Sabtu, 23 Februari 2013

Rumah Pisah dan Korupsi


Rumah Pisah dan Korupsi
Toeti Prahas Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 22 Februari 2013

SIAPA tidak prihatin mengikuti berita bayi Dera Nur Anggraini. Sampai ada ungkapan, orang miskin dilarang sakit. Derita mereka bersambung tak kenal reda. Selalu saja ada yang dipersalahkan: kalau bukan rumah sakit yang kurang membantu, sistem jaminan kesehatan yang tidak memadai, atau elite pemerintahan yang tidak peduli. Semua Serbasalah. Bagaimana asal mulanya hingga timbul salah kaprah itu?

Bila melihat banyaknya anak telantar menjadi anak jalanan, dengan tidak jelas apa peran orangtua mereka. Kemudian setelah agak dewasa mereka menjadi pak ogah dan petugas parkir liar atau semacamnya yang dianggap menjadi bibit-bibit problem sosial, dan sekarang sedang menjadi sasaran pembersihan yang berwajib. Sungguh memilukan nasib sebagian anggota masyarakat kita itu. Dari bayi sampai menjelang dewasa mereka didera nasib tak berketentuan. Siapa bertanggung jawab; orangtua, masyarakat, atau pemerintah?

Sementara itu, akhir akhir ini kepada masyarakat dipertontonkan bagaimana sibuknya kalangan elite bersaing berburu kekuasaan di tahun panas menjelang 2014. Untuk siapa kemerdekaan yang diperjuangkan founding fathers? Apa tujuannya kalau bukan untuk kesejahteraan bersama? Kita telah berbelok jauh dari jalan lurus menuju yang diidamkan bersama. Kita tak kunjung bisa menjawab apa alasannya.

Ujung Keputusasaan

Ada novel Barat yang berkisah tentang sebut saja `Rumah Pisah', semacam rumah yang tersedia bagi siapa pun yang ingin meninggalkan dunia fana yang membosankan. Biasanya yang ke sana bukan orang-orang yang kekurangan, melainkan sebaliknya, mereka dari kalangan menengah ke atas yang merasa sudah mendapat cukup dari kehidupan ini. Mereka ingin beristirahat dan mendekat kepada sang pencipta. Di `Rumah Pisah' itu mereka akan mendapatkan fasilitas untuk `pergi' dengan nyaman, tanpa penderitaan; malahan dengan menikmati saat-saat terakhir hidupnya dalam suasana menyenangkan, seperti orang pergi tidur sambil menyaksikan tontonan yang menghibur.

Kedengaran sadis? Tidak juga. Malahan kedengarannya praktis, pragmatis, dan menghibur. Jangan kita bicara soal agama dan ajarannya sebab itu tentunya melanggar aturan agama. Kita bicara soal berapa jauh usaha manusia untuk menghindari tanggung jawab kehidupan yang dirasanya sudah terlalu berat. Seandainya di Indonesia tersedia banyak `Rumah Pisah', dapat dibayangkan betapa banyak orang yang akan berduyunduyun datang. `Rumah Pisah' akan memudahkan para ibu yang ingin meregang nyawa dirinya dan anak-anaknya karena tidak tahan derita; kisah yang berulang terjadi di waktu lalu.

Kalau saja manusia bisa rapi merencanakan hidupnya, mungkin tidak harus terjadi banyak penderitaan. Misalnya, mengapa bayi Dera mengalami nasib sialnya? Bisa jadi, mereka yang kekurangan tidak terlalu memikirkan bagaimana nasib anak-anak yang mereka lahirkan: apakah mereka nantinya sanggup membesarkan anak mereka dan memberikan pendidikan memadai? Besar kemung kinan hal-hal macam itu tidak terpikirkan. “Bagaimana nanti,“ kata mereka. Tentang pendidikan, mereka katakan, “Orangtua mana yang tidak ingin anak-anaknya bersekolah tinggi?“

Pertanyaannya, apakah para orangtua itu mau bekerja ekstra keras untuk mendanai pendidikan anak-anak mereka? Jawab sebagian yang kami tanya, “Masak tidak akan ada jalan?“ Itu kedengaran lebih lunak dari “Banyak anak, banyak rezeki.“ Maka, serahkan pada nasib. Leave it to the wind.

Menyoroti Kesibukan Elite

Tiap stratum masyarakat memiliki gaya hidup yang khas; bagaimana dia ingin menjalankan hidupnya, memanfaatkan uangnya, menggunakan waktu senggangnya, menganut politiknya, membesarkan anak-anaknya, melakukan ritual baik sosial maupun pribadinya. Gaya hidupnya ialah cermin, yang mana stratum yang ditempati nya. Apakah status sosialnya dilandaskan pada pendidikan, kekayaan, atau keturunan? Atau kedua-duanya, bahkan ketiga-tiganya sekaligus?

Sosiolog Thorstein Veblen dalam karyanya, The Theory of the Leisure Class (1899), mengemukakan tesis yang intinya menegaskan kekayaan memberikan prestise kepada pemiliknya kalau kekayaan itu diobral atau dipamerkan.

Itu sekaligus membuktikan kekayaannya cukup besar untuk diobral sehingga prestisenya makin terangkat. Apakah teori Veblen itu masih berlaku sampai sekarang? Apakah maraknya korupsi di kalangan elite kita membuktikan kebenaran teori itu?

Di zaman egaliter, pameran kekayaan jelas menunjukkan selera rendah, apalagi bila kekayaan itu diperoleh sebagai hasil jarahan. Namun, kalangan nuveaux riches (OKB) karena ketidaktahuannya tidak malu-malu memamerkan kekayaan hasil penghisapan uang rakyat itu. Gaya hidup ini berbeda dari gaya hidup seperti yang dilukiskan sosiolog C Wright Mills dalam karyanya, The Power Elite (1956). Mereka itu kelompok elite metropolitan yang berbeda dari kelompok-kelompok lain karena latar belakang yang berbeda. Gaya hidup kelompok itu terlahir karena pengalaman dan pengamatan seseorang sejak kecil dari lingkungan kelas atas dan didikan terpilih.

Secara fisik tidak tampak perbedaan yang jelas antara kelompok OKB dan yang satunya. Itulah yang rupanya membuat orang penasaran untuk mencapai status prestisius itu. Itu yang diduga menjadi salah satu sebab terjadi semarak korupsi di kalangan elite dengan segala serbausahanya untuk mencapainya, apakah lewat politik atau nonpolitik.

Yang memprihatinkan, di tengah keprihatinan mereka yang hidup serbakurang, ada kelompok yang secara terang-terangan mengungkap obralan dana, apakah milik pribadi/kelompok atau uang negara. Itulah bunga-bunganya kehidupan masyarakat di negara berkembang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar