakukan kerja sama terselubung. Kalapun lolos dalam proses
pelelangan, dalam banyak kasus konspirasi terbongkar pada saat pemeriksaan
anggaran di mana pengadaan barang tidak sesuai dengan nilai anggaran yang
dialokasikan.
Ketiga, pemberian perizinan
dan pungutan-pungutan liar yang dikenakan kepada pihak swasta atau
pengusaha. Karena tidak hadirnya anggaran negara dalam praktik korupsi ini,
sistem yang mendukung pembuktian terbilang minim. Tindak korupsi di sini
lebih kepada penyalahgunaan wewenang, yang pada banyak kasus dibuktikan
sebagai ekses dari kebijakan otonomi daerah (otda).
Pelaksanaan otda di era
reformasi ini bak 'pedang bermata dua'. Di satu sisi, otda diterapkan
dengan harapan wilayah-wilayah di Indonesia memiliki otonomi untuk
mengembangkan ekonomi daerahnya demi kesejahteraan penduduk. Di sisi lain,
otda ternyata berkembang menjadi pundi-pundi uang bagi koruptor. Kekuasaan
yang sangat besar membuat orang berlomba-lomba mengejar posisi strategis
untuk menjadi kepala daerah. Akibatnya, banyak di antara kepala daerah
tidak kompeten dan tidak bertanggung jawab pada publik.
Biaya politik untuk pemenangan pemilukada tentu saja berat
untuk ditanggung secara individual. Konsekuensinya, hal ini menjadi excess luggage bagi kepala daerah
terpilih. Cara singkat untuk membayar hutang politik ini adalah dengan
menyalahgunakan wewenang dan mandat politiknya. Dalam banyak kasus,
pengusaha dijadikan target pemerasan. Posisi pengusaha berada pada situasi
yang serba salah. Di satu sisi pengusaha didorong untuk memajukan iklim
investasi namun di sisi lain terperangkap oleh sistem yang tidak mendukung.
Ambil contoh, kasus hukum yang
menimpa Siti Hartati Murdaya, pengusaha yang membuka lahan kelapa sawit di
Kabupaten Buol sejak pertengahan 1990-an. Konon, ketika terjadi tindakan
anarki di wilayah tersebut pada bulan September 2010 dan Mei 2012 yang
berdampak pada terhentinya operasi perkebunan sawit, kerusuhan hanya mempan
diatasi setelah perusahaan membayar pungli pada oknum setempat yang
mengklaim mampu mengendalikan warga. Pungli terpaksa dipenuhi karena
perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar jika terhenti operasinya.
Namun, hal itu dianggap
sebagai penyuapan, padahal kemungkinan adanya praktik pemerasan bisa saja
terjadi. Dalam hal ini, negara justru tidak bisa menjaga keamanan wilayahnya
dan pebisnis dijadikan sapi perah oleh kepala daerah. Situasi dilematis
seperti ini bisa menjadi ancaman bagi iklim usaha pada umumnya. Tentunya
pengusaha bisa takut berinvestasi ke daerah terpencil karena tidak adanya
ketidakpastian hukum.
Contoh lainnya, kasus-kasus
tuduhan penyalahgunaan pita frekuensi 2.1 GHz untuk penyelenggaraan
Internet 3G oleh PT Indosat Tbk dan anak usaha PT Indosat Mega Media (IM2).
Dalam kasus ini, gugatan yang diajukan tersebut tidak memiliki rasional
yang tepat. Kerja sama yang berlangsung antara Indosat dan IM2 tidak
melanggar aturan yang ada dan lazim diterapkan di industri internet.
Tercatat lebih dari 280 penyelenggara jasa internet (ISP) melakukan kerja
sama serupa dengan Indosat-IM2.
Ironisnya, pemerintah (Kemenkominfo)
dan industri telah menyuarakan fakta yang ada, jauh sebelum kasus ini
ditangani oleh Pengadilan Tipikor. Bahkan sepuluh asosiasi yang terkait
dengan industri telekomunikasi dan informatika di Indonesia telah mengimbau
Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengkaji ulang kasus IM2.
Sepertinya wibawa peradilan di
Indonesia sedang diuji oleh beberapa kasus yang memiliki tema serupa:
kriminalisasi swasta dan pemberantasan korupsi. Disharmonisasi antara
semangat pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang melibatkan
pihak swasta menciptakan ketidakadilan hukum dan memposisikan investor pada
dilema buah simalakama. Dalam hal ini diperlukan kejelian dan kebijaksanaan
sistem peradilan, khususnya Tipikor.
Persyaratan yuridis dan due process of law sebagai wujud
kewenangan penegakan hukum seharusnya menjadi substansi proses persidangan.
Hakim semestinya tidak memiliki tekanan dalam membuat keputusan
seadil-adilnya.
Dalam kasus pihak swasta
menjadi korban atau terkriminalisasi akibat sistem, misalnya, jerat hukuman
perlu dipertimbangkan secara matang. Hal ini demi ketegasan dan tegaknya
keadilan di ranah tindak pidana korupsi, yang bisa berpengaruh terhadap
membaiknya iklim investasi di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar