Resonansi Nasihin Masha yang
berjudul "Keharusan Politik
Asketis Partai Islam" (Republika, 15 Februari 2013) menarik untuk
didiskusikan lebih lanjut. Nasihin Masha mengungkapkan, politikus dari
partai Islam saat ini banyak yang terjebak dalam kemewahan dan laku korupsi
sebagaimana politikus lain nya.
Perilaku itu bisa jadi akibat pergaulan kaum politikus dan kondisi
perpolitikan yang sepertinya menuntut gaya hidup yang baru. Akibatnya,
banyak politikus Islam yang melupakan hakikat perjuangan dan basis
sosialnya yang sebetulnya bisa didayagunakan tanpa harus memakai uang.
Kondisi perpolitikan di
Indonesia memang sedang mengalami paradoks- paradoks yang memprihatinkan.
Meskipun para politikus kita lebih ekspresif dan berani dalam mengkritik
pemerintah, pada saat yang sama, mereka juga semakin canggih menjadi
pialang anggaran dan melakukan transaksi-transaksi.
Tentu saja harus dicatat fakta masih ada minoritas politikus bersih di
Indonesia. Ketika ada kritikan terhadap beberapa politikus partai Islam
yang juga aktif bermain di Badan Anggaran DPR, mereka mengatakan bahwa
politik butuh biaya tinggi. Bahkan, para politikus partai Islam itu
menyatakan itulah realitas politik.
Belajar dari Sejarah
Saya setuju dengan Nasihin Masha
bahwa gaya hidup mewah dan politik yang menuntut biaya tinggi mengakibatkan
politikus Islam terjebak dalam korupsi. Tren politik di Indonesia sekarang
menjadikan banyak politikus menghalalkan segala cara. Akibatnya, hedonisme
dan korupsi menjadi paket umum kebanyakan politikus di negeri ini.
Kita semua wajib prihatin
dengan kondisi itu. Pada saat rakyat hidup dalam kemiskinan dan kesusahan,
para politikus justru menghamburkan uang rakyat. Politikus partai Islam
hanya menjadi politikus "berjubah agama" yang sebetulnya tidak
memperjuangkan dan mempraktikkan nilai-nilai agama.
Semestinya, para politikus Islam belajar dari sejarah. Pada zaman sebelum
kemerdekaan, disebutkan bahwa reputasi HOS Tjokroaminoto sebagai pemimpin
umat Islam mengalami krisis karena dia dianggap tidak amanah menggunakan
uang partai.
Meskipun tidak terbukti melakukan
korupsi, ada pergunjingan di kalangan Partai Syarikat Islam (PSI) kalau
Tjokroaminoto dianggap mencampuradukkan keuangan partai untuk urusan
organisasi dan keluarganya. Isu ini berembus keluar dan mengakibatkan suara
PSI terus menurun (Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa,
2001).
Mestinya politikus partai Islam
berkaca kembali dari kasus itu. Terlebih, saat ini korupsi menjadi musuh
bersama. Akan lebih baik jika para politikus Islam itu banyak membaca
sejarah para tokoh bangsa yang mampu bertindak sebagai negarawan yang
mementingkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan
golongan.
Dalam sejarah bangsa, para
politikus Islam bisa mencari teladan dari sosok KH Agus Salim, Moh Hatta,
dan Natsir dalam menjalani dunia politik. Menurut Agus Salim, leiden is lijden (memimpin adalah menderita). Prinsip
ini tidak hanya menjadi pencitraan, tapi serius dipraktikkan oleh beliau
yang terkenal sangat sederhana dan kekurangan dalam ekonomi, tapi sangat
genius dalam gagasan dan strategi perjuangan untuk kemajuan bangsa.
Dalam kesehariannya, Bung Hatta
juga terkenal sangat berprinsip dan tidak berfoya-foya, bahkan untuk membayar
listrik rumahnya pun sering menunggak. Natsir yang pernah menjadi perdana
menteri pun juga terkenal dengan kesederhanaan hidupnya. Untuk zaman
sekarang, gaya hidup Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad yang sangat sederhana
juga bisa dijadikan model acuan.
Perubahan Fundamental
Berkaitan dengan asketisme
politik, ada sebuah cerita dari mantan penting Negara Islam Indonesia (NII)
yang sudah bertobat. Menurutnya, NII itu sangat ironis karena ketika para
anggotanya rela melakukan dan mengorbankan apa pun untuk membiayai
perjuangan, para pemimpinnya justru menikmati uang hasil perjuangan
anggotanya dengan seenaknya. Mereka menggunakan dana perjuangan itu
untuk poligami, bermain investasi, bergaya hidup mewah, dan perilaku
hedonis lain. Jangan sampai politikus partai Islam melakukan hal serupa.
Jika itu terjadi, perbedaan partai politik Islam dan partai lain hanya
tinggal pada papan nama dan asasnya.
Selain seruan agar para
pemimpin partai Islam berperilaku asketis, perlu juga dibangun sistem yang
mengikat dan ditegakkan secara tegas agar partai Islam tidak terus mundur.
Sistem itu adalah transparansi pemasukan dan pengeluaran biaya politik
partai. Selama ini, banyak transaksi politik yang syubhat (samar-samar).
Yang juga penting, sebagaimana
diserukan oleh Kuntowijoyo (2001), partai Islam harus menggantikan
paradigma jihad psyche (semangat
jihad) dengan falah psyche
(semangat kesejahteraan). Dengan falah
psyche, para politikus Islam harus menjadikan semangat kejayaan,
sukses, keselamatan, dan kesejahteraan umat sebagai paradigma kerjanya.
Jangan sampai mereka berdalih melakukan jihad politik, tapi sebetulnya
hanya mencari legitimasi untuk melegalkan gaya hidup dan perilaku
korupsinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar