Ada kalanya
terjadi sesuatu yang bisa membawa dampak yang mendasar pada umat manusia,
tapi tidak banyak disadari pada waktu itu. Peristiwa seperti itu terjadi
pada Desember lalu di Roma. Dewan Organisasi Pangan dan Pertanian
Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan bahwa sejak saat itu sasaran yang
ingin dicapai FAO bukan lagi cuma mengentaskan kelaparan, tapi mengakhiri
kelaparan, ketidakamanan pangan, dan gizi buruk. Langkah berikutnya adalah
menegaskan keputusan ini pada konferensi FAO yang akan dihadiri semua
negara anggota pada Juni mendatang.
Bagi banyak
orang, perubahan arah ini tampaknya tidak penting. Para pengecam akan
mengatakan bahwa mengadopsi sasaran seperti ini tanpa menetapkan tanggal
pencapaiannya tidak ada artinya. Yang lainnya lagi mengatakan bahwa gagasan
mengakhiri kelaparan itu sendiri tidak masuk akal karena kita tidak
memiliki sarana untuk melakukannya.
Selama 12 tahun
terakhir ini sasaran Millennium
Development Goals untuk menurunkan tingkat kelaparan sampai separuh
menjelang 2015 menjadi mesin pendorong pengentasan kelaparan. Proporsi
masyarakat yang menderita kelaparan di negara-negara berkembang telah
mengalami penurunan yang signifikan, dari 23,2 persen pada 1990-1992
menjadi 14,9 persen hari ini. Namun penurunan ini lebih banyak disebabkan
oleh meningkatnya populasi dunia dibanding oleh penurunan yang tidak
berarti dalam jumlah masyarakat yang menderita kelaparan (dari sekitar 980
juta menjadi 852 juta hari ini).
Sasaran
mengurangi "sampai separuh" ini tidak memiliki daya tarik politik
yang kuat karena ia secara implisit menghukum separuhnya lagi hidup sebagai
masyarakat pinggiran yang rentan penyakit dan kematian dini. Strategi Zero Hunger yang diterapkan di
Brasil, sebaliknya, menunjukkan bahwa sasaran absolut mengakhiri kelaparan
ini memberikan dorongan yang kuat kepada instansi-instansi pemerintah untuk
melakukan tindakan yang terkoordinasi secara besar-besaran, dan yang
memobilisasi masyarakat dalam suatu upaya yang benar-benar dilakukan pada
tingkat nasional untuk mengakhiri salah satu ketidakadilan yang paling
mencolok di zaman kita ini.
Memang sulit,
walaupun bukan tidak mungkin, memenuhi permintaan akan pangan yang semakin
meningkat di dunia dan melakukan ini secara berkelanjutan. Peningkatan
produksi pangan harus dilakukan dengan menggunakan teknologi-teknologi yang
tidak merusak sumber daya alam yang dibutuhkan generasi-generasi yang akan
datang, yang tidak mendorong perubahan iklim yang sangat memukul para
petani, dan yang tidak mempercepat disintegrasi jalinan masyarakat
pedesaan.
Namun, tantangan
ini mungkin tidak seberat seperti yang dibayangkan. Laju pertumbuhan
populasi bakal mengalami perlambatan yang berarti dibandingkan dengan laju
selama 50 tahun yang lalu, dan banyak ruangan yang terbuka untuk mengurangi
besarnya jumlah pangan yang sekarang terhambur dengan sia-sia.
Lagi pula,
sementara pendapatan masyarakat meningkat, mereka mungkin lebih mudah
dibujuk mengadopsi diet yang lebih sehat dan lebih ramah lingkungan
daripada yang berlaku di negara-negara maju. Beban rangkap malanutrisi--dengan
kelaparan yang berdampingan dengan obesitas, diabetes, dan
penyakit-penyakit lainnya akibat konsumsi yang berlebihan--dengan jelas
menunjukkan semakin pentingnya menyeimbangkan kembali pola konsumsi pangan
di dunia.
Tidak ada yang
sebenarnya baru mengenai komitmen mengakhiri kelaparan ini. Sesungguhnya,
FAO dibentuk pada 1945 untuk membangun suatu dunia yang "bebas dari
kekurangan" yang, dalam kata-kata para pendirinya, "berarti
menaklukkan kelaparan dan memenuhi kebutuhan dasar kehidupan yang layak dan
terhormat".
Karena meluasnya
ketakutan pada tahun-tahun setelah perang itu akan terjadinya kekurangan
pangan di dunia, FAO, dan masyarakat internasional secara keseluruhan,
berfokus terutama pada produksi pangan--fokus yang esensinya tetap sama
pada dekade-dekade berikutnya. Investasi-investasi yang dilakukan
membuahkan hasil: kendati meningkatnya populasi dunia yang luar biasa dari
2,5 miliar pada 1945 menjadi 7 miliar hari ini, ketersediaan pangan per
orang meningkat lebih dari 40 persen.
Masalahnya adalah
bahwa kelaparan masih terjadi di banyak negara. Karena itu, fokus kita
sekarang mesti bergeser pada upaya menjamin secara universal akses
memperoleh pangan yang mencukupi. Ini harus merupakan prioritas utama bagi
pemerintah dan sasaran yang didukung warga di mana pun.
Mematahkan
lingkaran setan kelaparan dan malanutrisi membutuhkan juga fokus pada
pertanian dan pembangunan pedesaan (lebih dari 70 persen rakyat yang
mengalami ketidakamanan pangan hidup di daerah pedesaan negara-negara
berkembang) dengan melakukan investasi pada program sosial dan produksi
lainnya, termasuk transfer keuangan yang memadai dan pasti kepada
keluarga-keluarga miskin. Dengan kebijakan yang tepat, bertambahnya
permintaan akan pangan akibat transfer keuangan itu serta program pemberian
makanan di sekolah dan suplemen nutrisi untuk ibu dan bayi, bisa membuka
peluang bagi petani skala kecil meningkatkan produksi dan taraf hidupnya.
Pada Juni lalu,
Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, meluncurkan Zero Hunger Challenge pada Konferensi Pembangunan Berkelanjutan
Rio+20. FAO menerima tantangan ini dan dengan resmi menetapkan sasaran
mengakhiri kelaparan. Saya yakin akan meningkatnya secara progresif jumlah
negara-negara anggota yang akan menyatakan komitmen bergerak secepat
mungkin ke arah mengakhiri kelaparan dan malanutrisi di dalam negerinya
masing-masing--dan membantu negara-negara lainnya mencapai tujuan yang
sama.
Inilah saatnya dunia menetapkan sasaran
mengakhiri kelaparan untuk semua dan untuk selama-lamanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar