Pemerintah dan BI tampaknya memiliki alasan kuat dengan
kebijakan redenominasi rupiah karena nilai rupiah rendah sekali. Data IMF
per 31 Januari 2013 menunjukkan kurs rupiah Rp 9.698 per dolar AS, terlemah
kedua di dunia setelah mata uang rial Iran dengan kurs 12.260 per dolar AS.
Lalu, diikuti oleh peso Kolombia 1.773 per dolar AS.
Sementara itu, mata uang dinar Kuwait dengan nilai tukar
0,28 per dolar AS adalah uang terkuat di dunia, diikuti dinar Bahrain kurs
0,37, dan rial Oman 0,38. Sedangkan mata uang yang lebih kuat dari dolar AS
di antaranya euro, poundsterling Inggris, dolar Australia, dan dolar Kanada.
Karena itu, posisi rupiah memang mengenaskan sekali. Nilainya rendah sekali
dibandingkan dengan uang negara lain, bahkan di bawah nilai rupee Nepal
dengan kurs 85 terhadap dolar AS dan rupee Pakistan dengan kurs 97 per
dolar AS.
Rendahnya nilai rupiah memberikan persepsi negatif
terhadap ekonomi Indonesia. Karena itu, redenominasi rupiah diperlukan agar
rupiah menjadi uang kuat dan bisa meningkatkan kepercayaan terhadap rupiah
dan ekonomi Indonesia.
Sebaliknya, cukup banyak masyarakat yang khawatir atau ketakutan
dengan redenominasi rupiah. Meski pemerintah dan BI mencoba meyakinkan
bahwa sanering berbeda dengan redenominasi, namun sebenarnya sama saja.
Dilihat sejarah kebijakan moneter BI pada 1959 dan 1966, sanering yang
dilakukan pemerintah waktu itu berbeda.
Sanering pada 1959 berbeda dengan
redenominasi karena hanya uang Rp 1.000 dan Rp 500, dipotong menjadi Rp 100
dan Rp 50, uang lainnya tidak dipotong. Karena itu, daya beli uang tidak
dipotong sama. Dalam hal ini sanering memangkas daya beli uang Rp 1.000 dan
Rp 500 saja. Hanya masyarakat yang memiliki uang itu saja yang dirugikan.
Kebijakan sanering pada 13 Desember 1965 berbeda lagi
karena pemerintah merevaluasi rupiah atau sekarang dengan terminologi
redenominasi. Nilai rupiah direvaluasi, semua uang rupiah dikurangi
(disederhanakan) tiga nolnya dan nilainya menjadi seperseribu sehingga Rp
1.000 menjadi Rp 1. Sayang, saat itu tidak disiapkan dengan baik karena
kondisi ekonomi memang tengah mengalami inflasi tinggi, defisit APBN besar,
dan terdapat berbagai macam mata uang beredar di pasar sehingga dengan
penyatuan mata uang sekalian revaluasi nilainya, diharapkan dapat
memperbaiki kondisi ekonomi. Demikian pula mestinya diikuti dengan
penyesuaian harga barang ataupun jasa di pasar.
Namun, kenyataannya penyesuaian harga bukannya dengan
rentang 1:1.000 seperti yang diharapkan, melainkan dengan rentang 1:10.
Jadi, pasar menilai uang baru hanya berharga sepuluh kali lipat uang lama
sehingga masyarakat yang punya uang dirugikan. Itu sejarah kegagalan revaluasi
rupiah pada 1965 sehingga pada saat ini pemerintah menggunakan istilah
redenominasi untuk rencana revaluasi rupiah.
Sayang sekali, saksi sejarah yang dulu dirugikan akibat
sanering 1965 masih banyak yang hidup ketakutan dengan rencana
redenominasi. Sebab, bagi mereka redenominasi sama dengan revaluasi, sama
dengan sanering pada tahun 1965.
Kita memang pernah gagal, namun tidak berarti tidak bisa
sanering atau merevaluasi rupiah jika diperlukan. Alasannya, nilai rupiah
sangat rendah dibandingkan dengan mata uang negara lain. Namun, jangan
sampai mengulangi kesalahan yang sama.
Pilihan waktu pelaksanaan redenominasi adalah penting
karena revaluasi uang adalah pekerjaan besar yang berpotensi menimbulkan
instabilitas ekonomi. Oleh karena itu, lebih baik dilakukan pada saat
ekonomi stabil, normal, dan berkembang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar