EDITORIAL Media Indonesia
(20/2) menyebut tragedi kemanusiaan kembali tersaji di depan mata kita.
Dera Nur Anggraini, bayi yang baru berusia enam hari, kehilangan nyawa
akibat ketidakberdayaan rumah sakit di Jakarta dalam merawatnya. Dera, anak
pasangan Eliyas Setya Nugroho dan Lisa Darawati, warga Pasar Minggu,
Jakarta Selatan, menghembuskan napas terakhir. Kondisinya yang amat lemah
karena lahir prematur dan bermasalah di tenggorok mengantarkannya kembali
ke Sang Khalik.
Hidup dan mati memang urusan Tuhan. Namun,
ketika seseorang meninggal, meski sebenarnya masih berpeluang untuk hidup
bila diusahakan dengan benar, bangsa ini tak boleh begitu saja lepas
tangan. Itulah yang menimpa Dera. Ia meregang nyawa karena tak mendapat
tempat di 10 rumah sakit yang telah didatangi sang ayah. Seluruh rumah
sakit yang ia sambangi menolak.
Siapa yang paling bersalah dengan kematian
Dera itu? Jawabannya negara, baru kemudian rumah sakit. Negara merupakan
payung besar yang menentukan kualitas kesehatan dan keselamatan, serta
kelayakan hidup rakyatnya. Tinggi-rendahnya kualitas kesehatan rakyat
ditentukan besar-kecilnya peran negara.
Ketika rakyat gampang sekali terenggut
nyawanya, siapa lagi yang wajib digugat tanggung jawabnya kalau bukan
negara? Negara berkewajiban mengurangi dan menghalang-halangi keniscayaan
terjadinya kematian warga.
Kewajiban itu dapat menggunakan parameter mengenai lamanya warga menikmati
(menjalani) hak keberlanjutan hidupnya.
Hak keberlanjutan hidup warga itu di
antaranya ditentukan lewat besar kecilnya andil negara dalam memedulikan
hak kesehatannya. Kasus Dera menjadi contoh konkret bahwa negara belum
maksimal meneliti, mengevalusi, atau melakukan langkah riil dalam menjaga
hak keberlanjutan hidup warganya.
Negara Republik Indonesia sedang lupa
idealismenya dalam relasinya dengan hak hidup dan kebahagiaan rakyat.
Thomas Aquinas mengingatkan tujuan negara mendatangkan kemuliaan yang
abadi. Kemuliaan abadi itu berintikan kebahagiaan hidup manusia (rakyat).
Rakyat bisa disebut hidup bahagia jika terjaga kesehatan dan keselamatan
hidupnya.
Ketika rakyat menjalani kehidupan
sehari-hari jauh dari kebahagiaan seperti tereliminasi hak keberlanjutan
hidupnya, dibiarkan hidup sakit-sakitan, atau terancam kematiannya, negara
yang demikian itu layak dikategorikan sebagai negara gagal. Terbiarkannya
penyakit Dera hingga meninggal dunia merupakan bukti kegagalan negara dalam
membahagiakannya.
Seharusnya
Ikut Berdosa
Itu juga namanya sang Dera telah didera
negara. Negara masih mempertahankan sikap dan perilaku yang bercorak
mendera warganya yang sedang sakit. Kalau negara memang sudah memainkan peran
sebagai organisator yang baik dan humanis, tentulah tidak akan sampai
terjadi seorang warga (Dera) terbiarkan terdera oleh situasi sulit dan
mengenaskan.
Negara semestinya mencucurkan air mata
karena merasa berdosa atas sikap dan perbuatannya yang abai terhadap amanat
rakyat. Sayangnya, negara tidak merasa bersalah. Negara tidak merasa
kehilangan warganya yang mati sia-sia. Peluang memperoleh kesempatan hidup
dan melanjutkan tugas kese jarahan bagi warga akhirnya gagal dilanjutkan.
Itu baru satu Dera yang dapat dibaca. Pada
hal di negeri ini sangat banyak Dera lain yang kemampuan ekonomi,
kesehatan, atau penyakitnya se tingkat atau bahkan lebih buruk dari pada
Dera. Akibat banyaknya Dera berkondisi mengenaskan, negara tidak seberapa
kaget lagi ketika terjadi kematian seperti Dera.
Menurut riset BPS, jumlah penduduk miskin
di Indonesia pada September 2011 mencapai 29,98 juta orang, dan 10,95 juta
berada di perkotaan. Di antara daerah dengan jumlah penduduk mis kin
tersebut, tiga provinsi yang memiliki penduduk miskin tertinggi mewakili
wilayah Jawa-Bali ialah Jawa Tengah (14,33%), sedang kan dari wilayah luar
Jawa-Bali di luar Jawa-Bali diwakili NTB (28,16%) dan Gorontalo (6,29%)
(Masruro, 2012).
BKKBN yang melakukan penelitian itu
menemukan penduduk miskin perkotaan memiliki anak yang lebih banyak
daripada penduduk nonmiskin. Jumlah anak yang dimiliki penduduk miskin
perkotaan berkisar 3-6 orang. Apabila dirata-ratakan, jumlah anak yang dimiliki
keluarga miskin sebanyak 3, sedangkan keluarga nonmiskin rata-ratanya hanya
2,7.
Yang memprihatinkan, banyak anak dari
keluarga miskin tidak tamat SD dan bekerja sebagai buruh bangunan dan
serabutan. Kasus tersebut menunjukkan banyaknya anak miskin `berpotensi'
seperti Dera. Ketidakpedulian negara (pemerintah) selama ini mem buka ruang
lebar bagi penderitaan atau sakitnya anak miskin. Meluasnya peluang
penderitaan itu terkait dengan sikap pengelola rumah sakit yang sukses
menerjemahkan sikap individualisme negara sebagai `dukungan' menguatkan dan
memapankan kapitalisme dan korporatisme layanan medis.
Sikap dan perilaku pengelola rumah sakit
itu terjerumus pada rumus matematis bahwa sakit merupakan angka yang bisa
dikalkulasi sebagai keuntungan. Sakit seseorang tidak berlabel kerelaan
untuk ditolong, apalagi digratiskan, tetapi sebagai jalan mendapatkan
keuntungan berlipat.
Dalih yang umum dikeluarkan biasanya rumah
sakit beralasan kamarnya sudah penuh, sementara faktanya belum. Atau rumah
sakit berdalih tidak memiliki peralatan memadai, padahal peralatan justru
lengkap dan canggih.
Itu merupakan sampel perilaku dan diskresi dehumanis atau ketidakadaban
yang dijadikan dagelan suatu insti tusi publik yang idealisasi sakralnya
`menyehatkan', tetapi faktanya ber jiwa dan bermodus membunuh'.
Jadinya, keuntungan (uang) yang diperoleh
rumah sakit bisa menjadi segmentasi dari penyakit yang berpeluang
mempercepat kematian seseorang (Dera) yang sedang sakit. Dalam ranah itu,
penderitaan Dera ditempatkannya sebatas peristiwa logis yang tidak
dijadikan konsiderasi moral rumah sakit atau komunitas paramedis sehingga
dengan ringan mereka sudah punya sekumpulan kata-kata untuk menolak atau
mengeliminasinya, seperti `kamar sudah penuh', `peralatan terbatas', dan
`dokter keluar kota'.
Hilangnya
Kemanusiaan
Dalam ranah itu, Dera menjadi korban rumah
sakit yang mengemas manajemennya secara diskriminarif dan tidak manusiawi.
Dera bukan sekadar dipingpong sehingga kehilangan keberdayaan fisik dan
tereduksi kesehatannya, tetapi dijatuhkan harkat kemanusiaannya sebagai
`manusia'.
Sisi kemanusiaannya yang memiliki kemerdekaan
dan hak keberlanjutan hidup yang berkelayakan dihabisi sesama manusia yang
mengendarai korporatisme, walaupun pengelola itu sama-sama hidup di bawah
payung Pancasila yang mengajarkan doktrin `kemanusiaan yang adil dan
beradab'.
Sisi kemanusiaan dan keadaban rumah sakit
yang lenyap atau mengalami kematian saat berelasi dengan anak miskin yang
sakit (seperti Dera) ialah berembrio dari sakitnya elemen-elemen negara.
Pilar negara itu gagal menjalankan tugasnya dalam mengawal rumah sakit.
Kalau rumah sakit terus dikawal atau
diawasi dan ditindak tegas pola korporatismenya, setidak-tidaknya akan
banyak nyawa anak miskin yang bisa dicegah dari kematian dini dan
mengenaskan. Seperti pendapat Thomas Aquinas bahwa negara bertanggung jawab
penuh terhadap sengkarutnya hak kesehatan dan keselamatan warga, khususnya
anak-anak miskin.
Meretas pengelola rumah sakit bersyahwat
kapitalisme dan korporatisme hanya bisa dilakukan negara, di samping
kesadaran nurani dari pengelola rumah sakit. Negara berkewajiban mengingatkan
dan memberikan sanksi yang tegas terhadap pengelola rumah sakit yang
`mendera' warga yang sakit.
Pengelola rumah sakit pun, yang menjadikan
Pancasila sebagai rohnya, berkewajiban memperlakukan anak miskin yang sakit
sebagai subjek negara beradab yang berhak untuk dijauhkan dari penyakit
yang mengancam keselamatan atau hak keberlanjutan hidupnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar