SIAPA tidak prihatin mengikuti
berita bayi Dera Nur Anggraini. Sampai ada ungkapan, orang miskin dilarang
sakit. Derita mereka bersambung tak kenal reda. Selalu saja ada yang
dipersalahkan: kalau bukan rumah sakit yang kurang membantu, sistem jaminan
kesehatan yang tidak memadai, atau elite pemerintahan yang tidak peduli. Semua
Serbasalah. Bagaimana asal
mulanya hingga timbul salah kaprah itu?
Bila melihat banyaknya anak
telantar menjadi anak jalanan, dengan tidak jelas apa peran orangtua
mereka. Kemudian setelah agak dewasa mereka menjadi pak ogah dan petugas
parkir liar atau semacamnya yang dianggap menjadi bibit-bibit problem
sosial, dan sekarang sedang menjadi sasaran pembersihan yang berwajib.
Sungguh memilukan nasib sebagian anggota masyarakat kita itu. Dari bayi
sampai menjelang dewasa mereka didera nasib tak berketentuan. Siapa
bertanggung jawab; orangtua, masyarakat, atau pemerintah?
Sementara itu, akhir akhir ini
kepada masyarakat dipertontonkan bagaimana sibuknya kalangan elite bersaing
berburu kekuasaan di tahun panas menjelang 2014. Untuk siapa kemerdekaan yang
diperjuangkan founding fathers?
Apa tujuannya kalau bukan untuk kesejahteraan bersama? Kita telah berbelok
jauh dari jalan lurus menuju yang diidamkan bersama. Kita tak kunjung bisa
menjawab apa alasannya.
Ujung Keputusasaan
Ada novel Barat yang berkisah
tentang sebut saja `Rumah Pisah', semacam rumah yang tersedia bagi siapa
pun yang ingin meninggalkan dunia fana yang membosankan. Biasanya yang ke
sana bukan orang-orang yang kekurangan, melainkan sebaliknya, mereka dari
kalangan menengah ke atas yang merasa sudah mendapat cukup dari kehidupan
ini. Mereka ingin beristirahat dan mendekat kepada sang pencipta. Di `Rumah
Pisah' itu mereka akan mendapatkan fasilitas untuk `pergi' dengan nyaman,
tanpa penderitaan; malahan dengan menikmati saat-saat terakhir hidupnya
dalam suasana menyenangkan, seperti orang pergi tidur sambil menyaksikan
tontonan yang menghibur.
Kedengaran sadis? Tidak juga. Malahan
kedengarannya praktis, pragmatis, dan menghibur. Jangan kita bicara soal
agama dan ajarannya sebab itu tentunya melanggar aturan agama. Kita bicara
soal berapa jauh usaha manusia untuk menghindari tanggung jawab kehidupan
yang dirasanya sudah terlalu berat. Seandainya di Indonesia tersedia banyak
`Rumah Pisah', dapat dibayangkan betapa banyak orang yang akan berduyunduyun
datang. `Rumah Pisah' akan memudahkan para ibu yang ingin meregang nyawa
dirinya dan anak-anaknya karena tidak tahan derita; kisah yang berulang
terjadi di waktu lalu.
Kalau saja manusia bisa rapi merencanakan
hidupnya, mungkin tidak harus terjadi banyak penderitaan. Misalnya, mengapa
bayi Dera mengalami nasib sialnya? Bisa jadi, mereka yang kekurangan tidak
terlalu memikirkan bagaimana nasib anak-anak yang mereka lahirkan: apakah
mereka nantinya sanggup membesarkan anak mereka dan memberikan pendidikan
memadai? Besar kemung kinan hal-hal macam itu tidak terpikirkan. “Bagaimana
nanti,“ kata mereka. Tentang pendidikan, mereka katakan, “Orangtua mana
yang tidak ingin anak-anaknya bersekolah tinggi?“
Pertanyaannya, apakah para orangtua itu mau
bekerja ekstra keras untuk mendanai pendidikan anak-anak mereka? Jawab
sebagian yang kami tanya, “Masak tidak akan ada jalan?“ Itu kedengaran
lebih lunak dari “Banyak anak, banyak rezeki.“ Maka, serahkan pada nasib. Leave it to the wind.
Menyoroti
Kesibukan Elite
Tiap stratum masyarakat memiliki gaya hidup
yang khas; bagaimana dia ingin menjalankan hidupnya, memanfaatkan uangnya,
menggunakan waktu senggangnya, menganut politiknya, membesarkan
anak-anaknya, melakukan ritual baik sosial maupun pribadinya. Gaya hidupnya
ialah cermin, yang mana stratum yang ditempati nya. Apakah status sosialnya
dilandaskan pada pendidikan, kekayaan, atau keturunan? Atau kedua-duanya,
bahkan ketiga-tiganya sekaligus?
Sosiolog Thorstein Veblen dalam karyanya, The Theory of the Leisure Class
(1899), mengemukakan tesis yang intinya menegaskan kekayaan memberikan
prestise kepada pemiliknya kalau kekayaan itu diobral atau dipamerkan.
Itu sekaligus membuktikan kekayaannya cukup besar untuk diobral sehingga
prestisenya makin terangkat. Apakah teori Veblen itu masih berlaku sampai
sekarang? Apakah maraknya korupsi di kalangan elite kita membuktikan
kebenaran teori itu?
Di zaman egaliter, pameran kekayaan jelas
menunjukkan selera rendah, apalagi bila kekayaan itu diperoleh sebagai
hasil jarahan. Namun, kalangan nuveaux riches (OKB) karena ketidaktahuannya
tidak malu-malu memamerkan kekayaan hasil penghisapan uang rakyat itu. Gaya
hidup ini berbeda dari gaya hidup seperti yang dilukiskan sosiolog C Wright
Mills dalam karyanya, The Power Elite
(1956). Mereka itu kelompok elite metropolitan yang berbeda dari
kelompok-kelompok lain karena latar belakang yang berbeda. Gaya hidup
kelompok itu terlahir karena pengalaman dan pengamatan seseorang sejak
kecil dari lingkungan kelas atas dan didikan terpilih.
Secara fisik tidak tampak perbedaan yang
jelas antara kelompok OKB dan yang satunya. Itulah yang rupanya membuat
orang penasaran untuk mencapai status prestisius itu. Itu yang diduga
menjadi salah satu sebab terjadi semarak korupsi di kalangan elite dengan
segala serbausahanya untuk mencapainya, apakah lewat politik atau
nonpolitik.
Yang memprihatinkan, di tengah keprihatinan
mereka yang hidup serbakurang, ada kelompok yang secara terang-terangan
mengungkap obralan dana, apakah milik pribadi/kelompok atau uang negara. Itulah
bunga-bunganya kehidupan masyarakat di negara berkembang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar